welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

Gagasan Max Weber

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MAX WEBER (1864-1920)
(Perspektif Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial)

A. Pemikiran Weber Tentang Hubungan Antara Agama dengan Rasionalitas
Tulisan-tulisan metodologis dari Weber, dalam The Protestant Ethic (1958), menjelaskan masalah kebenaran dan interpretasi sejarah baik yang materialistis maupun yang idealistis sebagai pola-pola teoritis yang menyeluruh. Akan tetapi, metodologi Weber harus ditempatkan di dalam kerangka pertentangan yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau sosial. Ruang lingkup tindakan manusia dikatakan sebagai suatu ruang lingkup dimana metode-metode ilmu alam tidak berlaku, sehingga di dalam ruang lingkup itu harus dipakai prosedur-prosedur intuisi, yang tidak eksak dan persis.
Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori tentang rasionalisasi (Brubaker, 1984). Secara spesifik, berkembangnya birokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial.
Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986: 164).
Penggunaan ilmu pengetahuan empiris dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada seseorang tentang apa yang dapat dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi selanjutnya, serta membantunya menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang keputusan apa yang harus diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang logika motivasi politik, didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku politik dapat diarahkan dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam suatu etika pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan, atau paling tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan atribut-atributnya yang luar biasa.
Inti dari pembahasan Weber tentang sifat obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, yaitu yang menurut Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri—yang tampak dalam Economy and Society—menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam penitikberatan di dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya tentang pemisahan logis dan mutlak antara pertimnbangan-pertimbangan faktual dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya memiliki arti penting. (Giddens, 1986: 168-178).
Di sisi lain, Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi (Johnson, 1986: 163).
Konvensionalisme dalam Perubahan Sosial Menurut Weber:
Assumption & Beliefs Concerning
Conventionalism Max Weber (1864-1920) Idealism Stereotype “Volintarism”
1. The Image Individual
Positive
2. The Image of Society
Social Structure: A Network of Meaning (The relationships between social actions, the social structures, and institutions of capitalism)
3. The Image Theory
Verstehen: Empathy Interpretation
4. Methodological implications
Qualitative Approach
5. Other Label: - Purdeu (1986)
- Ritzer (1985)
-Pluralist Paradigm
-Social Definition Paradigm
Hubungan Tentang Agama dan Kapitalisme:
1.     Mempelajari agama dengan mengkritisi kehidupan agama sebagai subyek analisis mendalam.
2.     Melihat adanya spirit agama untuk memobilisir kekuatan ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan
3.     Verstehen adalah upaya ekploitasi subyektif nilai-nilai perilaku beragama setiap individu anggota masyarakat
4.     Menganggap kapitalisme berasal dari suatu rasionalitas adanya ide keagamaan (irrational callings)—dalam Calvinisme—sehingga orang bekerja keras demi panggilan Tuhan.
6.     Profesional yang tinggi (etos kerja) ini berada dalam semangat kapitalisme dan etika protestan.


B. Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas dengan Perubahan Sosial.
Konsep Perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme yang dipelopori oleh Marx dan Durkheim. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan kesadaran individu sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan budaya yang kemudian merupakan medium perantara antara struktur dan individu. Sebab, pada dasarnya, individu itu baik, tetapi masyarakatlah yang membuatnya menjadi jahat. Meskipun Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme modern adalah produksi masyarakat, akan tetapi Marx mengkhususkan diri dalam kiprahnya, sebab, dinamika sosial adalah faktor penyebab terjadinya konflik total.
Mengenai hubungan Weber dan Marx adalah bahwa ia dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian ketimbang menentangnya. Karyanya tentang agama (Weber, 1951; 1958a; 1958b), apabila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata-mata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, akan tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi struktur sosial. Interpretasi karya Weber pada sisi ini jelas menempatkannya sangat dekat dengan teori Marxian. Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikan teori Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi (Ritzer & Goodman, 2003: 36).
Struktur sosial dalam perspektif Weber, didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu. Jadi, misalnya suatu hubungan sosial seluruhnya dan secara eksklusif terjadi karena adanya probabilitas, dimana akan ada suatu arah tindakan sosial dalam suatu pengertian yang dapat dimengerti secara berarti. Suatu keteraturan sosial yang absah didasarkan pada kemungkinan bahwa seperangkat hubungan sosial akan diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Dalam semua hal ini, realitas akhir yang menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar ini adalah tindakan sosial individu dengan arti-arti subyektifnya. Karena orientasi subyektif individu mencakup kesadaran akan tindakan yang mungkin dan reaksi-reaksi yang mungkin dari orang lain.
Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas perubahan. Baginya, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Menurutnya, kita dapat bicara tentang suatu kelas apabila: (1) sejumlah orang sama-sama memiliki sumber hidup mereka sejauh; (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan kesempatan memperoleh pendapatan yang terlihat dalam; (3) kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja (Johnson, 1986: 222).
Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang perubahan sosial. Artinya, teori Marxian dilihat oleh Weber sebagai upaya pencarian semua perkembangan historis pada basis ekonomi dan memandang semua struktur kontemporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang menggangu pikiran Weber adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan materil (terutama kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi (Ritzer & Goodman, 2003: 35).
Weber mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme terutama sebagai sbuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951; 1958). Berdasarkan karya-karya Weber ini, kesimpulannya adalah bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama, serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja atau pada kepentingan dari individu yang terlibat. Artinya, uniformitas perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal. Justru sebaliknya, hal ini didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima atau yang diinginkan (Giddens, 1986).
Otoritas legal rasional tersebut di atas, diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat pada masa kini, yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Walaupun organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan timbulnya hubungan-hubungan pribadi, namun stidaknya sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi ini mencakup karakteristik-karakteristik yang istimewa, dan dipandang sebagai tipe yang ideal (Johnson, 1986: 226).
Teori Rasionalitas Perubahan Sosial Max Weber (1864-1920) adalah sebagai berikut:
  1. Traditional Rationality: Tujuannya adalah perjuangan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masyarakat (sehingga ada yang menyebut sebagai tindakan yang non-rational).
  2. Value Oriented Rationality: Suatu kondisi dimana masyarakat melihat nilai sebagai potensi hidup, sekalipun tidak aktual dalam kehidupan keseharian.
  3. Affective Rationality: Jenis Rational yang bermuara dalam hubungan emosi yang sangat mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut.
  4. Purpossive Rationality: Tujuannya adalah “tindakan” dan “alat” dari bentuk rational yang paling tinggi yang dipilihnya “Etika Protestan” dan “Semangat “Kapitalisme”.
Inti Teori Weber tentang perubahan sosial adalah terletak pada:
  1. Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim juga menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis (analisis parameter)
  2. Berbeda dengan Weber yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat, dalam pemikiran Marx justru sebaliknya.
  3. Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme modern adalah produksi masyarakat.

