welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

Hadits Ahkam 1


TALAK LI’AN







MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Hadits Ahkam 1

Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIFA’I  
NIM: 08350054/ AS-A
Dosen Pengampu:
Samsul Hadi, S.Ag.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
 YOGYAKARTA
2010





PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum,,
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseorang akan tersalurkan dalam bingkai ibadah. Serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam surga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi problema dikarenakan keinginan yang berbeda. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan sucinya dengan sebuah perceraian.
Dalam makalah ini sengaja membahas masalah penceraian (terputusnya suatu ikatan perkawinan) yang lebih saya spesifikkan pada masalah Talak Li’an. Makalah ini saya buat  sekaligus memenuhi tugas dari Dosen mata kuliah Hadits Ahkam I.
Makalah ini sangat penting bagi kita untuk memahami persoalan ini, agar kita mengetahui prosedur-prosedur yang terjadi dalam proses talak li’an. Karena sanksi yang di bebankan kepada pihak-pihak yang bermula’anah berbeda-beda sesuai dengan kriteria-kriteria yang telah diatur dalam agama Islam, baik bersumber dari al-Qur’an maupun dari al-Hadits.
Berikut akan saya uraikan beberapa masalah penting terkait talak li’an. Semoga bermanfaat. Dan yang terakhir, saran dan kritik yang bersifat mebangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Terimakasih.
Wassalamu’alaikum,,




PEMBAHASAN LI’AN
A.   Pengertian
Li’an dari kata la’n, sebab suami istri yang bermula’anah pada ucapan yang kelma kalinya berkata : “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Alloh, jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”.[1]
Ada orang berkata “lian” itu berarti menjauhkan “suami istri yang bermula’anah”. Disebut demikian karena setelah li’an akan mendapatkan dosa dan dijauhkan satu sama lain selama-lamanya. Dan jika salah satunya dusta, maka dialah yang dilaknat oleh Allah.
Ada orang yang berpendapat lain, yaitu karena masing-masing suami isteri dijauhkan dari teman hidupnya tadi untuk selama-lamanya, sehingga haramlah untuk dikawininya kembali.
Li’an secara etimologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini menyebabkan pasangan suami isteri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya.[2]
Lian adalah kutukan atau sumpah dari suami kepada isterinya yang dituduhkan berzina dengan laki-laki lain dan pada waktu itu suami harus menunjukkan adanya empat orang saksi yang membenarkan adanya satu perzinaan, tetapi jika tidak bisa mendapatkannya maka suami harus mengadakan tuduhan di depan hakim yang menyatakan bahwa isterinya telah berzina dan tuduhannya adalah benar yang kemudian diakui dengan sumpah demi Allah (Wallahi). [3]
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.[4]

B.   Praktek li’an
Suami yang menuduh istrinya berzina tanpa dapat menghadirkan empat orang saksi dengan bersumpah empat kali, yang menyatakan bahwa ia benar. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah kalau tuduhannya itu dusta.
Lalu istri yang menyanggah tuduhan tersebut bersumpah pula empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah kalau ternyata ucapan suaminya itu benar.

