EKONOMI SYARI’AH
OLEH:
DRS. H. DAHWAN, M.Si
Dalam Bahasa Arab الإقتصاد الشرعى atau الإقتصاد الإسلامى.
Menurut Prof. Robbins, Ilmu Ekonomi adalah: Ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif.
Dr. Muhammad Ibn Abdullah, Ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip umum tentang ekonomi yang diambil dari al Qur'an dan al Sunnah dan fondasi ekonomi yang dibangun atas pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan lingkungan dan waktu.
Isu-isu utama dalam ilmu ekonomi adalah tentang: produksi, distribusi dan konsumsi
Faktor-faktor dalam produksi antara lain Pemilikan Aset, Tenaga Kerja dan Manajemen
Pemilikan: al Baqarah: 29, 188, 279, an Nisa 6, al Ma‘arij 24 dll.
Pemilikan dalam Islam secara absolut (mutlak) milik Allah sedangkan manusia pemilikan secara nisbi. Ali 'Imran 189.
Tenaga Kerja, al Qashash:27
Islam mengakui adanya perbedaan imbalan yang berdampak kpd perbedaan imbalan an Nisa': 33.
Manajemen: As Shaf 4.
Hadits:
ان الله يحب اذا عمل احدكم العمل ان يتقنه رواه الطبرانى
Distribusi: Sangat erat hubungan dengan pemasaran dan berbagai transaksi.
Dalam pemasaran tidak akan lepas promosi, persaingan, kemungkinan terjadi monopoli, interfensi Pemerintah tentang harga dll. Islam telah menjelaskan dalam berbagai hadits.
Berbagai bentuk transaksi diterangkan dalam al Qur’an dan as Sunnah, misalnya jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dll.
Pada faktor konsumsi, Islam mengklasifikasian kebutuhan manusia menjadi tiga,
1. dlaruri (primer),
2. hajji, sesuatu yang menjadikan kemudahan atau mendatangkan efisensi.
3.tahsini kebutuhan untuk keindahan atau kemewahan. Dalam pada itu Islam juga menetapkan etika dalam berkonsumsi, antara lain, kesederhanaan, keseimbangan, memiliki kepedulian sosial dll,
M. Nejatullah Shiddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam menjadi tiga fase, yakni ,
1. Fase dasar-dasar ekonomi Islam dari awal Islam sd abad 11 Masehi,
2. Fase Kemajuan dari abad 11 sd abad 15 Masehi.
3. Fase Stagnasi dari abad 15 Masehi sd 1932
1. Fase dasar-dasar ekonomi Islam dari awal Islam sd abad 11 Msehi, di antara tokoh pemikirnya adalah Zaid Ibn 'Ali w 80 H, Imam Abu Hanifah w 150 H, Imam Abu Yusuf w 182 H, Al Syaibani w 189 H, Abu Ubaid Ibn Salim w 224 H ibn Maskawaih w 421 Hdan Al Mawardi,w 450 H
2. Fase Kemajuan dari abad 11 sd abad 15 Masehi. Di antara tokoh-tokohnya, Imam Al Gazali w 550 H, Ibn Taimiyah w 728 H, Asy Syatibi w 790 H, Ibn Khaldun w 808 H dan Al Maqrizi w 845 H
3. Fase Stagnasi dari abad 15 Masehi sd 1932. Di antara tokohnya adalah Waliyullah ad Dahlawi w 1176 H, Jamaluddin al Afgani w 1315 h M Abduh w 1320 H dan M Iqbal 1357/1938 H
Sistem-sistem Ekonomi
Dalam Ilmu Ekonomi, mulanya hanya dikenal dua system ekonomi, yakni system ekonomi kapitalis dan dan system ekonomi sosialis. Namun akhir-akhir ini telah dikenal dan dipelajari system ekonomi Islam.
