welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

Ilmu Falak 1



        PENGERTIAN ILMU FALAK
            Kata “falak” berasal dari kata Arab al-falak (الفلك)yang secara harfiah berarti tempat beredar atau orbit.
            Dalam peradaban Islam khususnya zaman tengah, ilmu falak lebih dikenal dengan sebutan ilmu haiah (علم الهيئة) yang menurut al-Mas’udi (w. 346 H/957 M) merupakan padanan istilah Yunani “astronomi”. Sebaliknya di zaman modern istilah ilmu falak lebih banyak digunakan.



         PENGERTIAN ILMU FALAK
Pada zaman tengah ilmu falak (ilmu haiah) didefinisikan sebagai cabang pengetahuan yang mengkaji keadaan benda-benda langit dari segi bentuk, ukuran, kualitas, posisi, dan gerak benda-benda langit.
            Di zaman modern didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta berupa benda-benda langit di luar atmosfir bumi, seperti matahari, Bulan, bintang, sistem galaksi, planet, satelit, komet, dan meteor dari segi asal usul, gerak, fisik, dan kimianya, dengan menggunakan hukum-hukum matematika, fisika, kimia, dan bahkan biologi.        


         PENGERTIAN ILMU FALAK
Badan Hisab Rukyat Depag mendefinisikan ilmu falak sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit seperti matahari, Bulan, bintang, dan benda-benda langit lainnya, dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit yang lain.
Dalam bhs. Inggris disebut Practical Astronomy
Cabang ilmu pengetahuan lain yang mempelajari benda-benda langit antara lain: Astronomi, astrologi, astrofisika, astrometrik, astromekanik, kosmografi, kosmogoni.


         ILMU FALAK dan ILMU HISAB
Dalam khazanah fikih, ilmu falak lebih dikenal dengan sebutan ilmu hisab. Hisab yang berasal dari kata Arab al-hisab secara harfiah berarti perhitungan atau pemeriksaan. Dinamakan demikian karena kegiatan yang menonjol dari ilmu falak itu adalah memperhitungkan kedudukan benda-benda langit.
Menyangkut penentuan waktu-waktu ibadah, hisab digunakan dalam arti perhitungan waktu dan arah tempat guna kepentingan pelaksanaan ibadah, seperti penentuan waktu salat, waktu puasa, waktu Idulfitri, waktu haji, dan waktu gerhana untuk melaksanakan salat gerhana, serta penetapan arah kiblat agar dapat melaksanakan salat dengan arah yang tepat ke Kakbah.


         ‘Ilm al-Mawaqit
Penetapan waktu dan arah tersebut dilakukan dengan perhitungan terhadap posisi-posisi geometrik benda-benda langit khusunya matahari, Bulan, dan bumi guna menentukan waktu-waktu dan arah di muka bumi.
Perhitungan posisi geometrik benda langit untuk tujuan praktis seperti penentuan waktu dan arah hanyalah bagian saja dari ilmu falak. Ulama zaman tengah menyebut-nya dengan ilmu waktu (‘ilm al-mawaqit).


         ‘Ilm al-Mawaqit
Al-Qalqasyandi mendefinisikan ‘ilm al-mawaqit sebagai salah satu cabang ilmu haiah (ilmu falak) yang mengkaji waktu-waktu ibadah dan penentuan arah kiblat dan semua arah lain serta kedudukan suatu tempat di muka bumi dari bujur dan lintangnya dengan melibatkan pengetahuan tentang langit serta ketinggian, peredaran, sinar dan bayangan kerucut benda langit.
  
         ilmu falak syar’i
Untuk membedakan ilmu falak dalam arti astronomi dengan ilmu falak yang khusus mengkaji gerak matahari dan Bulan atau letak geografik di muka bumi untuk menentukan waktu-waktu ibadah dan arah kiblat, maka ilmu falak yang terakhir ini disebut dengan ilmu falak syar’i.
Ilmu falak syar’i sering disebut juga dengan ilmu hisab. 




Dalil Syar’i

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada paling-kanlah mukamu ke arahnya. [al-Baqarah, 144]

لماذخل النبي صلي الله عليه وسلم البيت دعا في نواحيه كلها ولم يصل حتي خرج منه فلما خرج ركع ركعتين في قبل الكعبة وقال هذه القبلة.
Tatkala Nabi saw masuk ke Ka’bah ia berdo’a di seluruh penjurunya dan tidak shalat sehingga ia keluar, setelah di luar ia shalat dua rakaat di depan Ka’bah dan bersabda: “inilah Kiblat”. [HR. Imam al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas]


  • ARAH KIBLAT
Arah yang dihadapi seseorang ketika menunaikan shalat adalah ka’bah


  • ARAH KIBLAT
Menentukan posisi ka’bah dari tempat shalat di permukaan bumi, atau sebaliknya


  • BENTUK BUMI
Bentuk Bumi tidak bulat seperti bola sem-purna, tidak bulat betul, melainkan ber-bentuk ellipsoid. Bagian arah kutub Bumi mengalami pepatan sehingga radius polar planit Bumi lebih kecil dibanding dengan radius ekuatornya.
GEOIDA = bola bumi
GLOBE = tiruan bumi


  • UKURAN BUMI
> Radius Kutub = 6.356,9 km
> Radius Ekuator = 6.378,4 km
> Pepatan Bumi = 1/296,96
> Keliling Bumi pada Ekuator = 40.077 km
> Keliling Bumi pada Meridian = 40.009 km
> Luas Permukaan Bumi = 510.000.000 km2
> Isi Bumi = ± 1 Bilyun km3


  • TITIK PADA BUMI
TITIK PUSAT
Titik yang terdapat di tengah-tengah bola bumi. Dari titik ini ke semua arah di permukaan bumi sama jaraknya.
TITIK KUTUB
Dua titik pada permukaan bumi yang letaknya berlawanan. Satu titik berada di sebelah utara dan disebut titik kutub utara, satu titik lainnya berada di sebelah selatan dan disebut titik kutub selatan.


  • GARIS PADA BUMI
SUMBU BUMI
Garis yang menghubungkan titik pusat bumi dengan kedua titik kutubnya. Sumbu bumi disebut juga poros bumi karena ia merupakan poros perputaran (rotasi) bumi.


  • LINGKARAN PADA BUMI
EKUATOR / KATULISTIWA
Lingkaran pada permukaan bumi yang membentang arah timur barat dan membagi bola bumi menjadi dua bagian sama besar, yakni bagian utara dan selatan. Ekuator itu hanya satu.


