welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

FIQH MUAMALAH


FIQH MU’AMALAH
A.Pengertian
Fiqh muamalah terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan muamalah.
Secara etimologi, fiqh berarti paham; muamalah berarti saling berbuat/beramal/bertindak.
Secara terminologi, pengertian muamalah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Pengertian muamalah dalam arti luas:
ü  “Peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati oleh mukallaf dalam hidup  bermasyarakat untuk menjaga kepentingan bersama.”
ü  “Aturan-aturan (hukum) Allah yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan keduniaan dan sosial kemasyarakatan.”
Pengertian muamalah dalam arti sempit:
ü  “Akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.”
ü  “Aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan hidup jasmani.”
Meskipun penekanan kebutuhan dalam muamalah adalah aspek keduniaan/materi, namun hal ini tidak dapat dilepaskan dari aspek ukhrawi. Jadi, aktivitas muamalah, baik dalam memperoleh, mengelola dan mengembangkan harta (mal) sudah semestinya mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh syara’.

B. Pembagian
Fiqh muamalah dapat dibagi menjadi dua bagian:
  1. Al-mu’amalah al-madiyah, yaitu muamalah yang mengkaji objek muamalah (bendanya). Dengan kata lain, al-muamalah al-madiyah adalah aturan yang ditetapkan syara’ terkait dengan objek benda.Dimaksudkan dengan aturan ii, bahwa dalam memenuhi kebutuhan yang sifatnya kebendaan, seperti jual-beli (al-bai’), tidak saja ditujukan untuk mendapatkan keuntungan (profit) semata, akan tetapi juga bagaimana dalam aturan mainnya harus memenuhi aturan jual-beli yang ditetapkan syara’.
  2. Al-muamalah al-adabiyah, yaitu muamalah yang mengkaji bagaimana cara tukar menukar benda. Dengan kata lain, al-muamalah al-adabiyah adalah aturan-aturan syara’ yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat, ditinjau dari segi subjeknya, yaitu mukallaf/manusia. Hal ini mengacu kepada bagaimana seseorang dalam melakukan akad atau ijab qabul. Apakah dengan rela sama rela (‘an taradlin minkum) atau terpaksa, ada unsur dusta dsb.
Pembagian atau pembedaan tersebut ada pada dataran teoritis saja, karena dalam prakteknya antara keduanya tidak dapat dipisahkan.

C. Kedudukan Muamalah dalam Islam
·         Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam bidang muamalah, karena bidang tersebut amat dinamis, mengalami perkembangan.
·         Meskipun demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah tersebut tidak menimbulkan kemadaratan atau kerugian salah satu pihak.
·         Meskipun bidang muamalah berkaitan dengan kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan ukhrawi, sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek halal, haram, sah, rusak dan batal. 

D. Sumber Hukum Muamalah
Ø  Al- Qur’an, seperti: QS. 2: 188; QS. 4: 29.
Ø  Al- Hadits.
Ø  Ijtihad, merupakan sumber yang banyak digunakan dalam perkembangan fiqh muamalah.

E. Prinsip-prinsip Hukum Muamalah
·         Pada dasarnya segala bentuk muamalah hukumnya mubah/boleh, kecuali yang ditentukan lain oleh Al- Qur’an dan atau Al- Hadits.
·         Dilakukan atas dasar suka rela (‘an taradlin minkum), tanpa ada unsur paksaan.
·         Dilakukan dengan pertimbangan mendatangkan maslahat/manfaat dan menghidari madarat.
·         Dilakukan dengan mempertimbangkan nilai keadilan, menghindari eksploitasi, pengambilan kesempatan dalam kesempitan.