Sistem ekonomi kapitalis ditandai dengan penguasaan terhadap kapital. Setiap individu memiliki kekuasaan penuh untuk menguasai kapital, kebebasan dalam berusaha. Dalam system ekonomi kapitalis manusia adalah pemilik satu-satunya terhadap harta yang telah diusahakan. Ia pemilik hak mutlak untuk membelanjakan sesuai dengan keinginannya. Ia memiliki hak untuk memonopoli sarana-sarana produksi sesuai dengan kekuasaannya. Ia akan mengalokasikan hartanya pada bidang-bidang yang memiliki nilai guna materi (privit oriented)
Sistem ekonomi sosialis. Bertumpu pada kekuasaan sosial (masyarakat).Ekonomi sosialis memandang bahwa segala bentuk sumber kekayaan dan alat-alat produksi adalah milik bersama masyarakat.Para anggota masyarakat secara individu tidak memiliki hak kecuali retribusi yang mereka peroleh sebagai pelayanan publik. Negara hadir menggantikan masyarakat dengan dominasi sebagai kekuatan tunggal.
Sistem ekonomi Islam, mengenal adanya milik, yakni milik individual dan milik umum. Benda-benda yang menjadi hajat masyarakat dimiliki oleh umum dan selain itu dapat dimiliki oleh individu. Pemilikan oleh individu bersifat nisbi, sedang pemilikan mutlak hanya pada Allah. Dalam pemilikan individu terdapat hak-hak Allah.Individu diberi kebebasan untuk berusaha, namun dalam pada itu terdapat aturan-aturan prinsip, misalnya tidak boleh merugikan pihak lain.
Karakteristik Ekonomi Islam:
1. Bersumber dari Tuhan dan penetapan-penetapan hukumnya.
2. Ekonomi Jalan Tengah dan Berkesimbangan.
3. Ekonomi Berkecukupan dan Berkeadilan.
4. Ekonomi Pertumbuhan dan Barakah.
AKAD-AKAD DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Akad dalam LKS secara garis besar dibedakan menjadi dua macam:
1. Akad-akad tabarru’at, yang mencakup:
- Al Wadi’ah: Penitipan benda kepada orang lain untuk dijaga. Dalam pelaksanaan di LKS al wadi’ah ada dua macam, yakni :
1). Al Wadi’ah yad al amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang/uang titipan.
2). Al Wadi’ah yad adl-dlamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan barang/uang yang dititipkan.
b. Wakalah, yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
c. Kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
d. Hawalah,yaitu akad pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)nya.
e. Qardl, yakni akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah.
f. Rahn (gadai). Yakni menahan barang milik nasabah sebagai jaminan dari hutang yang diterima.
g. Hibah/Shadaqah, yakni pemberian dari satu pihak kepada pihak yang lain.
h. Wakaf, yaitu perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umummenurut syari’ah
2. Akad-akad Tijarat, yang terdiri dari:
a. Atas dasar teori pertukaran, yang berupa:
1). Murabahah, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
2). Salam, yakni jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
3). Istishna’, yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual.
4). Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barangatau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
b. Atas dasar teori percampuran, yangmeliputi:
1). Musyarakah, yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
2). Muzara’ah, adalah akad kerjasama pengolahan pertanian, antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen.
3). Musaqah, dalam hal ini pekerja hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan , sebagai imbalan pekerja berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
PERBANKAN SYARIAH
Landasan Hukum:
A. UU No. 7 Tahun 1992
Pasal 5:
(1). Menurut jenisnya, bank terdiri dari:
a. Bank Umum
b. Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi:
a. Dst
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
a. dst
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
B. Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 yang ditetapkan pada tanggal 30 Oktober 1992. Pasal 6 menyebutkan:
(1). Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2). Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dalam SE BI Nomor 25/4BPPP tanggal 29 Pebruari 1993, yang pada pokoknya menetapkan hak-hak antara lain:
1). Bahwa bank berdasarkan bagi hasil adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat yang melakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
2). Prinsip bagi hasil yang dimaksudkan adalah prinsip bagi bag hasil berdasarkan syari’ah.
3). Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari’ah.
4). Bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Sebaliknya, bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya tidajk berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
DPS adalah sebuah lembaga dalam Bank Syari’ah yang ditetapkan oleh RUUPS, dan telah direkomendasi oleh DSN. Tugas DPS, yaitu:
1. Mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari, agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan Syari’ah
2. Membuat pernyataan secara berkala (tahunan) bahwa ank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Syari’ah.
3. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasi.
DPS kedudukanya setingkat dengan Komisaris.
C. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pasal 1
1. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip Syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Prinsip Syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau antara lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau degan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)
D. Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
E. Undang-Undang No: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Pasal 26
(1). Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20dan Pasal 21 dan/atau produk jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syari’ah.