C.   Penetapan Hukumnya
Jika suami menuduh istrinya berzina tetapi ia tidak mengakuinya dan suami tidak pula mau mencabut tuduhannya itu, maka Allah mengharuskan mereka mengadakan li’an. [5]
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:
عن ابن عباس، أن هلال بن أمية قذف إمرأته عند رسول الله (ص) بشريك ابن سحماء. فقال النبي (ص) : البينة أوحد فى ظهرك، فقال: يا رسول الله! إذا رأى أحدنا على امرأته رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل رسول الله  (ص) يقول: البينة، وإلا حد فى ظهرك. فقال:والذى بعثك بالحق إنى لصادق. ولينزلن الله ما يبرئ ظهرى من الحد. فنزل جبريل وأنزل عليه قوله تعالى:  والذين يرمون أزواجهم......الايةـ النور ـ٦ـ٩ـ فانصرف النبي  (ص) إليها فجاءهلال فشهد والنبي  (ص) يقول:إن الله يعلم أن أحدكما كاذب، فهل منكما تائب؟ فشهدت. فلما كانت عند الخامسة وقفوها وقالوا إنها المجبة. قال ابن عباس، فتلكأت ونكصت حتى ظننا أنها ترجع. ثم قالت: لا افضح قومى سائراليوم، فمضت. فقال النبي  (ص) أبصروها فإن جاءت به أكحل العينين سابغ الإليتين، خداج السا قين؟ فهو لشريك بن شحماء. فجاءت كذالك. فقال النبي  (ص): لولامامضامن كتاب الله كان لى ولها شأن.
Dari Ibnu Abbas bahwa Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina di hadapan Rosulullah saw, dengan Syuriak bin Sahma’. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda: tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya: wahai Rosulullah!, jika salah seorang di antara kami melihat isterinya jalan di samping laki-laki lain, apakah akan diminta pula bukti?
Lalu Rosulullah saw tetap bersabda: tunjukkanlah bukti, kalau tidak punggungmu didera!
Lalu sahutnya: Demi Tuhan! Yang mengutus tuan dengan sebenarnya. Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayatnya yang menolong saya ari hukuman had. Lalu Jibril turun dan turunlah ayat:
“Dan orang-orang yang menuduh isteri-isteri mereka berbuat zina, padahal mereka tidak punya saksi kecuali dirinya, maka kesaksiaannya ialah dengan mengucapkan empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya ia tergolong orang yang benar. Dan kelima kalinya (ia ucapkan) bahwa laknat Allah mengenai dirinya, jika ternyata ia tergolong orang-orang yang berdusta. Dan isteri yang menolak hukuman (karena zina) hendaklah ia bersaksi dengan mengucapkan empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa suami sesungguhnya tergolong orang-orang yang berdusta. Dan kelima kalinya (ia ucapkan) bahwa ia akan terkena murka Allah jika ternyata suaminya tergolong orang yang benar”. (an-Nur: 6-9).
Kemudian Nabi saw pergi ke isteri Hilal. Lalu Hilal datang dan mengucap sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi saw bersanda: Sesungguhnya Allah Maha Tau, [6] kalau satu diantara kamu ini berdusta. Apakah ada salahsatu dari kamu ini yang bertaubat?. Lalu (isteri Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan.
Kata Ibnu Abbas: Lalu (isteri Hilal) tampak ketakutan dan menggigil, sehingga kami mengira dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata: saya tidak mau mencoreng orang di wajah kaumku sepanjang masa. Lalu diteruskanlah sumpahnya.
Lalu Nabi saw bersabda: (kepada kaumnya): perhatikanlah dia. Jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalkumnya, besar, padat berisi kedua pahanya, berarti keturunan Syuraik bin Sahma’. Lalu ternyata lahirlah anak seperti tersebut. Lalu Nabi bersabda: Jika bukan karena telah ada ketentuan lebih dulu dalam al-Qur’an tentulah akan aku selesaikan urusan dengannya[7].

Pengarang kitab Bidayatul Mujtahid berkata: secara maknawi (formal) bahwa keturunan itu dihubungkan kepada orang yang setempat tidur (suami), maka pentinglah bagi manusia adanya cara yang benar kalau tidak mau mengakui anak yang lahir dari isterinya sebagai keturunannya, karena ternyata adanya hal-hal yang merusaknya. Cara yang dimaksud itu adalah li’an. Jadi li’an itu adalah ketentuan yang syah menurut al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan Ijma’. Karena itu tidak ada perbedaan pendapat lagi di antara sekalian Ulama’.
Dalam firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[8] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ   èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ   (#ätuôtƒur $pk÷]tã z>#xyèø9$# br& ypkôs? yìt/ör& ¤Nºy»pky­ «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÎ/É»s3ø9$# ÇÑÈ   sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |=ŸÒxî «!$# !$pköŽn=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÒÈ   Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# ö/ä3øn=tæ ¼çmçFuH÷quur ¨br&ur ©!$# ë>#§qs? îLìÅ6ym ÇÊÉÈ  
6.  Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.[9]
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.
10. Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).

