welcome

SUGENG RAWUH WONTEN BLOG MENIKO, MUGI MIGUNANI

FIQH MAWARIS 1


  FIQH MAWARIS

I. Pengantar

A. Pengertian
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda.
Kataمواريث  adalah jama' dari   ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari  ورث – يرث- ارثا - وميراثا . Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya:  al-baqa'  (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال)  "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris. [Muhammad 'Ali as-Sabuny, al-Mawaris fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah fi Dau al-Kitab a as-Sunnah, 1989, hlm. 33-34, Muhammad Abd. Rahim al-Kyiska, al-Miras al-Muqaran, 1969, hlm. 7, Wahbah az- Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy a Adillathu, 1989, VIII: 243].
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
Adapun kata fara'id  (الفرائض) menurut bahasa merupakan bentuk jama' dari kata faridah (الفريضة). Kata ini berasal dari kata fardu (الفرض) yang mempunyai arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai al-mafrudah (المفروضة) yang berarti al-muqaddarah (المقدّرة), bagian-bagian yang telah ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Pemakaian kata ini lebih berorientasi kepada bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan.
Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al- faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث. Buku-buku yang khusus membahas kewarisan banyak yang menggunakan nama mawaris atau miras, seperti buku yang ditulis oleh Hasanain Muhammad Makhluf dengan nama: المواريث فى الشريعة الاسلامية ; Muhammad Yusuf Musa: التركة والميراث فى الاسلام ; Muhammad Abu Zahrah:
احكام التركات والمواريث  ; Hilal Yusuf Ibrahim : احكام الميراث للمسلمين وغير المسلمين  , dll.
Secara terminologi terdapat beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama mengenai pengertian ilmu mawaris atau ilmu fara'id. Banyak para ulama yang membuat rumusan bahwa ilmu mawaris atau ilmu fara'id merupakan gabungan antara ilmu fiqh dan ilmu hitung, sehingga dengan gabungan kedua ilmu ini dapat diketahui siapa saja yang mempunyai hak atas harta peninggalan seseorang dan berapa penerimaannya. Beberapa rumusan tersebut di antaranya:
Menurut as-Syaikh Muhammad al-Khatib al-Syarbini:
الفقه المتعلق بالارث ومعرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك ومعرفة  قدر الواجب من التركة لكل ذى حقّ (مغنى المحتاج, 3:3)
"Ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta warisari bagi semua pihak yang mempunyai hak".
Menurut Wahbah az-Zuhaily:
قواعد فقهية وحسابية يعرف بها نصيب كل وارث من التركة (الفقه الاسلامى وادلته, 8: 243)
"Kaidah-kaidah fiqh dan perhitungan yang dengannya dapat diketahui bagian semua ahli waris dari harta peninggalan".

Dari rumusan di atas dapat dibuat rumusan Fiqh Mawaris/Hukum Kewarisan, yaitu: "Aturan hukum yang mengatur pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, siapa saja yang mempunyai hak atas peninggalan tersebut, siapa saja ahli waris dan berapa bagiannya".

B. Dasar Hukum Kewarisan
Dasar hukum yang mengatur pembagian warisan dalam Islam adalah al-Qur'an dan al-hadis. Kedua sumber hukum ini kemudian diperkaya dengan ijtihad para ulama.

1. Al-Qur'an:
Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam yang pertama telah menjelaskan hukum kewarisan secara cukup jelas. Menurut para ulama, tidak ada dalam syari'at Islam hukum-hukum yang begitu jelas diterangkan oleh al-Qur'an sebagaimana hukum­-hukum kewarisan. Di dalam al-Qur'an aturan kewarisan sebagian besarnya diatur dalam surat an-Nisa', yaitu  ayat  11, 12,  176, yang menerangkan siapa saja ahli waris dan berapa bagiannya dan dalam beberapa ayat dalam surat yang lain, seperti surat al-Anfal ayat 75. Sebenarnya dalam surat an-Nisa' ayat 1, 7, 8. 9, 10, 13, 14, 33 mempunyai konteks dengan kewarisan [intisari dari ayat-ayat ini, baca bukunya Ahmad Azhar Basyir : "Hukum Waris Islam", hlm. 8-9].