  • LINGKARAN PADA BUMI
MERIDIAN
Lingkaran pada permukaan bumi yang menghubungkan kedua titik kutubnya dan membagi bola bumi menjadi dua bagian sama besar, yakni bagian barat dan timur. Meridian dapat dibuat sebanyak mungkin tak terhingga.


  • LINGKARAN PADA BUMI
MERIDIAN UTAMA
Lingkaran meridian yang melalui kota greenwich (sebuah kota dekat kota london Inggris). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan Prime Meridian.


  • LINGKARAN PADA BUMI
PRALLEL
Lingkaran-lingkaran pada permukaan bumi yang sejajar dengan lingkaran ekuator, di sebelah utara atau selatannya. Parallel yang di sebelah utara disebut parallel utara dan yang di sebelah selatan disebut parallel selatan. Parallel ini semakin dekat ke Kutub semakin kecil.


  • JENIS LINGKARAN PADA PERMUKAAN BOLA
LINGKARAN BESAR / GREAT CIRCLE
Ø  Lingkaran-lingkaran pada permukaan bola yang membagi bola menjadi dua bagian sama besar.
Ø  Bidang lingkaran besar bersinggungan dengan titik pusat bola dan titik pusat bola itulah yang menjadi titik pusat lingkaran besar.
Ø  Melalui dua titik di permukaan bola yang letaknya berlawanan dapat dibuat lingkaran besar sebanyak mungkin tak terhingga, sedangkan melalui dua titik di permukaan bola yang letaknya tidak berlawanan hanya dapat dibuat sebuah lingkaran besar.
Termasuk dalam jenis Lingkaran Besar adalah: Ekuator dan Meridian.


  • JENIS LINGKARAN PADA PERMUKAAN BOLA
LINGKARAN KECIL / SMALL CIRCLE
Ø  Lingkaran-lingkaran pada permukaan bola yang membagi bola menjadi dua bagian tidak sama besar.
Ø  Bidang lingkaran kecil tidak bersinggungan dengan titik pusat bola, oleh karenanya titik pusat lingkaran kecil terletak di luar titik pusat bola.
Ø  Melalui dua titik di permukaan bola yang letaknya berlawanan tidak dapat dibuat lingkaran kecil, sedangkan melalui dua titik di permukaan bola yang letaknya tidak berlawanan dapat dibuat lingkaran kecil sebanyak mungkin tak terhingga.
Termasuk dalam jenis Lingkaran Kecil adalah Lingkaran Parallel.


  • PETUNJUK ARAH PADA PERMUKAAN BOLA
Arah pada permukaan bola ditunjuk-kan oleh busur-busur lingkaran yang menghubungkan titik-titik (tempat-tempat) di permukaan bola. Demikian pula arah di permukaan bumi.
Titik A dan titik B (keduanya berada di permukaan bola/Bumi), arahnya ditunjukkan oleh busur-busur lingkaran yang menghubungkan titik A dan titik B.


  • ARAH PADA PERMUKAAN BOLA / BUMI
Arah pada permukaan bola / bumi adalah busur lingkaran terpendek yang menghubungkan titik-titik (tempat-tempat) di permukaan bola / bumi itu.
Titik A dan titik B (keduanya di permukaan bola/Bumi) letaknya tidak berlawanan, maka busur lingkaran yang menghubungkan keduanya banyak jumlahnya, dan salah satunya adalah busur lingkaran besar.


  • ARAH PADA PERMUKAAN BOLA / BUMI
Manakah di antara busur-busur lingkaran itu yang memiliki jarak yang terpendek ?
Busur lingkaran yang memiliki jarak yang terpendek adalah busur lingkaran besar.
Dengan demikian, arah itu ditunjukkan oleh busur lingkaran besar.


  • ARAH KIBLAT
Arah dari kota Yogyakarta ke Mekkah ditunjukkan oleh busur lingkaran besar yang menghubungkan Yogyakarta dengan Mekkah.
Arah kiblat adalah arah yang ditunjukkan oleh busur lingkaran besar pada permukaan bumi yang menghubungkan letak geografis tempat shalat dengan letak geografis ka’bah.



Fiqh Siyasah


RESENSI DARI TIGA BUKU :

1.      Tafsir Negara Islam, dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia
2.      Menuju Khilafah Islamiyyah, Perjuangan Ikhwanul Muslimin
3.      Untuk Negara Islam Indonesia, Perjuangan Darul Islam dan al-Jama’ah al-Islamiyyah



 



RESENSI
Diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Fiqh Siyasah
semester IV

Disusun Oleh :
MUHAMMAD RIFA’I  
NIM: 08350054 /smt II/ AS-B

Dosen Pengampu:
Dr. Ahmad Yani Anshori


AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
 YOGYAKARTA
2009




TAFSIR NEGARA ISLAM
DALAM DIALOG KEBANGSAAN DI INDONESIA

A.    Deskripsi tentang Buku
Buku bersampul hitam dengan judul “Tafsir Negara Islam, dalam Dialog Kebangsaan di Indonesia”, adalah hasil karya dari : Dr. Ahmad Yani Anshori dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, editor : Edy Yusuf, Fuad Zarkasyi, desain cover dan layout isi : Indra Wibi S, pra cetak: Abdul Rokhim dan Saifur Rohman. Buku ini terdiri: xii (pengantar buku) + 200 halaman (pembahasan materi) + 8 halaman (daftar pustaka) : 14,5 x 21 cm. ISBN : 978-979-19080-0-9. Buku ini merupakan cetakan I, November 2008, yang dicetak dan diterbitkan oleh Siyasat Press −media bebas ekspresi civitas akademika jurusan Jinayah-Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakartayang beralamat di Jl. Marsda Adisutjipto, Yogyakarta, Telp: (0274) 512840, Fax: (0274) 512840, Mobile: 0817 444 132.
Pembahasan materi dalam buku ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu: pertama, pendahuluan; kedua, Wacana Islam dan Negara-negara di Awal Kemerdekaan; ketiga, Tafsir Negara Islam dalam Konstituante; keempat, Asas Tunggal dan Respon Kebangsaan; kelima, Penutup.


B.    Poin-poin dari Buku

   I.       Pendahuluan
Sejak menjelang kemerdekaan Indonesia, telah terjadi kontroversi terhadap dasar yang nantinya digunakan dalam Negara Indonesia.  Dua kelompok (kubu nasionalis Islam dan kubu nasionalis sekuler) saling menginginkan ideologinya sebagai dasar Negara, dengan memunculkan argumen-argumen mereka. Pemahaman politik seperti inilah yang telah menunjukkan corak teologis tersendiri (tidak terkoneksi) dalam pencarian karakter kebangsaan bangsa Indonesia hingga sekarang.