D.   Kapan terjadinya li’an
Li’an ada dua macam: pertama, suami menuduh isterinya berzina, tapi ia tak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Kedua, suami tidak mengakui kehamilan isterinya sebagai hasil dari benihnya.
Yang pertama dapat dibenarkan jika ada laki-laki yang menzinainya, seperti: suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinainya atau isteri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik di talak, bukan melakukan mula’anah.
Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina. Dan boleh tidak mengakui kehamilan isteri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri isterinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampurinya tapi baru setengah tahun atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungnnya tidak sesuai.

E.    Pengadilan yang memerintahkan mula’anah
Pengadulan, di waktu li’an ini seyogyanya mengingatkan perempuannya dan menasehatinya, seperti telah tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan di sahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Katanya:
أيما إمرأة أدخلت على قوم من ليس منهم، فليست من الله في شيئ، ولن يدخلها الله الجنة. وأيما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه إحتجب الله منه وفضحه على رؤوس الاولين والاخرين.
“Siapapun perempuan yang memasukkan laki-laki yang bukan muhrimnya, maka Allah tidak akan menjaganya sama sekali, dan Allah tidak akan memasukkannya ke surga.
Dan siapapun laki-laki yang menyangkal anaknya, padahal ia melihatnya, maka Allah akan menjauhkan daripadanya dan menjelekkannya di mata orang-orang dahulu dan kemudian”.

F.    Dengan syarat berakal sehat dan dewasa
Dalam li’an di samping disyaratkan di depan Pengadilan (hakim), juga harus punya akal sehat dan juga sudah dewasa bagi masing-masing yang melakukan li’an. Hal lini sudah menjadi ijma’ ulama’.

G.   Li’an sesudah mengajukan saksi-saksi
Jika suami telah mengajukan saksi-saksi yang telah mengetahui perzinaannya, apakah ia masih boleh mengadakan li’an?
Abu Hanifah dan DFaud berkata: tidak boleh. Karena li’an itu sebenarnya sebagai ganti daripada mengajukan sakdi-sakdi. Sebab Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr&  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri,…” (an-Nur: 6)

Tetapi Malik dan Syafi’I berkata: boleh ia bermula’anah. Sebab dengan saksi-saksi saja belum kuat untuk menyangkal atas kehamilam isterinya sebagai bukan dari benihnya.