F. Ruang Lingkup
  1. Jual-beli (al-bai’)
  2. Gadai (al-rahn)
  3. Jaminan dan tanggungan (al-kafalah dan al-dlaman)
  4. Pemindahan hutang (al-hiwalah)
  5. Pailit (al-taflis)
  6. Perseroan atau perkongsian (al-syirkah)
  7. Perseroan tenaga dan harta (al-mudarabah)
  8. Sewa menyewa dan upah (al- ijarah dan ujrah)
  9. Gugatan (al- syuf’ah)
  10. Sayembara (ji’alah)
  11. Pembagian harta bersama (al- qismah)
  12. Pemberian (al- hibah)
  13. Perdamaian (al- sulhu)
  14. Permasalahan mu’ashirah (muhaditsah), seperti bunga bank, asuransi dll.
Objek Fiqh Muamalah dalam arti yang terbatas, terdiri dari:
            1. Hak (huquq) dan pendukungnya.
            2. Benda (mal) dan milik atas benda (tamlik).
            3. Perikatan (akad).
Perbedaan antara Fiqh Muamalah dan Fiqh Ibadah:
1. Karakter fiqh muamalah dinamis, selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat; sementara fiqh ibadah tidak berubah/stagnan.
2. Fiqh muamalah lebih bersifat ta’aqquli; sementara fiqh ibadah bersifat ta’abbudi.
3.  Ketetapan hukum (fatwa) dalam fiqh ibadah menganut dasar kehatian-hatian; sementara dalam fiqh muamalah berdasar pada kemaslahatan.
4. Dalam fiqh muamalah kesempatan berijtihad lebih luas dibandingkan dalam fiqh ibadah. 

MILIK (KEPEMILIKAN)
A. Pengertian
      à Penguasaan terhadap sesuatu benda (harta), yang penguasanya dapat bertindak terhadap sesuatu yang dikuasainya dan dapat mengambil manfaatnya apabila tidak ada halangan syara’.
      à Halangan syara’ dimaksudkan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh syara’ yang menghalangi seseorang dalam penguasaan harta dan pemanfaatannya;  seperti: anak kecil, pemboros dan orang yang sakit ingatan.
B. Macam-macam harta/benda
1. Benda yang tidak boleh menjadi milik perseorangan; yakni semua  macam benda yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.
2. Benda yang pada dasarnya tidak boleh dimiliki secara perseorangan, kecuali oleh sebab yang dibenarkan syara’.
3. Benda yang dibolehkan menjadi milik perseorangan; yakni semua benda yang bukan diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti jalan, wakaf, baitul mal.
            Pemilikan atas benda tersebut bisa meliputi pemilikan atas benda sekaligus pemanfaatannya atau pemilikan atas salah satu dari keduanya (benda atau manfaatnya). 
C. Macam-macam milik
     Milik dapat dibedakan menjadi dua macam:
     1. Milik sempurna
     2. Milik tidak sempurna

     Ad. 1. milik sempurna :
     à milik atas benda sekaligus manfaatnya
     à milik sempurna ini mempunyai ciri-ciri:
a. tidak dibatasi dengan waktu tertentu, maksudnya seseorang tetap memiliki benda dan manfaatnya selama kepemilikan belum berpindah ke orang lain dengan akad tertentu.
b. pemiliknya berhak untuk memanfaatkan atau mengelola benda yang menjadi miliknya sesuai keinginan.
                 Meskipun seseorang memiliki suatu barang secara sempurna, namun kepemilikan itu tidaklah mutlak. Maksudnya, terkait dengan fungsi harta itu sendiri, yaitu memiliki fungsi sosial.Jadi, di satu sisi pemilik sempurna berhak bertindak apa saja terhadap miliknya, namun di sisi lain kepemilikan itu ada fungsi sosial yang harus diperhatikan. Bahkan, ketika sampai pada kadar tertentu, harta tersebut wajib dikeluarkan zakatnya.

AKAD
A. Pengertian
 Pengertian umum/luas:
Akad adalah semua tindakan seseorang yang dilakukan dengan niat dan keinginan kuat dalam hatinya, meskipun tindakan itu  sepihak, seperti wakaf.
 Pengertian khusus:
Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’, yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek akad.

            Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai iasi perikatan yang diinginkan, sementara qabul adalah pernyataan pihak kedua yang menerimanya.
            Adanya ijab dan qabul ini diadakan untuk menunjukkan suatu keridlaan atau suka rela di antara dua pihak yang berakad, sehingga dari sini menimbulkan kewajiban masing-masing secara timbal balik.
B. Pembentukan Akad
Rukun akad:
            a. Orang yang berakad (‘aqidain)
            b. Objek akad (ma’qud ‘alaih)
            c. Ijab dan qabul

Ad. a. Orang yang berakad (‘aqidain):
§  Secara umum, ‘aqid disyaratkan harus memiliki keahlian dan kemampuan untuk melakukan akad. Dari syarat tersebut kemudian fuqaha memberikan batasan.
§  Ulama Malikiyah dan Hanafiyah, mensyaratkan bahwa ‘aqid harus berakal (sudah mumayyiz).
§  Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan bahwa ‘aqid harus baligh, berakal dan mampu memelihara agama dan hartanya.