  II.      Wacana Islam dan Negara-Bangsa di Awal Kemerdekaan
A.     Islam Versus Negara
Dalam pencarian identitas dan karakter kebangsaan, hampir semua negeri Muslim mengalami problem Nation-State. Hal tersebut akan selalu melahirkan dikotomis pertentangan antara Negara agama dan Negara sekuler. Polemik Islam versus Negara ini, praktis dimulai sejak masa menjelang kemerdekaan dan masih terasa hingga sekarang. Sebenarnya yang menjadi latar belakang terjadinya tarik-menarik kepentingan antara Islam dengan Negara dalam berbagai variannya adalah ketidakjelasan penegasan tentang karakter dan identitas kebangsaan (nation character buildings).
B.     Pemikiran Islam Versus Pemikiran Sekuler
Menurut pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahwa faham nasionalisme harus mempunyai landasan teologis yang diorientasikan sebagai bagian dari bentuk beribadah kepada Allah swt untuk mencari ridho-Nya, sehingga Negara Indonesia muthlak harus memakai syari’at Islam sebagai dasar Negara. Berbeda dengan pemikiran tokoh-tokoh sekuler –dipelopori oleh Soekarno– yang pada dasarnya mendukung pemisahan antara agama dan Negara seperti halnya kebijakan Kemal Attaturk di Negara Turki. Alasan mereka adalah jika agama tidak dipisahkan dari Negara, Islam dapat dijadikan alat kediktatoran oleh pelaku politik yang tidak bertanggungjawab. Dan bila Indonesia menjadi Negara Islam, maka hanya bisa dilakukan dengan paksaan, padahal pemaksaan merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.
C.     Gagasan Seputar Dasar Negara
Terkait dengan polarisasi masyarakat bangsa Indonesia, berdirinya BPUPKI pada 9 April 1945 mempunyai sejarah terpenting, dimana dalam wadah ini para pendiri bangsa (Founding Fathers) berkumpul untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Lagi-lagi dalam penentuan dasar Negara terjadi kontroversi. Namun kubu nasionalis Islam dan kubu nasionalis sekuler berdiskusi dan akhirnya menyepakati lima hal sebagai dasar Negara dalam kompromi Piagam Jakarta. Tetapi dalam sidang resmi yang pertama kali (18 Agustus 1945), masyarakat non-Islam bagian Timur Indonesia merasa keberatan terhadap dasar negara yang pertama, sehingga mereka –dengan perantara Mohammad Hatta– mengusulkan penghapusan tujuh kata, dan jika usulan itu tidak ditindaklanjuti atau tetap dipertahankan, mereka mengancam untuk memisahkan diri dari pemerintah kesatuan Republik Indonesia. Dalam berbagai pertimbangan, akhirnya tujuh kata tersebut dihapuskan, namun dari sebagian kubu nasionalis Islam penghapusan tersebut merupakan rekayasa sepihak dan bentuk pengkhianatan dari kubu nasionalis sekuler.

III.    Tafsir Negara Islam dalam Konstituante
A.       Platform dan Ideologi yang Diperjuangkan dalam Konstituante
Pasca kemerdekaan Indonesia, pertama kalinya diadakan Pemilihan Umum adalah pada tanggal 29 September 1955. Dalam pemilu ini, kurang lebih terdapat 30 partai yang dikemas dalam tiga platform, yaitu: platform ketuhanan, platform kebangsaan dan platform marxisme. Sedangkan menurut prinsip-prinsip ideologi dapat disederhanakan menjadi tiga bagian, yaitu: Islam, sosial-ekonomi dan pancasila. Setahun kemudian, tanggal 10 November 1956 tepatnya di Bandung, presiden Soekarno melantik para anggota konstituante yang terdiri dari berbagai utusan partai. Salah satu yang menjadi tugas konstituante adalah menyusun dan mengesahkan UUD yang permanen sebagai pengganti UUD 1950 yang pada saat itu masih bersifat sementara.
B.       Perjuangan ke Arah Negara Islam dalam Konstituante
Menurut kesepakatan partai-partai Islam, bahwa dasar Negara yang berlandaskan syari’at Islam sangatlah tepat, karena merupakan amanat perjuangan para pahlawan Islam dalam perang melawan penjajah. Sehingga menurut pandangan mereka Majlis Konstituante dipandang sebagai media politik yang pas untuk merealisasikan tuntutan teologis tersebut secara damai dan demokratis. Konsep-konsep Islam secara terus-menerus di publikasikan oleh wakil-wakil dari partai-partai Islam yang duduk di Majlis Konstituante. Seperti misalnya argumen yang menyatakan bahwa sebenarnya dalam konsep Islam, pancasila dan sosial-ekonomi terdapat banyak sekali titik temunya. Namun demikian, dari kelompok-kelompok yang menjadi lawan politik partai Islam dengan berbagai alasan tetap bersikeras tidak menerima Islam sebagai dasar Negara Indonesia.
C.      Akhir dari Perjuangan ke Arah Negara Islam dalam Konstituante
Pada tanggal 19 Februari 1959, pemerintah Soekarno akan melaksanakan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945, atas tekanan dari Jenderal A. H. Nasution (atas nama Angkatan Darat) karena Majlis konstituante dianggap sedang mengalami jalan buntu dalam menjalankan tugasnya, yang pada akhirnya hal tersebut dapat mengganggu stabilitas Negara secara Nasional.
Kebijakan yang diambil pemerintah ini, menurut kelompok Islam dianggap sebagai trik inkonstitusional untuk melawan upaya perjuangan mereka yang mana pada saat itu kemenangan ummat Islam melalui majlis Konstituante tersebut telah diambang pintu.
Dari persoalan di atas, munculah masalah baru tentang Piagam Jakarta. Kelompok Islam menerima kebijakan yang diambil pemerintah Soekarno, namun dengan syarat menjadikan Piagam Jakarta dimasukkan sebagai pembukaan UUD 1945, yang tentu saja hal itu mendapat penentangan keras dari kelompok non-Islam, karena dianggap –dalam Piagam Jakarta, dasar Negara sila pertama– lebih bersikap diskriminan. Dengan keadaan Negara yang darurat, presiden Soekarno menyatakan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang berisi: pembubaran konstituante; berlakunya kembali UUD 1945 sebagai pengganti UUD sementara 1950; dan agar secepatnya diadakan pembentukan MPRS dan DPAS. Dekrit Presiden merupakan babakan baru dimulainya era Demokrasi Terpimpin dengan Manipol USDEK sebagai haluan Negara yang melandasi terlaksananya pemerintahan, dan NASAKOM sebagai living realities yang harus diterima.