H.   Li’an sebagai sumpah atau kesaksian?
Imam Malik, Syafi’I dan jumhur ulama’ berpendapat bahwa li’an adalah sumpah, sebab kalau dinamakan kesaksian, tentulah seseorang tidak pakai menyebut bersaksi bagi dirinya. Karena sabda rosulullah saw dalam sebagian riwayat Ibnu Abbas menyatakan: andaikata tidak karena sumpahnya, tentulah masih ada persoalan antara aku dengannya (isteri Hilal).
Tetapi Abu Hanifah dan murid-muridnya berpendapat bahwa li’an adalah kesaksian. Mereka beralasan firman Allah: “….., maka kesaksian salah seorang dari mereka (mengucapkan) empat kali kesaksian dengan menyebut nama Allah”. Dan juga hadits Ibnu Abbas di atas yang menyebutkan: “…..lalu Hilal datang, kemudian mengucapkan kesaksian. Kemudian isterinya berdiri, lalu mengucapkan kesaksian pula”.
Yang berpendapat sebagai sumpah berkata: li’an dipandang sah antara suami isteri sama-sama merdeka, atau sama-sama budak, atau yang satu merdeka yang lain budak, atau sama-sama orang yang adil, atau sama-sama orang yang durhaka, atau yang satu adil dan yang lain durhaka.
Tetapi yang berpendapat sebagai kesaksian berkata: tidak sah li’an antara suami isteri yang kedua-duanya bukan orang yang kesaksiannya tidak dapat di terima. Karena itu haruslah suami isteri tersebut sama-sama orang yang merdeka dan muslim.
Jika suami isteri sama-sama budak atau pernah di hukum had karena menuduh orang berbuat zina tanpa dapat menghadirkan empat saksi, maka mereka tidak boleh melakukan li’an. Begitu pula kalau salahseorang daripadanya kesaksian dapat diterima dan lainnya tidak.
Ibnu Qayyim berkata: yang benar adalah orang-orang yang bermula’anah harus sama-sama punya hak sumpah dan kesaksian, maksudnya kesaksian yang dikuatkan dengan sumpah, dan diucapkan berkali-kali dan sumpah berat yang disertai ucapan kesaksian berulang kali guna memutuskan perkaranya dan memperkuat pernyataannya. Karena itu disini ada sepuluh hal yang dianggap memperkuat pernyataan tersebut.
1)   Dengan memakai kata-kata “kesaksian”;
2)   mengucapkan sumpah dengan “Nama Allah”;
3)   orang yang menyangkalnya menggunakan kata-kata penguat, seperti: sesungguhnya…., kemudian diiringi menyebut nama pelakunya orang yang benar atau dusta, bukan perbuatan yang dituduhkan itu benar atau palsu;
4)   mengulangi kata-kata “kesaksian” empat kali;
5)   kelima kalinya suami melaknat dirinya sendiri, yaitu mengatakan bahwa laknat Allah akan jatuh padanya kalau ia dusta;
6)   pada kelima kalinya hendaklah isteri menyatakan dia bersedia menerima siksaan Allah. Siksaan di dunia yang diterimanya masih lebih ringan  daripada siksa di akherat nanti;
7)   mula’anahnya suami mengakibatkan jatuhnya hukuman (siksaan) pada isteri, entah nantinya dengan hukuman had, atau penjara. Sedang mula’anahnya isteri dimaksudkan untuk menolak hukuman atas dirinya tersebut;
8)   mula’anah ini mengakibatkan salah seorang dari mereka ini akan mendapat siksaan, entah di dunia ini atau di akherat nanti;
9)   antara suami isteri yang bermula’anah dipisahkan yaitu diceraikan;
10)       untuk selama-lamanya tidak boleh kawin lagi antara kereka ini.

Karena dalam mula’anah ini kesaksian diiringi dengan sumpah dan sumpah diiringi dengan kesaksian, dan orang-orang yang bermula’anah karena ucapnnya yang diterima maka kedudukannya sama dengan saksi.  Maka jika isteri menerima bermula’anah, berarti persaksiannya sah dan dapat dipakai kesaksiannya tersebut. Sumpahnya suami berarti dua hal, yaitu: terlepasnya dia dari hukuman had, tetapi isteri yang akan kena had. Tetapi kalau isteri menolak tuduhan suaminya dan mengucapkan li’an pula, maka suami lepas dari tuntutan hukuman had dan begitu pula isterinya. Dalam hal isteri menolak seperti ini kesaksian dan sumpah yang diucapkan dinisbatkan kepada suami, bukan isteri.
Jika suami mengucapkan sumpah saja, maka istri tidak dijatuhi had karena sumaph tersebut. Dan jika suami menyatakan kesaksian saja, isteri juga tidak dijatuhi had karena kesaksian tersebut. Tetapi jika sumpah dan kesaksian kedua-duanya digunakan oleh suami, ini berarti sebagai petunjuk secara lahir tentang kebenaran tuduhannya. Dengan demikian suami terlepas dari hukuman had, dan kepada isteri dikenakan had. Demikian hukum yang sebaik-baiknya.
Allah berfirman:
ô`tBur ß`|¡ômr& z`ÏB «!$# $VJõ3ãm 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏ%qムÇÎÉÈ  
“…., dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (al-Maidah:5)

Dari sini dapat terlihat bahwa dalam mula’anah sumpah berarti kesaksian dan kesaksian berarti sumpah pula.

I.      Mula’anah orang buta dan bisu
Para ulama’ tidak berbeda pendapat tentang bolehnya orang buta bermula’anah. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang orang bisu. Malik dan Syafi’I berkata: orang bisu boleh bermula’anah jika yang satu dapat memahamkan kepada lainnya. Abu Hanifah berkata: tidak dapat. Karena ia bukan orang yang ahli kesaksian (dapat memberi kesaksian).