Akad anak mumayyiz dipandang sah, dalam hal:
Ø  Akad yang bermanfaat bagi dirinya, seperti akad yang tidak memerlukan qabul. Contoh: hibah.
Ø  Tindakan yang mengandung “kemadlaratan” bagi dirinya, yaitu tindakan mengeluarkan harta miliknya tanpa memerlukan qabul, seperti meminjamkan atau memberikan suatu barang.
Sementara akad yang berdampak pada manfaat dan madlarat atau untung dan rugi, tidak dapat dilakukan oleh anak mumayyiz, kecuali atas ijin walinya.

Ad. b. Objek akad (ma’qud ‘alaih):
1). Objek akad harus ada ketika akad
2). Objek akad adalah sesuatu yang dibolehkan syara’
3). Objek dapat diberikan ketika akad
4). Objek harus diketahui dengan jelas


  





PERKONGSIAN (SYIRKAH)








MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas
dalam Mata kuliah Fiqh Muamalah Semester IV



AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2010






BAB I
PENDAHULUAN

Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi.
Terkait dengan hal ini maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah dengan pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan teori-teori tentang Syirkah.
Syirkah dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kredit, bidang produksi. Ini di sebut koperasi bidang usaha tunggal (single purpose). Ada pula koperasi yang melaksanakan usahanya dalam berbagai bidang, disebut koperasi bidang usaha (multi purpose), misalnya pembelan dan penjualan.
Syirkah sesungguhnya adalah kerja sama, gotong royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum.
Tujuan kami dalam penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Definisi, Dasar Hukum dan Macam-macam Syirkah.
2. Mengetahui Syarat-syarat dan Hikmah Syirkah.
3. Memenuhi tugas dari Dosen Pengampu mata kuliah Fiqih Muamalah.




BAB II
SYIRKAH/ PERKONGSIAN
A.    Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat.[1]
Secara etimologi berarti: percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Secara terminologi, antara lain:
1.    Menurut Malikiyah:[2]
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satu untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
2.    Menurut Hanabilah:[3]
Perhimpunan adalah hak (kewenangan) atau pengolahan harta (tasharruf).
3.    Menurut Syafi’iyah:[4]
Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan cara masyhur.
4.    Menurut Hanafiyah:[5]
Ungkapan tentang adanya transaksi antara dua orang yang bersekutu pada pokok harta dan keuntungan. 

B.     Landasan Syirkah
1.      Al-Qur’an:
Artinya: mereka bersekutu dalam yang sepertiga. )QS. an-Nisa 4:12(
2.      Sunnah Nabi:
عن ابى هريرة رفعه الى النبي ص.م. قال ان الله عز وجل يقول انا ثالث الشر يكين مالم يخن احدهما صا حبه فاء ذا خانه خرجت من بينها
 (رواه ابو داود والحاكم وصححه اسناده)
Artinya: Dari abu hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi, bahwa Nabi SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT berfirman. Aku adalah yang ketiga pada dua orang bersekutu selama salah satu seseorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut. Apabila salah seorang mengkhianatinya.
(H.R. Abu Daud dari Abu Hurairah : 2936)  
3.      Ijma’:
Ummat Islam sepakat bahwa Syirkah dibolehkan. Hanya saja mereka berpendapat tentang jenisnya.
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya.