IV.    Asas Tunggal dan Respon Kebangsaan
A.     Kebijaklan Asas Tunggal
Pemerintah Demokrasi Terpimpin dengan Manipol USDEK dan NASAKOM berakhir setelah pelimpahan kekuasaan dari presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Selanjutnya Jenderal Soeharto dipilih oleh MPRS menjadi presiden Indonesia tahun 1968. Kepemimpinan Jenderal Soeharto ini sekaligus menandai di mulainya pemerintah Orde Baru.
Pada awal pemerintahannya, Orde Baru melakukan deideologisasi terhadap kekuatan politik dari agama Islam dengan meloloskan RUU pemilu pada 31 Desember 1969, karena pemerintah Orde Baru mengkhawatirkan ideologi Islam dapat mengambil alih kekuasaan kepemerintahannya.
Sampai pada puncaknya (23 Juni 1984), presiden Soeharto memerintahkan menteri Dalam Negeri, Supardjo Rustam, sebagai wakil pemerintah untuk membacakan lima RUU di muka DPR sebelum dibahas dan disahkan. Dalam RUU tersebut terdapat peletakan pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menteri Agama saat itu, Munawir Sadzali menyatakan kepada ummat Islam, bahwa pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan punya keserasian antara keduanya. Terkait organisasi politik, asas tunggal pancasila diundangkan dalam UU No. 5 tahun 1985. Secara yuridis, UU ini mengharuskan organisasi politik (seperti PPP) untuk menerima pancasila sebagai asas tunggal dan menanggalkan dari asas Islamnya. Walaupun pada awalnya partai politik Islam menolak UU tersebut atas argumen jika menghilangkan asas Islam, berarti secara formal PPP telah menjadi
“partai terbuka” termasuk bagi non-Muslim, padahal PPP bukan partainya non-Muslim. Namun akhirnya partai politik Islampun menyetujui UU tersebut, sebab posisi pemerintah sangat kuat sementara partai politik Islam berada dalam daya tawar dan posisi politik yang cukup rendah.
B.     Respon Kebangsaan Muhammadiyah
Di dalam pemikiran politiknya, sejarah Muhammadiyah pada tahun 1918 mencatat munculnya dualisme gagasan, yaitu Muhammadiyah sebagai organisasi politik (H. Agus Salim) dan Muhammadiyah tetap sebagai organisasi keagamaan (KH. Ahmad Dahlan).
Dalam menanggapi keinginan pemerintah masa Orde Baru, politik praktis Muhammadiyah menggelar sidang Tanwir pada bulan Mei 1983. Hasil dari sidang ini diantaranya: menerima pancasila sebagai asas tunggal dengan alasan karena beberapa pemimpin Muhammadiyah telah berpartisipasi dalam perumusan pancasila, serta perubahannya. Namun akhirnya pada Muktamar Muhammadiyah yang ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971, memutuskan bahwa Muhammadiyah tidak mau terlibat lagi dalam politik praktis dan bersikap netral. Keputusan ini merupakan titik balik bagi Muhammadiyah untuk kembali ke khithahnya sebagai gerakan sosial keagamaan. Mundurnya Muhammadiyah dari panggung politik praktis adalah dikarenakan munculnya sebuah lapisan baru ummat Islam yang tidak concern dengan partai Islam.
Respon Muhammadiyah terhadap wacana politik kontemporer lebih didasarkan kepada; pertama pembacaan dan analisa politik situasional, dan kedua didasarkan kepada figur pimpinan.
C.     Respon Kebangsaan NU (Nahdlatul Ulama)
Pada tahun 1984 dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, NU menetapkan: pancasila sebagai asas organisasi (pasal yang ke-2) mendahului pengundangan Undang-undang keormasan, dan menambah pasal aqidah yang dirumuskan dalam Anggaran Dasar NU, yaitu NU sebagai Jami’iyyah Diniyyah Islamiyyah beraqidah Islam menurut faham ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (pasal yang ke-3). Dalam kaitannya merespon kebijakan pemerintah Orde Baru tentang asas tunggal, di kalangan NU telah mulai diperdebatkan dalam Munas Alim Ulama NU tahun 1983. NU sebagai organisasi masyarakat terkena aturan dan harus menerima pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu bukan berarti NU mengesampingkan Islam, buktinya pada Muktamar NU ke-28 di Yogyakarta tahun 1989, dalam pasal tentang asas organisasi yang tadinya pasal 2 diubah menjadi pasal 3, dan pasal 3 diubah menjadi pasal 2. Dari pengubahan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa NU lebih mengedepankan aqidah, baru kemudian asas pancasila. Penerimaan NU terhadap pancasila sebagai asas tunggal adalah karena di dalam pancasila itu isinya sejalan dengan ajaran syari’at Islam, dan juga karena pancasila merupakan sebuah mitsaq (kesepakatan) kebangsaan antara ummat Islam dan golongan lain dari masyarakat bangsa Indonesia untuk mendirikan sebuah Negara yang berdaulat.


C.    Komentar terhadap buku
Buku ini sebetulnya isinya bagus, tetapi sekilas dilihat dari sampulnya kurang memberikan daya tarik terhadap pembaca, walaupun judulnya cukup mengesankan. Karena biasanya pembaca mulai tertarik terhadap buku dimuali dari ketertarikannya dengan sampul dan judul buku. Kemudian penulisan daftar isi terdapat kesalahan, yaitu pada “bab penutup”, seharusnya pada bab V, bukan bab VI. Selanjutnya pada daftar pustaka, yang merupakan resensi yang tidak terdapat nama dari penulisnya, seharusnya dipisahkan dengan berada pada halaman berikutnya.
Isi dari buku ini cukup memberikan aspirasi yang cukup besar, terlihat dari tindakan kelompok-kelompok Islam untuk memperjuangkan ideologinya. Mereka saling mengemukakan argumen-argumen tentang ideologinya, dengan tujuan supaya ideologi dari golongannya dapat dijadikan sebagai dasar Negara.
Seharusnya pada halaman terakhir di paparkan biografi penulis, baik mengenai riwayat hidup dari penulis, maupun tentang riwayat pendidikan yang telah ditempuh, sehingga menimbulkan motivasi pembaca untuk lebih baik seperti penulis.