2. Al-Hadis
Meskipun al-Qur'an sudah menerangkan secara cukup rinci tentang ahli waris dan bagiannya, hadis juga menerangkan beberapa hal tentang pembagian warisan terutama yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an, seperti anjuran untuk mempelajari hukum kewarisan:
تعلّموا القرآن وعلّموه الناس وتعلموا الفرائض وعلّموها فإنى امرؤ مقبوض والعلم مرفوع ويوشك أن يختلف اثنان فلا يجدان احدا يخبرهما (رواه احمد والترمذى والنسائى)
Hadis riwayat AI-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, mengatur  bahwa harta warisan pertama-tama diberikan kepada ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan:
الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فهو لاولى رجل ذكر
Dalam al-hadis juga diatur mengenai keadaan atau perbuatan yang menyebakan seseorang tidak berhak mendapatkan warisan dari pewarisnya, yaitu pembunuh tidak bisa mendapat warisan dari pewaris yang dibunuhnya:
ليس لقاتل ميراث (رواه ابن ماجة)
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Buraidah disebutkan bahwa nenek mendapat 1/6 bagian jika tidak ada bersamanya ibu.

C. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dan as-sunnah. Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Dalam hal tertentu hukum kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri, berbeda dari hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam. Adapun asas-asas hukum kewarisan Islam ialah:

1. Asas Ijbari.
Dalam hukum Islam, peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah, tanpa digantungkan kepada usaha dan kehendak pewaris maupun ahli warisnya. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari. Atas dasar ini, pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan dan pembagian harta peninggalannya setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya harta yang ia miliki secara otomatis akan berpindah kepada ahli warisnya dengan peralihan yang sudah ditentukan. Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Unsur paksaan (ijbari) ini terlihat dari segi ahli waris yang berhak menerima harta warisan beserta besarnya penerimaan yang diatur dalam ayat-ayat al-Qur'an yaitu surat an-Nisa' ayat 11, 12 dan 176. Bentuk ijbari dari segi jumlah yang diterima, tercermin dari kata mafrudan, bagian yang telah ditentukan.Dengan asas ijbari, para ahli waris yang telah ditentukan berhak atas harta warisan secara hukum tanpa rekayasa kehendak dirinya atau orang lain. Oleh karena itu apabila pewaris sendiri menuliskan dalam surat wasiatnya mengenai keengganannya untuk mengalihkan hartanya kepada ahli waris yang berhak, ia dapat digugat. Istilah ijbari direfleksikan sebagai hukum yang mutlak (compulsary law).

2. Asas Bilateral.
Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang ke mana arah peralihan harta itu di kalangan para ahli waris. Asas bilateral untuk menyebut realitas sistem kewarisan tanpa adanya clan -garis keturunan sepihak- sehingga dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, dari ibunya maupun bapaknya, dan dari kerabat ibu maupun bapak. Demikian juga ibu atau ayah dapat menerima warisan dari keturunannya yang perempuan atau laki-laki. Asas ini dapat dilihat dalam surat an Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ayat-ayat tersebut mengandung pengertian bahwa antara orang tua dan anak, antara laki-laki dan perempuan mempunyai status yang sama dalam kekeluargaan dan kewarisan (bandikan dengan asas patrilineal dan matrilineal).

3. Asas Individual.
Asas ini berarti bahwa harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Bahwa pemilikan harta warisan oleh ahli waris bersifat individual, dan hak pemilikan bersifat otonom serta bagian yang diterima langsung menjadi hak milik secara sempurna. Asas individual ini terlihat jelas dari ayat 11, 12 dan 176 surat an-Nisa' yang mengatur bagian masing-masing ahli waris. Setelah terbukanya kewarisan, harta warisan mesti dibagi-bagi di antara para ahli waris sesuai dengan bagiannya (bandingkan dengan asas kolektif dan mayorat).
4. Asas Keadilan Berimbang.
Asas ini mengandung arti bahwa senantiasa ada keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak warisan yang diterima seseorang dengan kewajiban yang harus dilaksanakannya, sehingga antara laki-laki dan perempuan terdapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris dan bagian yang diterimanya berimbang dengan perbedaan tanggung jawab. Oleh karena laki-laki tanggung jawabnya lebih besar dari perempuan, maka hak yang diterimanya juga berbeda, laki-laki mendapat dua kali lipat dari perempuan. Asas ini dapat ditarik dari surat an-Nisa' ayat 11 (bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan). Dalam surat an-Nisa' ayat l2 ( bagian suami lebih besar dari isteri). Dalam surat an-Nisa' ayat 176 (bagian saudara laki-laki lebih besar daripada saudari perempuan).