(2). Prinsip Syariah sebagaimana yang dimaksud ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(3). Fatwa sebagaimana yang dimaksud ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
Pasal 32
(1). Dewan Pengawas Syari’ah wajib dibentuk di bank Syari’ah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
(2). Dewan Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama.
(3). Dewan Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syari’ah.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syari’ah sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
• Produk Bank Syari’ah:
• 1. Penghimpunan/Pengerahan Dana (Funding).
• 2. Penyaluran Dana/Pembiayaan (Financing).
• 3. Jasa (Service).
• Penghimpunan dana bersumber pada:
- Modal.
- Titipan (Al Wadi’ah).
3. Investasi
A. Modal
- Modal adalah dana yang diserahkan oleh para pemilik (owner).
- Modal dapat digunakan untuk pengadaan tanah, gedung, perlengkapan dsb yang tidak langsung menghasilkan (fixed asset/non earning asset).
- Modal juga dapat digunakan kegiatan produktif, yaitu disalurkan untuk dana pembiayaan.
4. Pembiayaan yang berasal dari modal, hasilnya hanya untuk pemilik modal, tidak dibagikan kepada pemilik dana yang lain.
5. Pada akhir periode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal (shahib al mal) memperoleh bagian dari hasil usaha yang lazim disebut deviden.
6. Penyertaan modal disebut dengan syirkah
SUMBER DANA DARI MODAL PEMEGANG SAHAM
1. Setor modal
|
|
4. Bagi Deviden
3.Bagi hasil
|
B. Al Wadi’ah
- Al Wadi’ah yad al amanah (Trustee Deposity)
Bank tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang/uang yang ditipkan sepanjang bukan akibat kesengajaan, kelalaian, atau kecerobohan dalam memeliharanya.
Karakteristiknya:
- Barang/uang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan atau digunakan oleh penerima titipan.
- Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang betugas dan berkewajiban menjaga barang yang ditipkan tanpa memanfaatkannya.
- Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada penitip. Dalam aplikasi perbankan memungkinkan untuk membebani kepada penitip jasa penitipan (safe defisit box).
- 2. Al Wadi’ah yad adh dhamanah.
Bank bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan harta yang dititipkan. Dalam perekonomian modern al Wadi’ah yad adh dhmanah lebih dipilih, namun harus seijin pemilik dana.
Karakteristiknya:
a. Barang/uang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Dalam pada itu pemilik dana tidak memiliki keuntungan dan juga tidak menanggung kerugian jika hal itu terjadi.
b. Tidak ada keharusan penerima titipan untuk memberi hasil pemanfaatan harta titipan kepada penitip.
c. Bank dapat memberi bonus (al ‘athaya) kepada pemilik dana tanpa diperjanjikan.
C. Investasi
Prinsip yang digunakan dalam investasi yakni akad al al mudharabah. Akad ini dapat dibedakan menjadi dua macam:
1. Al Mudharabah al Muthlaqah (Generqal Investment).
Karakteristiknya:
a. Shahib al mal tidak memberi batas-batas tertentu kepada mudharib dalam mengelola dana.
b. Bank wajib memberi tahu kepada shahib al mal tentang nisbah dan tatacara pemberitahuan keuntungan.
c. Dapat diujudkan dalam bentuk tabungan atau deposito.
2. Al Mudharabah al Muqayyadah
Shahib al mal membatasi mudharib (Bank) dalam memnggunakan dana yang diinvestasikan.
PRODUK PEMBIAYAAN ATAU PENYALURAN DANA
Produk pembiayaan dilakukan dengan tiga model akad:
- Jual beli
- Sewa menyewa
- Bagi Hasil
1. Akad jual beli dalam produk pembiayaan dapat dilakukan dengan:
A. Al Murabahah
Dalam teknis perbankan:
1). Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
2). Harga jual adalah harga beli dari prosusen (pabrik/toko), ditambah margin keuntungan yang disepakati dua belah pihak, demikian pula disepakati jangka pembayarannya.
3). Harga jual yang dicantumkan dalam akad tidak dapat diubah selama berlaku akad.
4). Pembayaran dapat dilakukan dengan tangguh dan dapat pula dilakukan dengan angsuran (bai’ bi al tsaman al ajil).
