welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

Fiqh Jinayah


HUKUMAN TA’ZIR


 
 

RESUME
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam Mata kuliah Fiqh Jinayah Semester IV

Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIFA’I  
NIM: 08350054/ AS-A


AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2010
Pembahasan
HUKUMAN TA’ZIR
A.  Definisi
Makna ta’zir bisa juga diartikan mengagungkan dan membantu, seperti apa yang difirmankan Allah swt:
(#qãZÏB÷sçGÏj9 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur çnrâÌhyèè?ur çnrãÏj%uqè?ur ……..u
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya”,

Maksud dari kata Tu’azziruuhu dalam ayat ini adalah mengagungkannya dan menolongnya.
Dan ta’zir dalam bahasa Arab diartikan juga sebagai penghinaan; dikatakan Azzara Fulanun Fulaanan yang artinya adalah bilamana Fulan yang pertama melakukan penghinaan terhadap Fulan kedua dengan motivasi memberi peringatan dan pelajaran kepadanya atas dosa yang telah dilakukan olehnya.
Adapun yang dimaksud dengan arti ta’zir menurut terminologi Fiqh Islam adalah tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Atau dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan oleh hakim[1] atas pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syariat atau kepastian hukumannya belum ada.

B.  Disyari’atkannya Ta’zir
Asal mula disyari’atkannya hukuman ta’zir adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Turmudziy, An-Nasaiy dan Al-Baihaqiy dan Bahz ibnu Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw telah menjatuhkan hukuman kurungan (penjara) terhadap pelaku tuduhan palsu. Hadits ini di anggap shahih oleh al-Hakim.
Akan tetapi hukuman kurungan seperti yang dilakukan Nabi saw tadi adalah sebagai tindakan preventif sampai perkaranya menjadi jelas.
Imam Bukhari dan Muslim serta Abu Daud meriwayatkan sebuah hadits dari Haani’ ibnu Nayyaar, beliau pernah mendengar Rasulullah saw, pernah bersabda:

لا تجلـدوا فـوق عشرة اسـواط، إلا في حـد من حـدودالله تعــالى.
Janganlah kamu melakukan pemukulan lebih dari sepuluh kali cambukan, kecuali hanya dalam pelaksanaan hukuman had yang telah mendapat restu dari Allah saw.
Para imam yang berjumlah tiga mengatakan, bahwa hukuman ta’zir itu wajib dilaksanakan.[2] Adapun imam Syafi’i mengatakan, bahwa itu tidak wajib.

C.  Hikmah Disyari’atkannya Hukuman Ta’zir serta Perbedaannya dengan Hukuman Hadd
Islam mensyariatkan hukuman ta’zir sebagai tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan. Hikmahnya adalah sama dengan hikmah yang ada dalam hukuman hadd, yaitu: bahwa hukuman merupakan penghapus dosa, sehingga orang yang terkena hukuma itu tidak disiksa lagi di akherat nanti. Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ubaidah bin Shamit yang menceritakan, bahwa sewaktu dia bersama Rasulullah dalam suatu majelis, beliau berkata:[3]

تبايعونى على ان لا تشركوا بالله شيــا ولا تزنوا ولا تسر قوا ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق فمن وفى منكم فأجره على الله ومن اصاب شيــا من ذلك فعوقب به فهو كفارة له، ومن اصاب شيــا من ذلك فستره الله عليه فأمره الى الله إن شآءعفا عنه وإن شاءعذبه

“ Berjanjilah kamu sekalian di hadapanku untuk tidak menyekutukan Allah, untuk tidak berzina, untuk tidak mencuri dan untuk tidak membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak. Barangsiapa yang teguh dengan janjinya, maka balasannya tersedia di itangan Allah. Tetapi barangsiapa yang masih saja melanggar salah satu di antara janji-janjinya itu, maka dia akan dikenai hukuman sebagai penghapus dosa tersebut baginya. Barangsiapa siapa yang masih juga melanggra janji-janjinya itu tetapi ditutupi oleh Allah, maka persoalannya terserah pula kepada Allah. Jika Dia menghendaki untuk mengampuninya, maka ia diampuni-Nya, dan jika sebaliknya, maka orang yang bersangkutan itu akan disiksa.”

D.  Perbedaan Hukuman Hadd dengan Hukuman Ta’zir
1.    Pelaksanaan hukuman hadd tanpa pandang bulu, lain dengan hukuman ta’zir yang pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.
2.    Dalam kasus hadd, tidak diperkenankan meminta grasi sesudah kasusnya dilaporkan kepada sang hakim, sedangkan dalam kasus hukuman ta’zir hal itu diperbolehkan.
3.    Sesungguhnya orang yang mati akibat hukuman ta’zir, orang yang melaksanakannya harus bertanggung jawab terhadap kematiannya. Namun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan bahwa dalam kasus ini tidak ada ganti rugi dan tidak ada apa-apa, sebab pelaksanaan ta’zir dan hadd sama saja.