C. Asal Mula ‘Semangat Kapitalis’
Max Weber mengawali bukunya The Protestant Ethic dengan mengemukakan suatu fakta statistik untuk penjelasan: yaitu fakta bahwa di dalam Eropa modern pemimpin-pemimpin niaga dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai buruh terampil tingkat tinggi, terlebih lagi karyawan perusahaan-perusahaan modern yang sangat terlatih dalam bidang teknis dan niaga, kebanyakan adalah pemeluku agama Protestan. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah fakta kontemporer, akan tetapi merupakan fakta sejarah. Dengan menelusuri kembali kaitannya, bisa diperlihatkan bahwa beberapa pusat awal dari perkembangan kapitalis dipermulaan abad ke-16 merupakan pusat yang sangat kuat dengan unsur Protestan.
 Suatu keterangan yang mungkin segera dapat diberikan: keretakan dengan tradisionalisme ekonomi, yang terjadi di pusat-pusat tersebut tadi, menghasilkan suatu penanggalan tradisi pada umumnya dan khususnya mengelupaskan lembaga-lembaga keagamaan dalam bentuk kolotnya. Akan tetapi interpretasi ini tidak dapat dipertahankan, bila diteliti dengan cermat. Adalah keliru sama sekali menganggap reformasi sebagai suatu bentuk pelarian dari pengendalian gereja. Pada kenyataannya, pengawasan dari gereja Katholik atas kehidupan sehari-hari, adalah longgar: perpindahan ke Protestanisme melibatkan penerimaan peraturan perilaku yang lebih luhur tingkatnya daripada peraturan perilaku yang dituntut oleh agama Katholik. Protestanisme menganut suatu sikap yang sangat ketat terhadap hidup santai dan bersenang-senang – suatu fenomena yang sangat ditekankan oleh Calvinisme.
Kaum Marxisme, menegaskan bahwa agama Protestant merupakan suatu refleksi ideologis dari perubahan-perubahan ekonomi yang didatangkan dengan perkembangan awal kapitalisme. Dengan menolak hal ini sebagai suatu titik pengelihatan yang wajar, karya Weber bermula dari keganjilan penyimpangan yang jelas terlihat dan yang diidentifikasinya serta penjelasannya merupakan orisinalitas sebenarnya dari The Protestan Ethic. Biasanya demikianlah bahwa mereka yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh tidak acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan dengan agama, karena kegiatan-kegiatan mereka tertuju pada dunia ‘materiil’. Akan tetapi agama Protestan disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katholik, dan dengan demikian memasukkan suatu faktor keagamaan di semua bidang kehidupan para penganutnya. Dari sini dapat dilihat hubungan antara agama Protestan dengan kapitalisme modern. Bahwa kepercayaan-kepercayaan dalam agama Protestan telah merangsang kegiatan ekonomi.
Uraian tentang keganjilan ini bukan saja menuntut suatu analisis dari isi kepercayaan-kepercayaan agama Protestan serta sesuatu penilaian tentang pengaruhnya terhadap aksi-aksi penganutnya, akan tetapi menuntut juga perincian dari ciri-ciri khas luar biasa kapitalisme Barat modern sebagai suatu bentuk kegiatan ekonomi. Bukan hanya agama Protestan yang berbeda dalam segi-segi penting tertentu dengan bentuk keagamaan yang mendahuluinya, akan tetapi juga kapitalisme modern menampakkan ciri-ciri khas dasar, yang membedakannya dari jenis-jenis kegiatan ekonomi yang mendahuluinya. Berbagai bentuk lain dari kapitalisme yang ditemukan oleh Weber, semuanya didapatkan dalam masyarakat-masyarakat yang ditandai secara khas oleh ‘tradisionalisme ekonomi’. Sikap-sikap terhadap kerja, yang menandai secara khas tradisionalisme, dijelaskan secara grafis, oleh pengalaman majikan-majikan kapitalisme modern, yang telah berusaha memperkenalkan metode-metode produksi kontemporer ke dalam komunitas-komunitas yang belum pernah mengenal metode-metode tersebut sebelumnya.
Bilamana sang majikan, tertarik untuk memperoleh daya upaya yang setinggi-tingginya, memperkenalkan suatu pengupahan menurut satuan hasil kerja, sehingga para pekerja secara potensial dapat meningkatkan pendapatannya jauh di atas penghasilan yang mereka bisa peroleh, seringkali hasil dari cara pengupahan ini, ialah kemunduran jumlah kerja dan bukan kebalikannya. Pekerja tradisional tidak berpikir dalam konteks untuk berusaha meningkatkan upah hariannya setinggi mungkin. Tetapi dia lebih memikirkan berapa banyak pekerjaan yang harus dia lakukan agar bisa memperoleh penghasilan yang bisa menutupi kebutuhan biasanya. Orang tidak secara “alamiah” menghendaki berpenghasilan banyak, akan tetapi dia ingin hidup sebagaimana biasa dia hidup, serta sebagaimana dia sudah terbiasa untuk hidup dan mendapatkan penghasilan sesuai dengan kebutuhan kehidupan biasanya. Jadi tradisionalisme sama sekali bertolak belakang dengan ketamakan untuk memperoleh kekayaan.
Weber juga berpendapat bahwa, keserakahan pribadi terdapat di semua masyarakat, dan dalam kenyataan keserakahan itu lebih menjadi ciri khas dari masyarakat pra-kapitalis dari pada masyarakat kapitalis. Kapitalisme modern, pada kenyataannya bukan didasarkan atas pengejaran keuntungan yang tidak bermoral, akan tetapi berdasarkan kewajiban bekerja dengan disiplin sebagai suatu tugas. Weber mengidentifikasikan segi-segi utama dari ‘semangat’ kapitalisme modern sebagai berikut: Semangat kapitalisme modern, ditandai dengan secara khas oleh suatu kombinasi unik dari ketaatan kepada usaha memperoleh kekayaan dengan melakukan kegiatan ekonomi yang halal, sehingga berusaha menghindari pemanfaatan penghasilan ini untuk kenikmatan pribadi semata-mata. Hal ini berakar dalam suatu kepercayaan atas penyelesaian secara efisien, sebagai suatu kewajiban dan kebajikan.
Semangat Kapitalisme tidak bisa begitu saja disimpulkan dari pertumbuhan rasionalisme dalam keseluruhannya di dalam masyarakat barat. Cara penganalisisan masalah demikian itu cenderung untuk mengasumsi adanya perkembangan rasionalisme yang progresif dan unilinear dalam kenyataannya, rasionalisme berbagai lembaga masyarakat barat menampakkan suatu distribusi yang tidak merata. Negara-negara misalnya di mana rasionalisasi ekonomi telah berlangsung lebih jauh, dalam kaitannya dengan ajaran hukum, berada dalam keadaan terbelakang, bila dibandingkan dengan beberapa negara yang ekonominya lebih terbelakang (Inggris dalam hal ini merupakan kasus yang paling jelas). Rasionalisasi adalah suatu fenomena yang rumit, yang mengambil sekian banyak bentuk, dan berkembang secara beraneka ragam di bidang-bidang yang berlainan di dalam kehidupan sosial. The Protestan Ethic hanya menaruh perhatian pada usaha menemukan karya intelektual siapakah bentuk konkrit khusus dari pikiran rasional itu, darimana berasal gagasan suatu panggilan dan pencurahan tenaga dan perhatian kepada kerja yang ada dalam panggilan itu
Menurut Weber, konsepsi ‘panggilan’ baru timbul sewaktu terselenggaranya reformasi. ‘Panggilan’ ini tidak ditemui ataupun tidak ada padanannya di dalam agama Katholik atau di zaman purba. Arti penting dari gagasan panggilan, dan caranya diterapkan dalam kepercayaan-kepercayaan Protestan, ialah bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama disegala aspek. Panggilan bagi seseorang adalah untuk melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini mendorong penitikberatan agama Protestan yang jauh berbeda dari ideal Katholik tentang pengasingan biara-biara yang menolak pengejaran segala persoalan duniawi yang sementara saja sifatnya.