J.     Siapakah yang mulai mula’anah
Para ulama’ sepakat, bahwa menurut Sunnah dalam Li’an laki-laki didahulukan yaitu dia mengucapkan kesaksian sebelum perempuannya.
Para ulama’ berselisih pendapat tentang keharusan mendahulukan ini. Syafi’i dan lainnya berkata: wajib laki-laki dulu. Jika perempuan mengucapkan li’an dulu, maka li’annya tidak sah.
Alasan mereka bahwa li’an itu untuk menolak tuduhan suami. Maka jika isteri mendahului mengucapkan li’an, maka ia bereati menolak perkara yang belum ada. Tetapi Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa kalau istri memulai li’an, maka hukumnya sah.
Alasan mereka bahwa dalam al-Qur’an Allah memakai kata penghubung “wawu” (dan), tidak berarti mengharuskan mendahulukan yang saatu dari yang lain, bahkan menunjukkan “gabungan” yaitu secara umum saja.

K.   Menolak bermula’anah
Adakalanya suami atau isteri tidak mau bermula’anah. Jika suaminya yang menuduh isterinya berzina menolak untuk mengucapkan li’an, maka ia wajib dijatuhi hukuman had, sebagaimana firman Allah:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.”  (an-Nur: 6)

Jika suami tersebut tidak dapat menghadirkansaksi dan tidak mau mengucapkan li’an, maka hukumnya sama dengan orang lain tentang hukuman qadzf. Dan sebagaimna sabda Rosulullah saw: “….., berikanlah keterangan (bukti) atau hukuman had (dera) di atas punggungmu”.
Demikianlah pendapat para Imam yang tiga. Tetapi Abu Hanifah berkata: suami tidak wajib dijatuhi had. Tetapi ia dipenjara sehingga mau mengucapkan li’an atau mau mencabut tuduhannya.
Jika ia mencabut tuduhan (mendustakan ucapannya semula) maka ia wajib dikenai hukuman had. Jika isteri yang menolak mengucapkan li’an, maka ia wajib dijatuhi had, demikianlah pendapat Malik dan Syafi’i.
Tetapi Abu Hanifah berkata: tidak, maksudnya jika isteri yang menolak mengucapkan li’an, maka ia tidak dijatuhi had, tetapi ia dipenjara. Sehingga ia mau mengucapkan li’an atau mengakui perzinaannya. Jika isteri membenarkan tuduhan suaminya, maka wajib dijatuhi had.
Abu Hanifah dalam hal ini beralasan sabda Rasulullah saw:
لايحل دم امرئ مسلم إلا بإحدى ثلاث: زنى بعد إحصان، أوكفر بعد إيمان أوقتل بغير نفس.
“Darah orang Islam tidak halal kecuali karena salahsatu dari tiga hal: Zina sesudah kawin; kafir sesudah beriman; dan  membunuh seseorang bukan karena membalas terbunuhnya orang lain”.

Membunuh seorang suami karena tidak mau mengucapkan li’an sesudah menuduh isterinya berzina adalah hukum yang bertentangan dengan kaidah di atas. Karena itu pula kebanyakan ahli fiqh tidak mewajibkan “mendenda dengan seluruh hartanya”, karena tidak mau mengucapkan li’an maka apalagi hendak “menghukum bunuh karena tidak mau bermula’anah tersebut”.
Ibnu Rusyd berkata: pada pokoknya soal hukuman mati hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti yang adil atau pengakuan. Maka adalah sewajibnya apabila kaedah ini tidak boleh dikecualikan atas nama “perbuatan bersama” (yaitu mula’anah antara suami-isteri).
Dalam hubungan dengan perkara ini pendapat Abu Hanifah dapat dianggap lebih tepat. Bahkan Abu Ma’ali seorang ulama’ aliran Syafi’i dalam kitab al-Burhan mengakui kekuatan pendapat Abu Hanifah dalam perkara di atas ini.