B. Al Salam
Al Salam yakni jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu.
Teknis perbankan:
- Nasabah mengajukan pembiayaan kepada Bank
- Bank memesan barang kepada nasabah
- Bank membayar harga barang yang dipesan kepada nasabah
- Dalam waktu yang disepakati nasabah menyerahkan barang yang dipesan kepada Bank
- Bank menjual barang yang dipesan kepada pembeli yang lain.
Dalam praktik perbankan lazim juga dalam akad salam ini, menggunakan pihak produsen sebagai penyedia barang. Teknisnya:
1.Terjadi negoisasi antara nasabah dengan Bank.
2.Bank memesan barang kepada produsen sekaligus membayar harga barang.
3.Pada waktu yang ditentukan Produsen mengirim barang kepada nasabah dan mengirim dokumennya kepada Bank.
4.Pada waktu yang disepakati nasabah membayar kepada Bank ditambah keuntungan yang telah disepakati.
C. Al Ishtisna’
Al Istishna’ yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria tertentu yang disepakati antara pemesan (mustashni’) dan pembuat (shani’).
Dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan di muka, dapat dengan angsuran dan dapat ditangguhkan setelah barang yang dipesan jadi.
Dalam praktik perbankan biasanya pihak Bank menggunakan produsen sebagai pihak pembuat barang.
2. Al Ijarah
Akad al Ijarah yang banyak dilakukan dalam praktik perbankan yakni al Ijarah al muntahiyah bit tamlik (akad sewa menyewa yang berakhir dengan pemilikan). Maksudnya adalah akad yang semula berupa akad sewa menyewa dalam jangka waktu tertentu dengan uang sewa yang telah ditentukan jumlahnya, -dan lazimnya dibayar secara berkala- namun apablia habis masa sewa dan sekaligus uang sewa yang dibayar telah memenuhi jumlah uang sewa yang ditetapkan, maka jumlah uang sewa tersebut ditetapkan sebagai uang pembayaran atas pembelian barang yang disewa.
3. Bagi Hasil
Bagi hasil dalam prkatik di LKS, dilakukan dengan
- Akad Musyarakah.
Akad Musyarakah yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha bisnis tertentu, dengan masing-masing pihak memberi kontribusi dana dan kesepakatan untuk membagi keuntungan dan menaggung kerugian sesuai yang telah disepakati.
Ketentuan pada obyek akad:
a). Modal:
(1). Modal yang diberikan harus berupa uang tunai dan barang. Modal yang berupa barang terlebih dahulu harus disepakati nilai/harganya oleh semua mitra/anggota musyarakah.
(2). Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
(3). Pada prinsipnya dalam pembiayaan al musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b). Kerja
(1). Partisipasi mitra (anggota) dalam pekerjaan nerupakan dasar pelaksanaan al musyarakah, akan tetapi kesamaan pekerjaan bukan merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari pada yang lain, dengan hak untuk memperoleh bagian keuntungan tambahan sebagai ganti dari tambahan pekerjaan yang dilakukan.
(2). Setiap mitra (anggota) dalam melaksanakan kerja dalam al musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitra (anggota) yang lain.Kedudukan masing-masing dalam organisasi harus dijelaskan dalam kontrak.
c). Keuntungan
(1). Keuntunga harus dikuantifikasikan dengan jelas untuk menghindari perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentin al musyarakah.
(2). Setiap keuntungan mitra (anggota) harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra (anggota).
(3). Seorang mitra boleh mengusulkan jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
(4). Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d). Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara mitra (anggota) secara proporsional menurut saham masing-masingdalam modal.
Ketentuan tentang Biaya Operasional
Biaya operasional dibebankan kepada modal bersama.
b. Al Mudlrabah
Dalam produk pembiayaan yang bertindak sebagai shahib al mal adalah pihak Bank Syari’ah, sedangkan yang bertindak sebagai mudlarib adalah nasabah.
Ketentuan dalam akad al mudlarabah ini, yaitu:
1). Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakan antara Bank Syari’ah dan nasabah
2). Mudlarib boleh melakukan berbagai maca usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah, dan pihak Bank Syari’ah tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tetapi mempunyai hak melakukan pembinaan dan pengawasan.