E.  Bentuk Hukuman Ta’zir
Hukuman ta’zir adakalanya dengan ucapan seperti penghinaan, peringatan dan nasehat, dan terkadang dengan perbuatan sesuai dengan kondisi yang ada, seperti juga ta’zir itu dilakukan dengan pukulan, kurungan, pasungan, pengasingan, pengisoliran dan skors.
Abu Daud telah meriwayatkan sebuah hadits:[4]

أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم بمخنث قد خضب يديه ورجليه بالحناء فقال صلى الله عليه وسلم: مابال هذا ؟.... فقالوا: يتشبه بالنسآء فأمر به فنفي إلى البيع، فقالوا: يا رسول الله نقتله؟.... فقال صلى الله عليه وسلم إنى نهيت عن قتل المصلين.

“ bahwa pada suatu ketika dihadapkan kepada Nabi saw. seorang waria yang mengecat kuku jari-jari tangan dan kakinya dengan pacar (cutex). Kemudian Nabi saw. bersabda: “apakah yang dilakukannya?” para sahabat berkata: “ia meniru-niru kaum wanita.” Lalu beliau Nabi saw memerintahkan agar orang tersebut di asingkan di tanah Baqi.’[5]Mereka bertanya “wahai Rasulullah saw, apakah kami lebih baik membunuhnya?” beliau menjawab: “sesungguhnya aku melarang orang-orang yang mendirikan shalat dibunuh.”
Tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir dengan cara mencukur janggut, merusak rumah, mencabut tanaman kebun, merusak lahan, buah-buahan, dan pepohonan.
Sebagaimana tidak boleh pula memotong hidung, daun telinga, bibir, atau memotong jari-jari, sebab hal-hal seperti ini belum pernah dilakukan oleh para sahabat.

F.   Ta’zir Lebih Dari Sepuluh Kali Cambukan
Pada waktu yang lalu telah disebutkan tentang haditsnya Haani’ ibnu Nayyar yang menjelaskan tentang larangan menimpakan hukuman ta’zir lebih dari sepuluh kali deraan cambuk.
Hadits ini dijadikan pegangan oleh Imam Ahmad, al-Laits, Ishaq dan sekelompok Imam Syafi’i. untuk itu  maka mereka mengatakan: “tidak boleh menjatuhkan (hukuman ta’zir) lebih dari sepuluh kali deraan yang telah ditentukan oleh syari’at.”
Adapun Imam Malik, asy-Syafi’i, Zaid ibnu ‘Ali dan lain-lainnya, mereka memperbolehkan lebih dari sepuluh kali deraan, akan tetapi jangan sampai melewati batas minimal hukuman hadd (sangsi pidana).
Sekelompok ulama’ fiqh mengatakan, bahwa hukuman ta’zir terhadap suatu perbuatan maksiat tidak boleh melebihi hukuman hadd perbuatan maksiat.
Maka dari itu hukuman ta’zir pandangan maksiat dan bersekulit tidak boleh melebihi hukuman zina. Dan juga mencuri yang bukan dari tempat simpanannya, tidak boleh menghukumnya dengan memotong tangannya, dan mencaci selain menuduh zina tidak boleh menjatuhkan hukuman ta’zir seperti hukuman hadd menuduh zina.
Dan ada pula yang mengatakan, bahwa waliyyu’l-amri hendaknya berijtihad serta mengira-ngirakan hukuman sesuai dengan kemaslahatan dan kadarnya pelanggaran.

G.  Ta’zir dengan Hukuman Mati
Hukuman ta’zir dengan membunuh pelaku pelanggaran diperbolehkan oleh sebagian para ulama’ dan sebagian lainnya melarangnya.
Disebutkan dalam kitabnya Ibnu Abidin menukil dari pendapat al-Hafizh ibnu Taymiyyah: “sesungguhnya di antara pokok-pokok kalangan madzab Hanafi adalah bahwa kejahatan yang tidak dianggap sebagai pembunuhan yang memenuhi syarat di antara mereka, seperti membunuh dengan benda yang berat, dan perbuatan homoseks. Bilamana perbuatan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka sang Imam diperbolehkan menjatuhkan hukuman mati terhadap ppelakunya, sebagaimana sang Imam pun diperbolehkan melebihkan hukuman hadd dari yang telah ditentukan, bilamana beliau melihat kemaslahatan dalam hal tersebut.