L.    Memisahkan suami-isteri yang bermula’anah
Suami-isteri yang telah bermula’anah berarti jatuh cerai selama-lamanya dan tak dapat kawin kembali antara mereka ini kapan saja.
عن ابن عباس أن النبي (ص) قال: المتلاعنان إذا تفرقالا يجتمعان أبدا.
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. Bersabda: “Suami-isteri yang telah bermula’anah bila telah berpisah, maka mereka tidak dapat kembali lagi untuk selama-lamanya”. (H.R. Daraquthni).
عن علي وابن مسعود قالا: مضت السنة ألا يجتمع المتلا عنان.
“Dari Ali dan Ibnu Mas’ud katanya: menurut Sunnah dua orang suami-isteri yang telah bermula’anah tidak dapat kembali lagi”. (H.R. Daraquthni).

Sebab antara suami-isteri yang bermula’anah sudah terjadi saling benci dan putus hubungan yang bersifat langgeng, padahal kehidupan rumah tangga memerlukan dasar ketenangan, kasih saying dan cinta. Sedangkan mereka telah kehilangan dasar-dasar tersebut. Karena itu mereka harus berpisah untuk selama-lamanya.
Para ahli fiqh berselisih pendapat dalam hal suami mendustakan ucapannya semula (mencabut tuduhannya dan mengakui kekeliruannya). Jumhur ulama’ berkata: tetap tidak boleh kembali untuk selama-lamanya, berdasarkan hadits-hadits di atas.
Tetapi Abu Hanifah berkata: jika suami mencabut tuduhannya maka ia dijatuhi hukuman dera, dan boleh kawin kembali dengan nikah baru.
Dalam hal ini Abu Hanifah beralasan, karena suami telah mencabut tuduhannya. Ini berarti lia’annya batal.
Sebagaimana kepada suami boleh dinisbatkan anaknya, begitu pula boleh isteri kembali kepadanya.
Karena dasar haramnya untuk selama-lamanya bagi mereka adalah semata-mata tidak dapatnya menentukan mana yang benar dari antara pernyataan suami-isteri yang bermula’anah tersebut, padahal sudah jelas salahsatunya pasti ada yang dusta. Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jadi hapus.

M. Kapan terjadi pemisahan
Jika telah selesai mengucapkan li’annya, maka saat itulah terjadi “pisah”. Demikianlah pendapat Malik. Tetapi Syafi’i berkata: Mulai terjadi “pisah” sejak suami mengucapkan li’annya.
Tetapi Abu Hanifah, Ahmad dan Tsauri berkata: terjadinya itu hanya berdasar putusan pengadilan.

N.  Apakah pisahnya sebagai talak atau fasakh
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pisah akibat li’an dianggap fasakh.
Tetapi Abu Hanifah menganggap sebagai talak ba’in. karena timbulnya dari pihak suami dan tak ada campur tangan dari pihak isteri. Setiap perpisahan yang timbul dari pihak suami adalah talak, bukan fasakh. Maka perpisahan yang terjadi di sini seperti perpisahan sengketa jual beli, jika hal tersebut berdasarkan putusan pengadilan.
Adapun ulama’ yang mengikuti pendapat pertama (yaitu dianggap sebagai fasakh) dasarnya adalah keharaman selama-lamanya karena disamakan sebagai orang yang berhubungan muhrim. Mereka berpendapat fasakh karena li’an menyebabkan bekas isteri tak berhak mendapat nafkah selama iddahnya, juga tidak mendapat tempat tinggal. Sebab nafkah dan tempat tinggal hanya berhak diperoleh dalam iddah talak saja, bukan iddah fasakh. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Abbas tentang peristiwa mula’anah:
أن النبي (ص) قضى ألا قوت لها ولاسكنى: من أجل أنهما يتصرفان من غير طلاق ولا متوفى عنها.   / رواه أحمد وأبوداود/
“Bahwa Nabi saw. Telah memutuskan tidak ada makanan (nafkah) dan tempat tinggal bagi perempuan yang di-li’an”  (H.R. Ahmad dan Abu Daud)

Karena kedua suami-isteri tersebut melakukan perpisahan tidak karena talak atau kematian.