3). Pada prinsipnya pada akad al mudlarabah tidak ada jaminan, namun agar mudlarib tidak melakukan penyimpangan, Bank Syari’ah dapat meminta jaminan dari mudlarib atau pihak ketiga. Jaminan hanya dapat dicairkan apabila mudlarib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
PRODUK JASA
Produk Jasa dalam perbankan Syari’ah, mencakup:
- Akad al Wakalah
- Akad al Hiwalah
- Akad al Kafalah
- Akad al Qardl al Hasan
Akad al Wakalah yaitu pelimpahan kekuasaan oleh satu ihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang dibolehkan.
Praktek al wakalah pada perbankan syari’ah dilakukan sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa kepada nasabah. Misalnya untuk perwakilan dalam pembayaran impor barang, pembayaran dalam peragenan dsb.
Dalam akad al wakalah pihak Bank Syari’ah dapat memperoleh fee sepanjang tidak memberatkan
Muwakkil.
Akad al Hiwalah yaitu akad pengalihan hutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)nya.
Rukun akad al hiwalah:
- Al Muhil (orang yang berhutang).
- Al Muhal/al muhtal (orang yang berpiutang)
- Al Muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada al muhil dan wajib membayar kepada al muhal).
- Al Muhal Bih (hutang al muhil kepada al muhal).
- Ijab dan qabul
Akad al Hiwalah dilakukan harus dengan persetujuan al muhil, al muhal dan al muhal ‘alaih.
Dalam praktek di perbankan syari’ah akad al hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapat modal tunai agar dapat melanjutkan usahanya. Dalam hal ini perbankan syari’ah mendapat ganti biaya atas pemindahan piutang.
Akad al Kafalah yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Rukun akad al kafalah:
- Al Kafil (penjamin).
- Al Ashil/al makful ‘anhu (pihak yang berhutang/yang dijamin).
- Al Makful lah (pihak yang mempunyai piutang)
- Al Makful bih (hutang sebagai obyek jaminan
- Ijab dan qabul
Dalam akad al kafalah, penjamin dapat menerima fee (imbalan)sepanjang tidak memberatkan. Demikian pula penjamin (Bank Syari’ah) dapat mempersyaratkan orang yang ditanggung (nasabah) untuk menempatkan sejumlah dana atau barang sebagai agunan.
Akad al Qardl al Hasan yaitu akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Bank Syari’ah pada waktu yang telah disepakati oleh Bank Syari’ah dan nasabah.
Dalam praktek perbankan:
- Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah
- Bank Syari’ah dapat meminta jaminan kepada nasabah jika dipandang perlu
3.Nasabah dapat memberi tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada Bank Syari’ah selama tidak diperjanjikan dalam akad.
Sumber dana:
- Bagian modal Bank Syari’ah
- Keuntungan Bank Syari’ah yang disisihkan
- ZIS yang dipercayakan kepada Bank Syari’ah
CARA PERHITUNGAN BAGI HASIL
- Dalam Funding
Contoh kasus
Marto memiliki deposito dengan nominal Rp. 10.000.000,- dari tanggal 1 Oktober 2009 sampai dengan 1 Nopember 2009. Nisbah bagi hasil: Nasabah (deposan): 55 % dan Bank Syari’ah 45 %. Rata-rata saldo deposito dalam jangka satu bulan yang dihimpun Rp. 1.000.000.000,- Keuntungan yang diperoleh Rp. 50.000.000,- Berapa bagian bagi hasil yang diperoleh Marto ?
Cara perhitungan:
- Dicari komposisi dana deposito nasabah dengan rata-rata per bulan yang dihimpun.
- Hasil komposisi (no.1) dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh.
- Hasil nomor 2 dikalikan dengan nisbah bagi hasil.