D. Pengaruh Agama Ascetis Protestanisme
Weber membedakan empat aliran utama dari agama Protestan ascetic yaitu: Calvinisme, Metodisme, Pietisme dan sekte Baptis. Bagian penting dalam analisa Weber, terpusat kepada Calvinisme. Ia lebih menitikberatkan kepada doktrin-doktrin yang diwujudkan dalam ajaran-ajaran kaum Calvin yang terjadi pada akhir abad ke-16 dan abad ke-17. Weber kemudian melanjutkan mengidentifikasi tiga ajaran utama yang sangat penting dalam Calivinisme yaitu:
  1. Doktrin yang mengajarkan bahwa alam semesta ini diciptakan untuk lebih meningkatkan keagungan Tuhan yang hanya mempunyai arti jika dikaitkan dengan maksud-maksud Tuhan. Tuhan itu tidak ada demi manusia, tetapi manusia itu ada demi kepentingan Tuhan.
  2. Prinsip bahwa maksud-maksud yang Maha Kuasa, berada di luar jangkauan pengertian manusia. Manusia hanya bisa mengetahui butiran-butiran kecil dari kebenaran Tuhan, bilamana dikehendakinya untuk diketahui oleh manusia.
  3. Percaya kepada nasib yang telah ditakdirkan oleh Tuhan; hanya sedikit orang yang terpilih untuk memperoleh kasih sayang yang abadi. Hal ini merupakan sesuatu yang telah diberikan tanpa bisa diambil kembali dari saat pertama penciptaan; kasih sayang abadi ini tidak terpengaruh oleh kegiatan manusia, karena bila ada anggapan bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhinya maka ini berarti mempunyai pikiran bahwa kegiatan-kegiatan manusia bisa mempengaruhinya, penilaian Tuhan yang kudus.
Weber berargumentasi bahwa akibat dari doktrin ini, terutama point ke tiga maka muncullah dua tanggapan mengenai hal tersebut. Pertama tanggapan bahwa individu harus merasakan sebagai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai yang terpilih: tiap keragu-raguan tentang kepastian pemilihan itu merupakan bukti dari kepercayaan yang tidak sempurna dan oleh karenanya tidak ada kasih sayang. Kedua tanggapan bahwa kegiatan duniawi yang sangat mendalam merupakan sarana yang cocok untuk mengembangkan dan mempertahankan keharusan memilih kepercayaan kepada diri sendiri. Dengan demikian, penyelesaian “karya bajik” menjadi dianggap sebagai suatu ‘tanda’ terpilih – bukannya suatu metode untuk memperoleh keselamatan dalam segi apapun, akan tetapi lebih bersifat penghapusan kesangsian tentang keselamatan.
Weber menjelaskan hal ini, mengacu kepada tulisan-tulisan Richart Baxter. Baxter memperingatkan tentang godaan-godaan kekayaan, akan tetapi menurut Weber, peringatan ini semata-mata ditujukan kepada penggunaan kekayaan untuk menopang cara hidup yang bermalas-malasan dan santai. Malas-malasan dan membuang-buang waktu merupakan dosa yang paling utama. Doktrin ini belum dapat disamakan dengan apa yang dikatakan Franklin “waktu adalah uang,” akan tetapi dalil ini berlaku karena setiap jam disia-siakan berarti hilangnya waktu untuk kerja demi kemuliaan Tuhan. Calvinisme menuntut dari para pemeluknya suatu kehidupan berdisiplin yang masuk akal dan berkesinambungan, dan demikian menghapuskan kemungkinan menyesal dan bertobat untuk dosa-dosa yang dibuat mungkin oleh cara pengakuan dalam agama Katholik. Agama Katholik secara efektif membolehkan suatu sikap hidup yang sembronoo, oleh karena si pemeluk agama itu bisa mengandalakan diri kepada pengetahuan bahwa penengahan lewat pendeta bisa memberikan pembebasan dari akibat-akibat kehilangan moral.
Bagi penganut Calvinisme, kerja di dunia materiil berkaitan dengan penilaian etika positif tertinggi. Memiliki kekayaan tidak memberikan suatu pengecualian apapun kepada seorang dari perintah Tuhan untuk bekerja tekun dan taat dalam panggilannya. Penting sekali dan menentukan bagi analisis Weber, bahwa ciri-ciri khas ini tidak ‘logis’, akan tetapi merupakan akibat-akibat psikologis dari doktrin orisinil mengenai takdir seperti yang dirumuskan oleh Calvin. Dengan demikian asal mula semangat kapitalis harus dicari dalam etika agama, yang paling penting cermat dikembangkan dalam aliran Calvinisme.
The Protestan Ethic dimaksudkan oleh Weber sebagai karya yang bersifat pragmatik. Ada beberapa hal pokok dalam karya Weber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, bahwa karya ini berisi dukungan semangat kapitalisme adalah suatu yang tidak direncanakan dari etika keagamaan Calvin, dan secara umum dari konsepsi panggilan duniawi, yang menyebabkan agama Protestan memutuskan hubungan dengan pandangan tentang kebiaraan dari agama Katholik. Weber juga dalam karya ini, memperlihatkan bahwa rasionalisasi kehidupan ekonomi, yang menjadi ciri khas dari kapitalisme modern, berkaitan dengan komitmen-komitmen nilai yang tidak rasional.











DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1982. Tesis Weber dan Islam di Indonesia (ed) dalam Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Brubaker, Rogers, 1984. The Limits of Rationality: An Essay on the Social and Moral Thought of Max Weber. London: George Allen and Unwin.
Calhoun, C, 2002. Classical Sociological Theory (ed). Massacusetts: Blackwell Published Ltd.
Durkheim, Emile, 1947. The Elementary Forms of Religious Life. New York: Free Press.
_________, 1964. The Division of Labour in Society. New York: Free Press.
_________, 1966. Suicide. New York: Free Press.
Gerth, H. & C.W. Mills, 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.
Gurney, Patrick J, 1981. “Historical Origins of Ideological Denial: The Case of Marx in American Sociology”. American Sociologist 16: 196-201.
Halevy Eva Etzioni (1964). Social Change: Source, Pattern, and Consequences (ed). New York: Basic Books Inc. Publishers.
Johnson, Doyle. P, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan Robert M.Z. Lawang dari judul asli “Sociological Theory Classical Founders and Contemporary Perspectives” (John Wiley & Sons Inc.). Jakarta: Penerbit P.T. Gramedia.
Marx, Karl, 1891. Capital, Vol. 2. New York: Vintage Books.
Morris, Brian (2003). Antropologi Agama: Kritik Teori-Agama Kontemporer. Yogyakarta: AK Group.
Ritzer, G. & Goodman, D.J, 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan Alimandan dari judul asli “Modern Sociological Theory” (McGraw-Hill). Jakarta: Kencana-Prenada Media.
Salim, Agus (2002). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Smith, Huston (2001). Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Turner, Bryan S, 1982. Islam, Kapitalisme, dan Tesis Weber, dalam Taufik Abdullah (ed) Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Weber, Max, 1951. The Religion of India: The Sociology of Hinduism and Budhism. Glencoe III: Free Press.
__________, 1958a. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Charles Scribner’s Sons.
__________, 1958b. The Religion of China: Confusianism and Taoism. Glencoe III: Free Press.
Worsley, Peter, 2002. Marx and Marxian. London & New York: Routledge.
Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalisme. New York, 1958
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx Durkheim dan Max Weber/ Anthony Giddens; penerjemah, Soeheba Kramadibrata.-  Jakarta: UI-Press, 1986.
Andreski, Stanislav. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama/ Stanislav Andreski; penerjemah, Hartono.- Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989.

0 komentar:

Posting Komentar