MENUJU KHILAFAH ISLAMIYYAH
PERJUANGAN IKHWANUL MUSLIMIN


A.    Deskripsi tentang Buku
Buku bersampul merah dengan judul “Menuju Khilafah Islamiyyah, Perjuangan Ikhwanul Muslimin”, adalah hasil karya dari : Dr. Ahmad Yani Anshori dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, editor : Ni’maturrohmah HN, desain cover dan layout isi : Indra Wibi S, pra cetak: Abdul Rokhim dan Saifur Rohman. Buku ini terdiri: v (pengantar buku) + 127 halaman (pembahasan materi) + 2 halaman (daftar pustaka) : 14,5 x 21 cm. ISBN : 978-979-19080-3-0. Buku ini merupakan cetakan I, November 2008, yang dicetak dan diterbitkan oleh Siyasat Press −media bebas ekspresi civitas akademika jurusan Jinayah-Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakartayang beralamat di Jl. Marsda Adisutjipto, Yogyakarta, Telp: (0274) 512840, Fax: (0274) 512840, Mobile: 0817 444 132.
Pembahasan materi dalam buku ini dibagi menjadi enam bagian, yaitu: pertama, pendahuluan; kedua, Tokoh Hasan al-Banna; ketiga, Tahapan Menuju Khilafah Islamiyyah; keempat, Pengaruh Ideologi Sayyid Qutb; kelima, al-Ikhwan dan Kemelut di Mesir; keenam, Penutup.

B.    Poin-poin dari Buku

   I.       Pendahuluan
Pada tahun 1924 M, merupakan tahun terhapusnya institusi Khilafah Islamiyyah yang berakibat ummat Islam sedunia kehilangan identitas religio-politik dan geo-politiknya. Kemudian negeri-negeri Muslim berganti dengan model Nation-State dalam berbangsa dan bernegara. Keadaan seperti ini memunculkan gerakan fundamentalisme Islam era modern yang menyerukan agar ummat Islam kembali kepada Qur’an dan Sunnah. Diantaranya tokoh-tokohnya adalah Hanbal, Taimiyyah, Ridla dan Hasan Banna (tokoh yang paling sukses dan pertama kali melakukan institusionalisasi dan ideologisasi pemikiran fundamentalisme Islam di era modern pada tahun 1924 M, sekaligus pendiri dan mursyid ‘am Ikhwanul Muslimin yang lahir di Ismailliyyah, Mesir pada tahun 1928). Ikhwanul Muslimin ini mendapat tentangan keras dari pemerintah Mesir masa kepemerintahan Nasser.

  II.      Tokoh Hasan al-Banna
Banna lahir di al-Buhairah, Distrik Mahmudiyyah, Mesir pada tanggal 17 Oktober 1906 M/ 1323 H. ayahnya bernama Abd ar-Rahman Banna, beliau ahli dalam ilmu hadits, aqidah dan fiqh. Banna kecil membiasakan diri dengan pola hidup zuhud, rajin bertahajjud, berpuasa Senin-Kamis, dan lain-lain. Banna remaja sudah mulai aktif belajar organisasi pengkaderan Islam. Dalam umur 16 tahun, ketika ia melanjutkan studi di Dar al-Ulum Kairo, ia berkenalan dengan Rasyid Ridla, dan mulai belajar Tafsir al-Mannarnya Ridla. Banna mendapat gelar kesarjanaan dengan predikat terbaik.
Setelah kelulusan di dalam studinya itu, Banna oleh pemerintah Mesir ditugaskan sebagai Guru Madrasah di Propinsi Ismailliyyah. Di propinsi ini, Banna mendirikan “Ikhwanul Muslimin”, sebagai gerakan anti koloni Inggris di Suez dan ingin menegakkan kembali kejayaan al-Khilafah al-Islamiyyah.

III.    Tahapan Menuju Khilafah Islamiyyah
Strategi Banna dalam mencapai terbentuknya Khilafah Islamiyyah adalah dengan memberikan komando dakwah bagi gerakan Ikhwanul Muslimin. Komando dakwah terdiri dari empat tahapan, yaitu: tahap pertama, al-Da’wah al-‘Ammah (mendidik ummat); tahapan kedua, al-Da’wah al-Khashssah (menyampaikan misi dakwah organisasi kepada pemerintah); tahap ketiga, Iqamat ad-Daulah (pendirian Negara Islam); tahap keempat, Iqamah al-Khilafah al-Islamiyyah al-‘Ammah (perserikatan ummat Islam sedunia dengan Imam/ khalifah sebagai penengah/ simbol pemersatu).
v Pembentukan agen dinas rahasia
Di Kairo, Banna mendirikan sebuah kantor pusat (Dar al-Ikhwan). Setiap hari, Banna mengelilingi perkampungan, menjelajahi kota-kota Mesir lalu membuka cabang-cabang pada setiap tempat yang dikunjunginya. Pada tahun 1940 M, Ikhwan atas intruksi Banna membentuk agen dinas rahasia (Tanzim as-Sirri) atau disebut juga korp pasukan khusus (Tanzim al-Khas)

yang peran utamanya adalah memerangi kaum sekuler dan mengalahkan kekuasaan Barat.
v Ekspor ideologi
Kaitannya dengan komunitas politik, Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Banna di Mesir tahun 1928 dan Jemaat-i Islami yang didirikan oleh Abul Ala al-Maududi di Pakistan tahun 1941, sangat berperan penting dalam pensahihan ideologi sebagai identitas politik kenegaraan.
v Ke Syiria; Yordania; Sudan dan Tunisia
Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan Hasan al-Banna pada tahun 1928 M mengilhami lahirnya organisasi yang sama di luar Mesir, seperti: pendirian Ikhwanul Muslimin oleh Musthafa al-Siba’i di Syiria pada tahun 1948 M. Kemudian juga pendirian Ikhwanul Muslimin oleh Syaikh Abdul Lathif Abu Qurah di Yordania pada tahun 1945 M. di Sudan juga didirikan Ikhwanul Muslimin atas prakarsa para mahasiswa Sudan dengan dukungan Ikhwanul Muslimin Mesir. Begitu juga di Tunisia pada tahun 1979 M atas pengilhaman dari gerakan Ikhwanul Muslimin Rasyid al-Ghannusyi, mendirikan gerakan Islam yang bernama al-Jama’ah al-Islamiyyah.