Jadi perhitungannya:
- Rp. 10.000.000,- : Rp 1.000.000.000,- = 1 %
- 1 % x Rp 50.000.000,- = Rp. 500.000,-
- Bagian bagi hasil nasabah = 55 % x Rp. 500.000,- = Rp 275.000,-
- Bagian bagi Bank Syari’ah = 45 % x Rp. 500.000,- = Rp. 225.000,-
Jika dibandingkan dengan deposito di Bank Konvensional, misalnya dengan memberi bunga 20 % /th, maka perhitungannya = 20 % x Rp. 10.000.000,- x (31:365)= Rp Rp 169.863,-
b. Dalam Financing
Contoh kasus: Burhan seorang pedagang kelontong mengajukan pembiayaan Rp. 5.000.000,- ke Bank Syari’ah dengan angsuran per bulan Rp. 500.000,-Nisbah bagi hasil 70 % untuk nasabah dan 30 % untuk Bank Syari’ah. Kondisi usahanya sebagai berikut:
Modal nasabah Rp. 10.000.000,-
Modal Bank Syari’ah Rp. 5.000.000,-
Total Modal Rp. 15.000.000,-
Pendapatan Hasil Usaha Rp. 900.000,-
Berapa bagian masing-masing dan berapa yang harus disetor ke Bank Syari’ah dalam bulan ini?
Cara perhitungan:
- Dicari komposisi modal Bank Syari’ah dengan total modal.
- Hasil komposisi (no.1) dikalikan pendapatan yang diperoleh.
- Hasil nomor 2 dikalikan dengan nisbah bagi hasil.
- Dibayarkan ke Bank Syari’ah ditambah angsura per bulan.
Perhitungannya:
- Rp. 5.000.000,- : Rp. 15.000.000,- = 33,3 %
- 33,3 % x Rp. 900.000,- = Rp. 300.000,-
- Keuntungan bagi Bank Syari’ah = 30 % x Rp. 300.000,- = Rp. 90.000,-
- Keuntungan bagi nasabah = 70 % x Rp. 300.000,- = Rp. 210.000,-
- Yang disetor ke Bank Syari’ah oleh nasabah= Rp. 500.000,- + Rp. 90.000,- = Rp. 590.000.
Perhitungan bagi hasil menganut perhitungan Bagi Hasil Menurun, sehingga untuk perhitungan bagi hasil bulan berikutnya akan berbeda disebabkan oleh semakin enurunyya jumlah modal Bank Syari’ah dan komposisi modalnya.
الرهن
(GADAI)
Pengertian
Menurut bahasa:
الرهن= =الدوام = الحبس
Menurut istilah para fuqaha:
• حبس مال بحق يمكن ان يستوفي منه جميعه او بعضه
• جعل عين لها قيمة مالية فى نظر الشرع وثيقة بدين يمكن اخذ الدين او اخذ بعضه من تلك العين
Menjadikan sesuatu benda bernilai ekonomis dalam pandangan Syara’ sebagai tanggungan hutang dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima
Dasar Hukum
و ان كنتم على سفر و لم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة
البقرة283
عن عائشة رضي الله عنها
أن النبي صلى الله عليه و سلم اشترى طعاما من يهودي إلى أجل فرهنه درعه رواه البخارى
Rukun dan Syarat:
1. Penggadai (الراهن) dan Penerima Gadai (المرتهن)
Keduanya disyaratkan memiliki اهلية الاداء الكاملة
2. Hutang (المرهون به/الدين) dan Barang gadai (المرهون)
Syarat hutang:
- dalam jumlah tertentu yang disepakati kedua pihak
Syarat barang gadai:
a. benda yang tahan lama
b. dalam jumlah tertentu yang diketahui oleh kedua pihak
c. harga benda minimal sama dengan jumlah hutang
d. dapat diserahkan di waktu akad atau waktu yang disepakai kedua pihak.
3. Ijab dan Qabul
Persyaratannya pada dasarnya seperti pada akad yang lain.
Hak Menahan Barang Gadai:
Mazhab Syafi’i : di tangan penggadai
Mazhab Hanafi: di tangan penerima gadai
Hak Manfaat Barang Gadai:
- Mazhab Syafi’i: Milik penggadai. Penerima gadai boleh memanfaatkan atas ijin penggadai.
- Mazhab Hanafi: Penggadai boleh memanfaatkan barang gadai dengan seijin penerima gadai demikian pula penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai dengan seijin penggadai.
Sepakat: penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadai seharga ongkos pemeliharaan yang telah dikeluarkan.
Penjualan barang gadai jika hutang sampai batas waktu belum/tidak dilunasi
Pada dasarnya penjualan barang gadai adalah pemilik barang yakni penggadai, namun dalam mazhab Hanafi dapat disyaratkan penjualan dapat dilakukan oleh penerima gadai.