C.    Pembagian Perkongsian
1. Perkongsian Amlak
Maksudnya, dua orang atau lebih memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian ini dibagi dua:[6]
1.      Perkongsian sukarela (ikhtiar), adalah perkongsian yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang saling bersekutu.
2.      Perkongsian paksaan (ijbar), adalah perkongsian yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan keduanya.
2. Perkongsian Uqud
Perkongsian ini merupakan bentuk transaksi yang terbagi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, Syirkah Uqud dibagi kedalam beberapa kategori:[7]
1.      Syirkah al-‘Inan, yaitu: perserikatan dalam modal dalam suatu perdagangan yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungannya dibagi bersama. Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa perserikatan seperti ini dibolehkan.
2.      Syirkah al-Mufawadhah, yaitu: perserikatan dua orang atau lebih pada suatu objek dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum yang sama sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama orang-orang yang berserikat. Menurut ulama Hanafitah dan Zaidiyah, tidak dibolehkan modal salah satu pihak lebih besar dari pihak yang lain. Dan keuntungan untuk satu pihak lebih besar dari keuntungan yang diterima mitra serikatnya.
3.      Syirkah Al-Wujuh, yaitu: serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali dan mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit serta menjualnya dengan harga tunai. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Zaidiyah, perserikatan seperti ini boleh hukumnya karena dalam perserikatan ini masing-masing pihak bertindak sebagai wakil dari pihak yang lain sehingga pihak lainpun terikat pada transaksi yang telah dilakukan mitra serikatnya. Akan tetapi menurut ulama Malikiyah, Syafiiyah, Dzahiriyah, dan Syi’ah Imamiyah, perserikatan seperti ini tidak dibolehkan, alasannya objek perserikatan itu adalah modal dan kerja. Sedangkan dalam perserikatan al-Wujuh tidak demikian. Karena baik modal maupun kerja dalam perserikatan ini tidak jelas,
4.      Syirkah al-Abdan, yaitu: perserikatan yang dilaksanakan oleh dua orang atau pihak menerima suatu pekerjaan seperti laundry dan tukang jahit, hasil yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah, hukumnya boleh karena tujuan utama perserikatan ini adalah mencari keuntungan dengan modal bekerjasama. Menurut ulama Syafiiyah, Syi’ah Imamiyah, Zufar Ibnu Zuhail, perserikatan ini hukumnya tidak sah karena yang menjadi objek perserikatan adalah harta atau modal bukan kerja.
5.      Syirkah al-Mudharabah, yaitu: persetujuan antara pemilik modal dengan seorang pekerja untuk mengelola uang dari pemilik modal dalam perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian diderita pemilik modal saja. Jumhur ulama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharobah dalam salah satu bentuk perserikatan karena menurut mereka, merupakan akad tersendiri dalam bentuk kerjasama lain dan tidak dinamakan dengan perserikatan.

D.    Rukun dan Syarat
 Mengenai rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiyah ada dua: Ijab dan Qabul. Adapun yang lain seperti dua orang atau pihak yang berakad dan harta berada di luar pembahasan akad seperti dahulu dalam akad jual beli.[8]
Rukun syirkah menurut jumhur ulama’yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
• Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
• Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
• Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Sedangkan menurut ulama’ Mazhab Hanafi rukun syirkah hanya ada dua, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan orang yang berakad dan objeknya bukan termasuk rukun, tetapi syarat.
Dijelaskan pula oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa rukun Syirkah adalah dua orang (pihak) yang berserikat, shighat dan objek akad syirkah baik harta maupun kerja.[9]


Syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi 4:[10]
  1. Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk Syirkah baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terbagi dua syarat, yang berkenaan dengan benda dan yang berkenaan dengan keuntungan.
  2. Sesuatu yang bertalian dengan Syirkah Mal dalam hal ini terbagi dalam dua hal yang harus dipenuhi yaitu: a) bahwa modal yang dijadikan objek alat Syirkah adalah dari alat pembayaran seperti Rupiah.  b) yang dijadikan modal ada ketika akad Syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama ataupun beda.
  3. Sesuatu yang bertalian dengan syarikat muwafadhah, bahwa muwafadhah disyarikatkan: a) modal, dalam Syirkah muwafadhah harus sama, b) bagi yang bersyirkah, ahli untuk kalafah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan syirkah umum.
  4. Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat-syarat Syirkah Muwafadhah.
Menurut ulama Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (Rusyd). Menurut Syafi’iyah, bahwa Syirkah yang sah hukumnya hanyalah Syirkah ‘Inan, sedangkan Syirkah yang lainnya batal.[11]