IV.    Pengaruh Ideologi Sayyid Qutb
Meski Sayyid Qutb berada dalam penjara untuk rentang waktu yang cukup lama, sejak tahun 1954-1965, namun pemikirannya menyebar baik di dalam penjara itu sendiri maupun ke luar penjara. Beberapa generasi baru Ikhwanul Muslimin sangat menaruh perhatian besar terhadap pemikiran Qutb dan juga terhadap Maududi sebagai pemimpin Jemaat-i Islami Pakistan. Qutb adalah seorang ideolog kedua bagi ikhwan setelah Banna, sedangkan Maududi merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam kehidupan penjara Qutb.
Generasi baru Ikhwan mendiaspora dengan mengambil jalan lebih militan. Mereka menjadikan karya-karya Qutb dan Maududi, di samping tentu saja karyanya Banna, sebagai bahan kajian, diskusi dan pengajian dalam setiap pertemuan mereka di berbagai kesempatan.

  V.      al-Ikhwan dan Kemelut di Mesir
Sejak awal, Ikhwanul Muslimin di bawah kepemimpinan Banna menjadi lirikan, baik oleh para militer maupun oleh politisi Mesir. Tahun 1940-an, Ikhwan membenntuk pasukan khusus (Tanzim al-Khas). Kemudian pada tahun 1947/ 1948 M, bersama para militer Mesir, Tanzim al-Khas berangkat ke Palestina untuk berjihad melawan penduduk Israel di Palestina. Namun suatu ketika, karena Tanzim al-Khas melakukan tindakan brutal terhadap pemerintah Mesir, maka Banna pun, sebagai pemimpin Ikhwanul Muslimin akhirnya dibunuh oleh Haras al-Wizarat, pengawal perdana menteri yang baru, yaitu Ibrahim Abdul Hadi sebagai pengganti Mahmud Fahmi Nuqrasyi.
 Sisa-sisa dari Ikhwan berusaha untuk membunuh Nasser, namun tidak berhasil. Karena tindakan tersebut dirasa mengancam keselamatan Nasser, maka rezim Nasser menyatakan mengekskusi mati bagi sisa-sisa Ikhwan yang terlibat.
Nasser meninggal pada bulan September 1970 M, kemudian kepemerintahannya digantikan secara resmi oleh Anwar Sadat pada tanggal 15 oktober 1970. Presiden Sadat sangat mendukung gerakan-gerakan mahasiswa Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir. Meski demikian, dari golongan keras Qutbisme Mesir tetap menyatakan perang terhadap pemerintahan Mesir, yang sampai akhirnya golongan ini melakukan pembunuhan terhadap Sadat.
Pasca pembunuhan Sadat ini, pemimpin roda kepemerintahan Mesir digantikan oleh Mubarak. Walaupun untuk sementara aktivitas gerakan-gerakan Islam garis keras Qutbisme ini reda, namun akhirnya gerakan ini kembali menyatakan perang terhadap pemerintah Mubarak, karena mereka menganggap pemerintah Mesir adalah kafir dan harus diperangi.

C.    Komentar terhadap buku
Buku ini sebetulnya isinya bagus, tetapi sekilas dilihat dari sampulnya kurang memberikan daya tarik terhadap pembaca, walaupun judulnya cukup mengesankan. Karena biasanya pembaca mulai tertarik terhadap buku dimuali dari ketertarikannya dengan sampul dan judul buku. Kemudian penulisan deskripsi buku, tentang jumlah halaman sebenarnya ada 129 halaman, bukan 127 halaman.
Isi dari buku ini cukup memberikan aspirasi yang cukup besar, terlihat dari tindakan Ikhwanul Muslimin untuk memperjuangkan sesuatu. Misalnya perjuangan yang sungguh luar biasa para tokoh Islam yang menghendaki ideologi Islam sebagai dasar Negara.
Seharusnya pada halaman terakhir di paparkan biografi penulis, baik mengenai riwayat hidup dari penulis, maupun tentang riwayat pendidikan yang telah ditempuh, sehingga menimbulkan motivasi pembaca untuk lebih baik seperti penulis.




UNTUK NEGARA ISLAM INDONESIA
PERJUANGAN DARUL ISLAM DAN AL-JAMA’AH AL-ISLAMIYYAH

A.    Deskripsi tentang Buku
Buku bersampul biru tua dengan judul “Untuk Negara Islam Indonesia, Perjuangan Darul Islam dan al-Jama’ah al-Islamiyyah”, adalah hasil karya dari : Dr. Ahmad Yani Anshori dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, editor : Edy Yusuf, Fuad Zarkasyi, desain cover dan layout isi : Indra Wibi S, pra cetak: Abdul Rokhim dan Saifur Rohman. Buku ini terdiri: v (pengantar buku) + 124 halaman (pembahasan materi) + 3 halaman (daftar pustaka) : 14,5 x 21 cm. ISBN : 978-979-19080-2-3. Buku ini merupakan cetakan I, November 2008, yang dicetak dan diterbitkan oleh Siyasat Press −media bebas ekspresi civitas akademika jurusan Jinayah-Siyasah Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakartayang beralamat di Jl. Marsda Adisutjipto, Yogyakarta, Telp: (0274) 512840, Fax: (0274) 512840, Mobile: 0817 444 132.
Pembahasan materi dalam buku ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, al-Jama’ah al-Islamiyyah Pakistan; kedua, Darul Islam (DI)/ Tentara Islam Indonesia (TII); ketiga, al-Jama’ah al-Islamiyyah di Indonesia.