5. Asas Personalitas ke-Islaman
Asas ini menentukan bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi antara pewaris dan ahli waris yang sama-sama beragama Islam. Oleh karena itu apabila salah satunya tidak beragama Islam, maka tidak ada hak saling mewarisi. Asas ini ditarik dari hadis nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم

6. Asas Kewarisan Akibat Kematian.
Asas ini menyatakan bahwa perpindahan harta warisan dari pewaris kepada ahli warisnya terjadi setelah pewaris meninggal dunia. Perpindahan harta dari pemilik sewaktu masih hidup sekalipun kepada ahli warisnya, baik secara langsung atau terlaksana setelah pewaris meninggal, menurut hukum Islam tidaklah disebut pewarisan, tapi mungkin hibah atau jual beli atau lainnya. Asas kewarisan akibat kematian dapat dikaji dari penggunaan kata warasa dalam surat an Nisa' ayat 11, 12, 176. Pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Atas dasar ini hukum kewarisan Islam hanya mengenal kewarisan akibat kematian semata (yang dalam hukum BW disebut kewarisan ab intestato), dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat seseorang ketika masih hidup (kewarisan by testamen).

[Asas-asas ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Amir Syarifuddin, "Hukum Kewarisan Islam" , hlm. 16 dst.]


D. Kondisi hukum kewarisan di Indonesia
            Sampai saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai hukum kewarisan nasional yang berlaku bagi semua bangsa Indonesia. Keadaan hukum kewarisan di Indonesia sangat plural, karena dalam aktu yang bersamaan berlaku lebih darii satu aturan hukum. Sampai saat ini ada 3 (tiga) aturan hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia, yaitu: (1). Hukum Kewarisan Adat, yang berlaku bagi warga negara Indonesia asli. Hukum kewarisan adat ini keadaannya sangat berbineka, antara satu daerah dengan daerah yang lain terkadang ada perbedaan yang sangat jauh, (2) Hukum Kewarisan BW yang berlaku bagi WNI keturunan Eropa dan Timur Asing (selain WNI keturunan Timur Tengah yang pada umumnya tunduk pada hukum kewarisan Islam), (3) Hukum Kewarisan Islam yang berlaku bagi orang Islam, baik orang Indonesia asli ataupun keturunan. Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa kewarisan yang diajukan kepadanya akan memberlakukan hukum kewarisan Islam.


II. Tahap-tahap Pensyari'atan Hukum Kewarisan Islam.

Bangsa Arab sebagai masyarakat yang pertama kalinya menerima ajaran Islam, bukanlah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka mempunyai aturan berupa tradisi yang mereka warisi seara turun temurun dari nenek moyangnya. Tradisi mereka, di samping ada yang baik sesuai dengan logika yang sehat, banyak juga yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan fitrah yang murni, termasuk dalam masalah pewarisan. Kondisi kewarisan pada masyarakat Arab jahiliyah antara lain dapat dilihat dari sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lainnya.