E.     Berakhirnya Syirkah
Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut :
1. Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukan pencabutan kerelaan syirkah oleh satu pihak.
2. Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelolah harta), baik karena gila atau alasan lainnya.
3. Salah satu pihak meninggal dunia, apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun karena sebab yang lainnya.
5. Karena salah satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah. Pendapat ini dikemukakan oleh Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa keadaan bangkrut ini tidak membatalkan perjanjian yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
6. Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi pencampuran harta hingga tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemilik-pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi pencampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi resiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih terus berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.
F. Hikmah Syirkah
Hikmah yang diperoleh dari praktek syirkah adalah:
a. Menggalang kerjasama untuk saling menguntungkan antara pihak-pihak yang ber-syirkah;
b. Membantu meluaskan ruang rezeki karena tidak merugikan secara ekonomi.

G. Contoh Praktek Syirkah
A datang ke B dan menyerahkan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal kerja kepada seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.










BAB III
KESIMPULAN

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa syirkah adalah persekutuan dalam urusan harta oleh dua orang atau lebih yang melakukan akad untuk urusan harta, yang modalnya bisa dibagi dua atau berdasarkan keputusan bersama. Biasanya syirkah dilakukan di perusahaan, yang mana dari mereka ada yang mempunyai saham dan ada yang menjalankan saham. Syirkah akan berlaku jika masing-masing pihak berakad untuk melakukan syikrah itu. Syarat-syarat syirkah pun harus terpenuhi dengan jelas, agar syirkah tersebut sah.
Syirkah adalah transaksi atau akad antara dua orang atau lebih, dimana mereka saling bersepakat untuk melakukan kerja yang bersifat finansial dan mendatang keuntungan (profit).
Dasar hukum syirkah adalah surat An Nisa’ ayat 12 dan surat As Shad ayat 24 dan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh. Hukum syirkah mubah/ boleh dilakukan antara sesama muslim atau antara orang islam dengan orang kafir dzimmi.
Rukun syirkah ada tiga: (1) sighat/ akad (ijab dan qabul), (2) pihak yang berakad baik membawa modal (syariku al-mal) ataupun membawa keahlian dan tenaga (syariku al-badn), dan (3) usaha.
Mengenai Syarat-syarat syirkah, dijelaskan oleh idris Ahmad berikut ini;
1). Mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat kepada pihak yang akan mengendalikan harta itu; 2). Anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah wakil yang lainnya; 3). Mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik berupa mata uang maupun bentuk yang lainya.
Macam-macam syirkah ada lima, yaitu: 1). Syirkah Inan; 2). Syirkah Abdan; 3). Syirkah Wujuh; 4). Syirkah Muwafadhoh; 5). Syirkah Mudhorobah.
Syirkah dapat berbentuk syirkah hak milik (syirkah amlak) seperti syirkah terhadap harta warisan atau syarikah transaksi (syirkah uqud) yang mengembangkan hak milik seseorang. Syirkah uqud dibagi menjadi lima seperti telah dijelaskan diatas.
Bahwa syirkah dengan koperasi itu berbeda, baik dari segi keanggotaan, prinsip dan operasionalnya.
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan Syikah, diantaranya adalah: 1). Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak lainnya; 2). Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelolah harta), baik karena gila atau alasan lainnya; 3). Salah satu pihak meninggal dunia, apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja; 4). Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan; 5). Karena salah satu pihak bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah; 6). Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.









DAFTAR PUSTAKA
v  http:// makalah-syirkah-diambil-dari-beberapa.html
v  Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
v  Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 2007.
v  Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
v  Kamus Al-Munawwir.




[1] Kamus Al-Munawwir, hlm. 765
[2] Ad-Dasuqi, Asy-Syarh al-Kabir Ma’a ad-Dasuqi, juz III, hlm. 348
[3] Ibn Qudamah, al-Mugni, Juz II, hlm. 211
[4] Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, Juz III, hlm. 364
[5] Ibn Abidin, Radd al-Mukhtar Dar al-Muhtar, Juz III, hkm. 364
[6] Al-Kasani, Bada’i ash.Shana’i  fi Tartib asy-Syara’i, juz VI, hlm. 56
[7] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 168-172
[8] Lihat al-Jaziri , dalam fiqh ala mazahib al-arba’ah, hal.76-77
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 128
[10] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 127-128
[11] Lihat al-Jaziri, dalam Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm. 83

0 komentar:

Posting Komentar