• Berakhirnya perjanjian gadai.
• Dengan terjadinya pelunasan hutang oleh penggadai, maka berakhir perjanjian gadai
A. SEJARAH PEGADAIAN di INDONESIA
Lembaga pegadaian dikenalkan di Indonesia oleh VOC dengan nama Ban van Levening, yakni sebuah lembaga Swasta yang mempunyai tugas memberi pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai.
Melalui Staatsblad Nomor 131 tanggal 12 Maret tahun 1901 di Sukabumi Jawa Barat didirikan Rumah Gadai. Dalam Staatsblad itu dinayatakan:
Sejak saat itu di bagian Sukabumi kepada siapa pun tidak diperkenankan untuk dengan memberi gadai atau dalam bentuk jual beli dengan hak membeli kembali, meminjamkan uang, tidak melebihi 100 (seratus) golden, dengan hukuman tergantung kepada kebangsaan para pelanggar yang diancam dalam pasal 337 KUHP bagi orang-orang Eropa dan pasal 339 KUHP bagi orang-orang Bumiputera
Selanjutnya dengan Staasblad 1930 No 266, Rumah Gadai mendapat status Dinas pegadaian sebagai Perusahaan Negara (Perusahaan Hindia Belanda).
Pada masa Pemerintahan RI Dinas Pegadaian masih dilanjutkan keberadadannya.
Melalui Undang-Undang Nomor 19 Prp 1960 jo PP RI Nomor 178 tahun 1961 pada tanggal 31 Mei 1961 status pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Pegadaian.
Pada tahun 1990 melalui PP no 10 tahun 1990 diubah lagi menjadi Perusahaan Umum.
Motonya: Menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Pada tanggal 14 Mei 2002 terjadi kesepakatan antara Perum Pegadaian dengan Bank Muamalat Indonesia untuk mendirikan Pegadaian Syari’ah. Dalam perjanjian ini menggunakan akad al musyarakah, dengan pihak BMI menyediakan modal dan pihak Perum Pegadaian menyediakan Infra Struktur dan SDM nya. Modal awal yang disediakan oleh BMI berjumlah Rp. 1.550.000.000,- kemudian untuk memperluas jaringan se Indonesi ditambah Rp. 24. 435.000,- sehingga menjadi Rp 25.985.000.000,- Dalam al musyarakah ini pembagian keuntungan dengan nisbah 50 % : 50 %.
Pegadaian Syari’ah yang pertama kali berdiri adalah Pegadaian Syari’ah Dewi Sartika yakni pada Januari 2003. Dalam 1 tahun (sampai dengan Desember 2003) jumlah nasabah 4.825 orang dengan dana yang yang disalurkan sebanyak Rp. 5.236.375.000,-
Motonya : Mengatasi masalah sesuai dengan Syari’ah.
B. Barang Gadai
Benda bergerak yang berupa:
1. Emas dan logam mulia yang lain serta berbagai jenis batu permata
2. Kendaraan bermotor
3.Alat-alat elektronika dan alat-alat rumah tangga.
4. Barang-barang lain yang dianggap bernilai.
C. Penaksiran Barang Gadai
1. Barang katong:
a. Emas
1). Petugas penaksir melihat harga pasar pusat yang telah berlaku dan stndar taksiran logam yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat. Harga Pedoman untuk penaksiran ini selalu disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi.
2). Petugas penaksir melakukan uji kararatase dan berat.
3). Petugas penaksir menentukan nilai taksiran.
b. Permata.
1). Petugas melihat standar taksiran yang telah dutetapkan oleh Kantor Pusat.Standar harga selalu disesuaikan dengan perekembangan harga.
2). Petugas melakukan uji kualitas dan berat
3). Petugas menentukan penaksiran harga
2. Barang gudang
Yang dimaksud barang gudang yaitu mobil, motor, mesin, Barang elektronik, tekstil, alat rumah tangga dsb.
a. petugas melihat harga setempat. Standar harga selalu disesuaikan dengan perkembangan
b. Petugas menentukan penaksiran harga.
D. Cara Memperoleh Marhun Bih (Hutang)
- Calon Nasabah langsung ke loket penaksir dan menyerahkan marhun (barang gadai) untuk ditaksir harganya.