A. Sebab-sebab mewarisi pada masyarakat jahiliyah
Adapun sebab-sebab seseorang mendapat warisan dari yang lain, pada bangsa Arab di jaman jahiliyah adalah dikarenakan satu dari tiga hal, yaitu:
1.  النسب والقرابة karena mempunyai hubungan nasab/kekerabatan dengan pewaris,
2. الحلف والمعاقدة  karena ada ikatan sumpah setia dengan pewaris,
3. التبنى   karena sebagai anak angkat
(baca: Hasanain M. Makhluf, 1958: 4-6; Abd. Rahim al-Kisyka, 1969: 12-14).
Namun dalam semua sebab ini dibatasi bahwa mereka yang berhak mendapat warisan hanyalah "laki-laki yang sudah dewasa". Adapun wanita, sekalipun sudah dewasa dan laki-laki yang belum dewasa, tidak berhak mendapat warisan. Penjelasan ringkas dari ketiga sebab tersebut sebagai berikut:
1. Pewarisan karena ada hubungan nasab dengan pewaris.
Sekalipun mereka mewarisi karena ada hubungan nasab, hubungan kekerabatan, atau hubungan darah, antara ahli waris dengan pewaris, akan tetapi seperti dikemukakan di atas ahli waris yang bisa menerima warisan karena hubungan darah ini terbatas hanya orang laki-laki yang sudah dewasa saja. Hal demikian dikarenakan dalam pandangan orang Arab jahiliyah orang yang berhak mendapat warisan itu hanyalah orang yang sudah mampu naik kuda dan memanggul senjata untuk membela kehormatan keluarga dan clan/qabilah dari serangan orang lain, dan orang yang mampu mendapatkan harta rampasan perang dengan menyerobot harta-harta rnusuh. Hal demikian tidak mungkin dilakukan oleh perempuan karena fisiknya lemah, begitu pula anak-anak, sehingga karenanya mereka tidak layak mendapat warisan.
Bangsa Arab jahiliyah adalah bangsa yang hidupnya berclan-clan dan tergolong bangsa yang nomad, hidup tidak menetap, gemar mengembara dan berperang. Di samping usahanya yang lain, kehidupan mereka pun sedikit banyaknya tergantung daripada hasil jarahan dan rampasan perang dari clan-clan yang mereka kalahkan. Dengan demikian ada ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang untuk mempertahankan hidup dari serangan orang lain atau untuk mengalahkan kelompok lain dan menjarah harta rampasan perang. Ketergantungan yang tinggi kepada orang yang bisa berperang berarti ketergantungan kepada laki-laki yang sudah dewasa, sekaligus menghilangkan peran dari perempuan dan orang-orang yang belum dewasa. Menurut mereka logis kalau warisan hanya diberikan kepada laki-laki yang sudah dewasa saja dan logis pula kalau perempuan serta laki-laki yang belum dewasa tidak berhak mendapatkannya.
Pada masa jahiliyah, selain wanita tidak boleh mendapatkan warisan, sebagian besar mereka bahkan beranggapan wanita (janda) sendiri merupakan barang warisan (Ibnu Kasir, I: 465). Beberapa riwayat yang dinukil oleh Ibnu Kasir dalam menerangkan asbab an-nuzul ayat 19 surat an-Nisa' merupakan bukti bahwa wanita janda itu dapat diwarisi. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa jika ada seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan isteri (janda), maka janda tersebut dapat diwarisi oleh anaknya atau kerabatnya. Jika wanita itu cantik akan dikawininya, tetapi apabila tidak disenanginya, maka wanita itu ditahannya dan tidak boleh kawin dengan orang lain sampai dia meninggal dunia atau mengembalikan mahar yang dulu ia terima. Pada masa Islam, tradisi ini kemudian dibatalkan dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 19:
يايّها الذين امنوا لايحلّ لكم أن ترثوا النّساء كرها ولا تعدلوهنّ لتذهبوا ببعض مآاتيتموهنّ إلاّ أن يأتين بفاحشة مبيّنة (النساء: 19) 
Dalam pada itu kebiasaan tidak memberi warisan kepada wanita, juga dapat diketahui dari riwayat-riwayat yang merupakan asbab an-nuzul ayat-ayat mawaris. Meskipun riwayat-riwayat itu agak berbeda dalam penyebutan orangnya, tetapi hampir seluruh riwayat itu berkaitan dengan tidak diberikannya hak warisan kepada perempuan. Salah satu riwayat tersebut bersumber dari sahabat Jabir, menerangkan pengaduan janda dari Sa'ad bin Rabi' sebagai berikut ( Asy-Syaukani, Nail al Autar, VI: 171):