H.  Hukuman Ta’zir dengan Merampas Harta Benda
Hukuman ta’zir berupa pengambilan harta benda si pelanggar diperbolehkan, ini adalah pendapat yang dianut oleh madzabnya Abu Yusuf, di akui pula oleh Imam Malik.
Pengarang kitab Mu’ienu’l-kalaam mengatakan: “barang siapa mengatakan bahwa hukuman harta benda dimansukh (diralat), berarti ia telah menyalahkan pendapat para Imam mujtahidin baik secara naqliy (dalil al-Qur’an atau Hadits) maupun secara istidlaliy (berdasarkan ijtihad mereka). Bukankan suatu hal yang mudah menuduh bahwa okum tersebut dimansukh. Pada hakikatnya orang-orang yang menuduh bahwa okum ini dimansukh, tidak mempunyai dalil sunnah maupun ijma’ yang mendukung pendapat mereka, kecuali hanya perkataan mereka saja yang mengatakan bahwa pendapat teman-teman kami ini tidak benar.”
Dan Ibu’l-Qayyim meriwayatkan, bahwa Nabi saw. Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dengan melarang bagian orang yang berhak dari harta rampasankaum muslimin, karena dia membuat suatu pelanggaran. Dan beliau saw. Memberikan maklumat tentang hukuman ta’zir orang yang tidak mau membayar zakat, yaitu dengan mengambil sebagian dari harta si pelanggar. Untuk itu Nabi saw. Bersabda dalam suatu periwayatan yang diceritakan oleh Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasaiy:

من أعطاها مؤتجرا فله أجرها. ومن منعها فإنا آخذوها وشطر ماله، عزمة من عزمات ربنا.

Barang siapa memberikan zakat demi mengharapkan pahala, maka ia akan memperoleh pahalanya. Dan barang siapa yang menolaknya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya dan sebagian dari hartanya sebagai penebus kepastian perintah Tuhan kami.

I.     Hukuman Ta’zir Adalah Hak Hakim Sepenuhnya
Hukuman ta’zir sepenuhnya ada di tangan hakim, sebab beliaulah memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin.
Dan dalam kitab Subulu’s-Salaam disebutkan: Hukuman ta’zir tidak diperkenankan selain dari imam kecuali dari tiga orang berikut ini:
1.   Ayah, beliau boleh menjatuhkan ta’zir terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif, dan mencegahnya dari akhlak yang jelek. Menurut pendapat yang kuat, bahwa sang ibuu pun boleh berbuat serupa selagi sang anak masih berada dalam asuhannya, dan boleh pula memerintahkan anaknya sholat, bila membangkang diperbolehkan sang ibu memukulnya. Dan sang ayah tidak berhal menta’zir anak yang sudah baligh sekalipun anaknya dikategorikan safih (idiot).
2.   Majikan, sang majikan diperbolehkan menta’zir hambanya baik yang bersangkutan dengan hak dirinya atau hak Allah, demikianlah menurut pendapat yang lebih shahih.
3.   Suami, sang suami diperbolehkan menta’zir istrinya dalam masalah nusuz (cekcok), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Qur’an. Bahkan dalam pendapat yang kuat, sang suami berhak memukul istrinya terhadap kasus meninggalkan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, bilamana ternyata sang istri tidak mempan dengan perhatian omongan, sebab ini termasuk bab mengingkari barang yang munkar. Sedangkan sang suami adalah termasuk salah satu di antara orang yang terkena taklif untuk melakukan pengingkaran baik dengan tangan, atau dengan lisan atau dengan hati. Adapun yang dimaksud di sini adalah dua hal yang pertama tadi.
Demikian pula sang guru boleh melakukan hal itu terhadap muridnya dengan tujuan edukatif/ mendidik anak-anak.

J.    Tanggung jawab terhadap akibat ta’zir
Tak ada tanggung jawab lagi sang ayah jika menta’zir anak-anaknya dalam rangka mendidiknya.
Suami juga tidak dikenai tanggung jawab bila bertujuan mendidik istrinya.
Sang hakim tidak bertanggung jawab bila mendidik si terhukum, tetapi dengan syarat hendakanya sang hakim dalam menjatuhkan hukuman ta’zir tidak berlebihan dan tidak melebihi target yang telah dicanangkan oleh hukuman ta’zir.
Bilamana sang hakim bertindak berlebihan dalam upaya mendidiknya, maka sang hakim terbilang orang yang berlaku aniaya, untuk itu ia harus mempertanggungjawabkan apa yang telah dirusak olehnya.












Daftar Pustaka
v  Sabiq, Sayyid. Fikkih Sunnah 9. Bandung: PT. AL-MA’ARIF. 1997.
v  Sabiq, Sayyid. Fikkih Sunnah 10. Bandung: PT. AL-MA’ARIF. 1995.



[1] Hakim adalah orang yang menerapkan hukum-hukum Islam, melaksanakan hukuman-hukuman haddnya dan mengikatkan dirinya dengan ajaran-ajaran Islam.
[2] Artinya ta’zir itu wajib jika memang telah disyari’atkan pentasyri’.
[3] Sayyid Sabiq, Fikkih Sunnah, juz 9,ctkn ke-9 hlm 30.
[4] Sayyid Sabiq, Fikkih Sunnah, juz 10, cetkn ke-7 hlm 154.
[5] Di dalam kitab at-Taju’l-Jami’ li’l-Ushul, hal 34, disebutkan kata an_naqi’ bukannya al-Baqi’, keduanya adalah nama tempat yang terletak di bagian luar kota Madinah.

0 komentar:

Posting Komentar