- Calon nasabah menandatangani Surat Bukti Rahinb (SBR)
- Calon nasbah datang ke loket kasir untuk menerima marhun bih.
E. Penggolongan Marhun Bih
Jumlah marhun bih yang disalurkan sangat dipengaruhi oleh golongan marhun yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan Direksi Perum Pegadaian. Minimum marhun bih per surat bukti rahin (sbr) adalah Rp. 20.000,-
F. Tarif Biaya Administrasi
Biaya administrasi ditetapkan sebesar Rp. 50,- untuk setiap kelipatan marhun Rp. 5.000,-. Hasil hitungan biaya administrasi dilakukan pembulatan ke Rp. 100,- untuk senilai di atas Rp. 50,- dan dibulatkan menjadi nol untuk biaya dibawah Rp. 50,- Biaya admionistrasi dikenakan hanya sekali pada waktu akad. Besarnya didasarkan pada penggongan harga marhun.
G. Pinjaman Optimum
Pinjaman optimum pada Pegadaian Syari’ah adalah 90 % dari harga taksiran barang gadai.
H. Jangka Peminjaman
Jangka peminjaman maksimum 4 bulan
I. Tarif Jasa Sewa
1. Barang gadai dalam Kantong
Barang gadai yang ditebus dikenakan jasa tarif simpanan sebesar Rp 90,-/10 hari masa penyimpanan untuk kelipatan taksiran harga Rp. 10.000,-Kelebihan 1 – 9 hari dihitung 10 hari. Hasil hitungan dibulatkan kurang dari Rp 50,- sama dengan 0 dan Rp 50,- atau lebih menjadi Rp 100.-
2. Barang gadai dalam gudang
Barang gadai yang ditebus dikenakan jasa tarif simpanan sebesar:
– Rp 95,-/10 hari masa penyimpanan untuk kelipatan taksiran harga Rp 10.000,- untuk barang elektronik dan alat-alat rumah tangga
– Rp 100,-/10 hari masa penyimpanan untuk kelipatan taksiran harga Rp. 10.000,- untuk kendaraan bermotor
• Hasil hitungan dibulatkan kurang dari Rp 50,- sama dengan 0 dan Rp 50,- atau lebih menjadi Rp 100.-
• Biaya dipungut di akhir yaitu sewaktu pelunasan hutang
J. Biaya Administrasi dan Surat Hilang
CONTOH PERHITUNGAN
Barang gadai berupa emas perhiasan, dengan masa gadai 1 bulan (30 hari). Taksiran barang gadai Rp. 1.000.000,-Berapa jumlah uang pinjaman yang diterima dan berapa biaya yang harus dibayar oleh rahin ?
Jawaban:
Jumlah pinjaman yang diterima: 90 % x Rp. 1.000.000,- = Rp. 900.00,-
Biaya Administrasi golongan C = Rp. 5.000.-
Jasa Titipan = Rp. 90.- x 30x Rp. 1.000.000,- = Rp. 2.700.000.000,- = Rp. 27.000,-
10 x Rp. 10.000,- = Rp. 100.000,-
Jadi biaya yang yang harus dibayar oleh rahin = Rp 5.000,- + Rp.27.000,- =
Rp. 32.000,-
Perhitungan dalam Gadai Konvensional
Penggolongan Pinjaman dan Sewa Modal
Prosentase Uang Pinjaman terhadap Penaksiran
CONTOH PERHITUNGAN
Barang gadai berupa emas perhiasan, dengan masa gadai 1 bulan (30 hari). Taksiran barang gadai Rp. 1.000.000,-Berapa jumlah uang pinjaman yang diterima dan berapa biaya yang harus dibayar oleh nasabah ?
Jawaban:
Jumlah pinjaman yang diterima : 91 % x Rp. 1.000.000,- = Rp. 910.000,-
Biaya peminjaman golongan C1 = Rp. 5.000,-
Sewa Modal = 2 x 1,625 % x Rp 910.000,- = Rp. 29.575,-
Jadi yang harus dibayar oleh Nasabah= Rp. 5.000,- + Rp. 29.575,- = Rp. 34. 575,-
Jasa tarif sewa : T x W x Th
W = X
10
Th = Y
10.000
0 komentar:
Posting Komentar