B.    Poin-poin dari Buku

      I.        al-Jama’ah al-Islamiyyah Pakistan
Abul A’la al-Maududi adalah pendiri ideolog sekaligus pemimpin al-Jama’ah al-Islamiyyah yang didirikan pada tahun 1941 di Pakistan. Negara Islam (al-Khilafah al-Islamiyyah) menurut Maududi, tidak mengenal sistem kedaulatan selain kedaulatan Tuhan (konsep al-Hakimiyyah Lillah) selebihnya, kedaulatan yang dimiliki manusia adalah kedaulatan semu yang bersifat pemberian. Secara praktis, konsep al-Hakimiyyah Lillah berhubungan erat dengan kedaulatan politik yang dalam doktrin Islam hal tersebut mendasari sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang hanya dapat ditegakkan di atas konstitusi al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam mendirikan Negara Islam, sistem politik yang diterapkan ditopang oleh tiga prinsip utama, yaitu: at-Tauhid (fondasi bagi Negara dengan meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan pencipta alam semesta); ar-Risalah (haluan bagi Negara dengan meyakini bahwa hanya asy-Syari’ah al-Islamiyyah yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi perundang-undangan); dan al-Khilafah (penyelenggara bagi Negara yang merupakan representasi dari al-Hakimiyyah Lillah).
Maududi berpendapat, bahwa mendirikan Negara adalah salah satu dari misi dakwah Islam, lalu membangun Negara pada tingkat yang paling ideal merupakan salah satu dari kewajiban agama. Bila suatu Negara menghalangi tegaknya Syari’ah Islamiyyah, sementara mayoritas rakyatnya beragama Islam, maka yang melakukan penolakan harus di lawan dengan jihad.
v Pedoman perjuangan al-Jama’ah al-Islamiyyah Pakistan
al-Jama’ah al-Islamiyyah Pakistan bersifat universal, bukan hanya sekedar organisasi keagamaan, tetapi juga partai politik dan kelompok ideologi yang menjunjung tinggi islam sebagai pegangan hidup.
Negara Pakistan dipimpin oleh rezim sekuler, yang menghalangi suburnya keimanan mukminin, juga rezim ini menghendaki agar ideologi Islam menjadi lumpuh dan terdomestifikasi di masjid-masjid saja, sehingga syari’ah Islam terkebiri sempit dalam ruang privat saja.
v Prinsip umum perjuangan
Pakistan merupakan Negara Islam berdaulat yang tidak boleh ada satu pihakpun yang mengancam dasar-dasar Islam. Al-Jama’ah al-Islamiyyah ikut bertanggung jawab menjaga persatuan dan kesatuan Pakistan dari segala pengaruh ideologi Barat.
v Reformasi konstitusi
Reformasi konstitusi yang dilakukan al-Jama’ah al-Islamiyyah mengarah kepada penegakkan syari’ah Islam berdasar tuntunan al-Qur’an dan Sunnah. Sehingga setiap Undang-undang yang akan diberlakukan, dirancang sesuai dengan syari’at Islamiyyah.
v Reformasi pendidikan
Bagi al-Jama’ah al-Islamiyyah, reformasi pendidikan sangat penting, karena pendidikan merupakan modal dasar dalam membangun masyarakat. Sehingga bentuk reformasi pendidikan ini lebih diarahkan kepada keringanan dan kemudahan ummat Islam dalam menjalankan rukun Islam yang lima, dan mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat pendidikan.
v Reformasi ekonomi
Sebelumnya, pedoman perekonomian Pakistan dibangun dengan landasan kapitalistik dan feodalistik. Kemudian al-Jama’ah al-Islamiyyah mengubah landasan tersebut dengan landasan

perekonomian Islam yang telah digariskan berdasarkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islamiyyah.

    II.      Darul Islam (DI) / Tentara Islam Indonesia (TII)
Munculnya DI/ TII, dalam analisa  Ken Conboy merupakan respek sosial masyarakat Jawa Barat semenjak pertengahan abad 20 dalam pergumulan sosial masyarakat di Pulau Jawa secara keseluruhan.
Gerakan DI/ TII didirikan oleh seorang etnik Jawa yang bernama Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosuwiryo. Kartosuwiryo lahir pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil di Jawa Timur bagian utara yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
Cita-cita politik yang sangat berpengaruh terhadap diri Kartosuwiryo muda adalah bermula dari perkenalannya dengan tokoh Agus Salim dan Hos Cokroaminoto, yang cita-cita politik dari keduanya menghendaki sebuah Negara Islam di Nusantara.
Semula Kartosuwiryo adalah anggota partai Masyumi, lalu keluar dari partai tersebut dikarenakan keseriusannya dalam mengurus gerakan DI/ TII atau NII.
Munculnya gerakan DI/ TII juga merupakan akibat dari persetujuan Renville yang menciptakan garis status quo Van Mook, yang menyatakan bahwa semua kekuatan bersenjata Republik Indonesia termasuk lasykar harus ditarik dari kantong-kantong pertahanan Belanda. Namun daerah di belakang garis Van Mook ini dianggap seluruhnya masih dikuasai oleh pihak Belanda, sehingga sebagian dari anggota berbagai Angkatan −kira-kira satu bulan setelah persetujuan Renville ditandatangani− terpaksa hijrah dari daerah yang dianggap dikuasai oleh Belanda tersebut.
Kemudian dari anggota lasykar Sabilillah dan Hizbullah yang tidak hijrah, Kartosuwiryo merubah lasykar ini menjadi gerakan militer baru yang dikenal dengan Tentara Islam Indonesia (TII).
v Qanun Asasi dan KUHP NII
Kartosuwiryo telah merancang sebuah struktur pemerintahan sebagai penopang tegaknya NII. Struktur Negara Islam Indonesia terlihat dalam Qanun Asasi, seperti struktur UUD 1945, struktur Qanun Asasi ini terdiri dari Muqaddimah, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Qanun Asasi ini telah ditetapkan pada tanggal 27 Agustus 1948 oleh SM Kartosuwiryo atas nama Imam Negara Islam Indonesia.
Di dalam Muqaddimah Qanun Asasi, tercantum latar belakang berdirinya NII. Sedangkan dalam Batang Tubuh Qanun Asasi, struktur NII membagi kewenangan pemerintahan NII menjadi lima kekuasaan institusional, yaitu: Majelis Syura; Dewan Syura; Imam; Dewan Imamah; dan Dewan Fatwa.
Qanun Asasi ini juga mengatur tentang keuangan, bahwa APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-undang. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara tersebut dibentuk BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan).
Dalam hal yang menyangkut warga Negara, Qanun Asasi NII menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta kebebasan dari warga Negara sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islamiyyah. Sedangkan dalam perekonomian, Qanun Asasi NII menjelaskan bahwa semua bidang produksi dikuasai oleh Negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
v NII dan APNII (Angkatan Perang Negara Islam Indonesia)
NII semakin menjadi sebuah pemerintahan yang lengkap dan cukup kuat karena eksistensinya dikawal oleh Angkatan Bersenjata yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII). Proklamasi NII diproklamirkan setahun kemudian setelah penetapan Qanun Asasi, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1949.
NII Kartosuwiryo juga mengidealkan berdirinya NII secara Nasional, walaupun sejak diproklamirkannya NII mendapat kecaman dan permusuhan dari pemerintah Republik Indonesia terutama dari unsur TNI di pusat. Akan tetapi dilain pihak, NII masih mendapat simpati bahkan dukungan dari berbagai unsur militer lokal, misalnya pada tanggal 20 Januari 1952, Kahar Muzakkar dan pasukannya yang bermarkas di Sulawesi, menerima tawaran NII Kartosuwiryo untuk memegang pimpinan TII, dan pada tanggal 7 Agustus 1953 Kahar Muzakkar menggabungkan diri dengan NII dan menyatakan memisahkan diri dari pemerintah Republik Indonesia.
Namun pada akhirnya, kekuatan DI/ TII atau NII Kartosuwiryo mengalami kelumpuhan semenjak ditangkapnya Kartosuwiryo sendiri pada tanggal 14 Juni 1962 di sebuah lembah yang terletak antara gunung Sangkar dan gunung Geber.