O.  Anaknya dihubungkan kepada ibu
Jika seorang laki-laki menyangkal anaknya dan penyangkalannya ini sempurna dengan li’annya, maka hapuslah hubungan nasab antara bapak dengan anaknya tersebut dan tidak wajib ia memberi nafkah kepadanya, hapus pula hak saling mewarisi, dan anak tersebut dihubungkan hanya kepada ibunya serta anak dan ibu dapat saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan bunyi dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Bab XVII, mengenai akibat putusnya perkawinan, pasal 162, bagian keenam tentang akibat li’an, yaitu: “bilamana li’an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunyas, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.[10]
Sebuah riwayat oleh Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya, ia berkata:
قضى رسول الله (ص) فى ولد المتلا عنين أنه يرث أمه وترسه أمه، ومن رماها به جلد ثمانين .     / رواه أحمد/
“Rasulullah telah memutuskan tentang anak dari suami-isteri yang bermula’anah, bahwa si anak dapat warisan dari ibunya dan ibunya dapat warisan dari anaknya. Dan orang yang menuduh perempuan berzina (tanpa dapat mengajukan empat orang saksi) adalah baginya delapan puluh kali dera”. (H.R. Ahmad)

Hadits ini dikuatkan oleh dalil lain yang menyatakan bahwa anak adalah hanya bagi suami yang setempat tidur. Padahal di sini tak ada suami yang setempat tidur tersebut karena suami telah menyangkalnya.
Adapun suami yang menuduh isterinya berzina tanpa dapat mengajukan empat orang saksi berarti ia dianggap melakukan pidana qadzf, dan ia dijatuhi hukuman delapan puluh kali dera.
Karena perempuan yang bermula’anah termasuk perempuan yang muhshanah (terhormat) dan dia tidak berbuat menyeleweng, maka adalah wajib bagi orang yang menuduhnya bahwa anaknya ank zina mendapatkan hukuman qadzf. Barang siapa menuduh bahwa anaknya anak zina ia wajib dijatuhi had sebagaimana kalau ia menuduh ibunya berzina.
Hukum di atas adalah hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada penuduh sebagai ganjaran baginya.
Adapun jika dilihat dari ketentuan Allah, maka anak tersebut di atas tetap sebagai anaknya sendiri. Hal ini demi menjaga kepentingan si anak. Karena itu maka anak tersebut tidak boleh menerima zakat yang dikeluarkan ayahnya, jika ayahnya membunuhnya tidak ada hukuman qishahnya, antara anak ini dengan anak-anak dari ayahnya menjadi muhrim, tidak boleh saling jadi saksi di Pengadilan, tidak dianggap tak dikenal nasabnya, tidak boleh mengaku orang lain sebagai ayahnya sah nasabnya dengannya. Dan sekalian akibat li’an terhapus dari anaknya.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Sabiq, Sayyid. “FIKIH SUNNAH”. Bandung: PT Alma’arif. 1996.
Ø  Karim Zaidan, Abdul. “al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321”. Terbitan: Muassasah Risalah Beirut.
Ø  Sudarsono. POKOK-POKOK HUKUM ISLAM. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992.
Ø  Abdurrahman. “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”. Jakarta: Akademika Pressindo. 1992.













[1] Sayyid Sabiq, “FIKIH SUNNAH”, Bandung: PT Alma’arif, 1996.
[3] Sudarsono, POKOK-POKOK HUKUM ISLAM, cet: I, hal: 254, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
[4] dikutip dari kitab al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321, terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan
[5] Ketentuan ini turun pada bulan Sya’ban, tahun 9 H. Ada juga yang berpendapat turun pada tahun 10 H, tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW.
[6]  Jika suami yang menuduh tidak dapat ajukan saksi, dihukum dera. Tetapi kalau mau mula’anah tidak dihukum dengan dera ini.
[7]  Jika bukan karena sudah ada hukum li’an dalam al-Qur’an, tentu ia akan saya jatuhi hukuman had zina.
[8] Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
[9] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
[10] H. Abdurrahman, SH. MH., “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, edisi pertama, hal: 152, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.

0 komentar:

Posting Komentar