   III.     Al-Jama’ah al-Islamiyyah (JI) di Indonesia
Al-Jama’ah al-Islamiyyah ini berawal dari pergerakan mahasiswa Islam di Mesir pada masa kepemimpinan presiden Mesir Anwar Sadat.
Organisasi al-Jama’ah al-Islamiyyah ini resmi berdiri pada tahun 1973 di Minya, Asyut, yang
diprakarsai oleh Dr. Umar Abdurrahman pada masa kepemimpinan Presiden Mubarak. Sebelumnya, al-Jama’ah al-Islamiyyah ini bernama Lajnah Diniyyah (Komite Agama) yang terfokus pada kegiatan kemahasiswaan seperti kegiatan sosial, budaya, olahraga, seminar, piknik dan perkemahan. Al-Jama’ah al-Islamiyyah mempunyai ideologi yang sama dengan Ikhwanul Muslimin, sehingga keduanya berkoalisi saling bahu-membahu melakukan penolakan terhadap perundingan damai antara Mesir dan Israel, karena dianggap tidak tepat. Namun pada tahun 1979, al-Jama’ah al-Islamiyyah menarik diri dari koalisi dengan Ikhwanul Muslimin, kemudian melakukan kerjasama dengan al-Jihad (Tandzim al-Jihad), sebuah gerakan Islam radikal yang sudah menguasai kampus-kampus di Mesir selatan. Aparat keamanan ataupun rezim Mesir mulai mengawasi dan membatasi gerak al-Jama’ah al-Islamiyyah, karena tindakan semangat jihadnya yang mengganggu terhadap golongan non-Islam.
Di Indonesia, kesejarahan organisasi al-Jama’ah al-Islamiyyah sangat terkait dengan kesejarahan DI/ TII. Kelahiran al-Jama’ah al-Islamiyyah di Indonesia kemunculannya terkait dengan respon kawasan Asia Tenggara terhadap tragedi 11 September 2001, yakni pengeboman terhadap gedung WTC (World Trade Centre) milik Amerika Serikat. Sejak kejadian itu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyatakan perang terhadap para teroris, yang identiknya terhadap organisasi al-Qaidah dan al-Jama’ah al-Islamiyyah.
Di awal tahun 2002, klaim tentang keberadaan al-Jama’ah al-Islamiyyah di Indonesia masih di tentang banyak orang, karena dianggap al-Jama’ah al-Islamiyyah merupakan hantu rekayasa Amerika dan Australia untuk mengobok-obok negeri Muslim seperti Indonesia. Menurut pendapat pemerintah Indonesia melalui Kementerian Polkam, menyatakan bahwa organisasi al-Jama’ah al-Islamiyyah ada di Malaysia dan Singapura dan tidak ada di Indonesia, hanya saja beberapa orang Indonesia terlibat dengan kegiatan al-Jama’ah al-Islamiyyah tersebut. Pernyataan tersebut berbeda dengan pendapat Menteri Pertahanan Mathori Abdul Jalil yang menyatakan bahwa al-Jama’ah al-Islamiyyah ada di Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia bersikap skeptis dan menolak pernyataan tersebut dengan alasan al-Jama’ah al-Islamiyyah hanya ada di Mesir dan Timur Tengah dan tidak ada di Indonesia.
Jika ditelusuri lebih lanjut, bahwa organisasi al-Jama’ah al-Islamiyyah tidak pernah terdaftar di Departemen Kehakiman Republik Indonesia sebagai organisasi resmi, keberadaannya di Indonesia hanya sekedar upaya para ahli indoktrinasi al-Jama’ah al-Islamiyyah dari Negara Malaysia dan Singapura untuk memperalat anak bangsa dalam melancarkan misi jihadnya.
Al-Jama’ah al-Islamiyyah merupakan organisasi pecahan dari NII dari sayap Sungkar Ba’asyir, sedangkan sayap DI merupakan pecahan NII dengan pimpinan Ajengan Masduki.
Al-Jama’ah al-Islamiyyah mempunyai aturan atau hukum khusus untuk para jama’ahnya, dengan ditetapkannya al-Nizham al-Asasiy sebagai pedomannya, yang merupakan satu-kesatuan bagian dari PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan al-Jama’ah al-Islamiyyah), pada tanggal 24 Rajab 1416 H/ 17 desember 1995.

C.    Komentar terhadap buku
Buku ini sebetulnya isinya bagus, tetapi sekilas dilihat dari sampulnya kurang memberikan daya tarik terhadap pembaca, walaupun judulnya cukup mengesankan. Karena biasanya pembaca mulai tertarik terhadap buku dimuali dari ketertarikannya dengan sampul dan judul buku. Kemudian penulisan deskripsi buku, tentang jumlah halaman sebenarnya ada 127 halaman, bukan 125 halaman. Selanjutnya, pada buku ini tidak dicantumkan bab pendahuluan sebagai pengantar untuk mengetahui materi pembahasan, dan juga tidak di berikan bab penutup sebagai kesimpulan dari materi pembahasan.
Isi dari buku ini cukup memberikan aspirasi yang cukup besar, terlihat dari tindakan perjuangan organisasi-organisasi yang menghendaki berdirinya syari’ah Islam di Indonesia.  Mereka saling melakukan tindakan-tindakan untuk mengubah sistem kenegaraan Indonesia yang identik kebarat-baratan dengan mengganti menjadi sistem syari’ah Islamiyyah.
Seharusnya pada halaman terakhir di paparkan biografi penulis, baik mengenai riwayat hidup dari penulis, maupun tentang riwayat pendidikan yang telah ditempuh, sehingga menimbulkan motivasi pembaca untuk lebih baik seperti penulis.