عن جابر قال جاءت امرأة سعد بن الربيع الى رسول الله صلعم بابنتيها من سعد فقالت يا رسول الله هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل ابوهما معك فى احد شهيدا, وإنّ عمها أخذ مالهما فلم يدع لهما مالا, ولا يُنْكحان إلاّ بمال, فقال يقضى الله فى ذلك, فنزلت آية الميراث, فأرسل رسول الله صلعم الى عمهما فقال: أعط ابنتى سعد الثلثين وأمهما الثمن وما بقى فهو لك (رواه الخمسة إلا النسائى)
Tindakan saudara laki-lakinya Sa'ad bin Rabi' yang mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad bin Rabi' dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak perempuannya Sa'ad bin Rabi' adalah sebagai gambaran bahwa waktu itu perempuan tidak berhak mendapat warisan.
Diriwayatkan pula bahwa setelah diturunkannya ayat mawaris yang mengatur bagian ahli waris wanita, masih ada orang yang antipati, karena apa yang ditetapkan Allah bertentangan dengan kebiasaan mereka. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibn Abbas r.a. bahwa di antara orang-orang yang antipati itu ada yang menghadap Rasulullah dan bertanya: Wahai Rasul apakah kita akan memberikan warisan kepada anak kecil yang tidak menghasilkan apa-apa?, apakah kita akan memberikan seperdua bagian kepada anak perempuan dari harta yang ditinggalkan ayahnya, padahal ia tidak bisa menunggang kuda dan berjuang di medan tempur?

2. Pewarisan karena ada ikatan sumpah setia
Di kalangan orang Arab jahiliyah, seseorang mendapat warisan selain karena mempunyai hubungan darah dengan pewaris juga karena adanya janji setia. Sudah menjadi tradisi di kalangan mereka, dua orang mengadakan sumpah setia untuk saling tolong menolong, untuk sehidup semati. Apabila seseorang senang kepada yang lainnya, maka dia berkata kepada yang disenanginya :
دمى دمك وهدمى هدمك وترثنى وارثك وتطلب بى واطلب بك
"Darahku darahmu juga, tertumpahnya darahku berarti tertumpahnya darahmu, engkau mewarisi dari aku dan aku pun mewarisi dari kamu, engkau menuntut bela karena aku dan aku menuntut bela karena engkau".
Temannya kemudian menjawab seperti itu juga (Abd Rahim al-Kisyka, 1969: 13)
Atau dengan ucapan lain yang mereka ucapkan setelah mereka saling rneletakan tangan, seperti:
عاقدنى وعاهدنى على النصرة والمعاينة
"Bersumpah setialah dan berjanjilah padaku untuk saling tolong menolong dan bantu membantu".
lalu pihak yang satunya menyetujuinya (Fatchur Rachman, 1994: 14)
Apabila yang bersumpah setia itu (laki-laki yang sudah dewasa) ada yang meninggal maka temannya yang hidup berhak mendapat warisan sebesar seperenam, dan sisanya dibagi di antara ahli warisnya yang lain (Hasbi, 1971: 15).

3. Pewarisan karena pengangkatan anak
Mengadopsi anak merupakan tradisi yang merata pada orang Arab jahiliyah. Dalam tradisi mereka, anak yang diadopsi kemudian nasabnya dirubah, tidak lagi dinasabkan kepada orang tua kandungnya tetapi dinasabkan kepada orang tua angkatnya, sehingga status anak angkat sama dengan anak kandung. Muhammad sendiri sebelum menjadi rasul, telah mengadopsi anak yang bernama Zaid bin Harisah, setelah diadopsi lalu dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Apabila orang tua angkatnya meninggal dunia, anak angkat berhak mendapat warisan sebagaimana anak kandungnya dengan ketentuan anak angkat terebut harus  laki-laki dan sudah dewasa.

B. Sebab-sebab Mewarisi pada Fase Hijrah.
Islam datang untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia dalam segala aktifitasnya. Seperti telah disebutkan, bahwa bangsa Arab yang pertama kalinya menerima dakwah Islam, bukanlah bangsa yang tidak mempunyai tata aturan sama sekali. Dalam beberapa hal mereka mempunyai tata aturan yang berupa adat kebiasaan atau tradisi yang mereka warisi dari leluhurnya. Tradisi mereka itu ada yang sesuai dengan akal sehat, tapi ada juga yang beretentangan dengan akal sehat dan fitrah yang murni. Oleh karena itu setelah Islam datang, tidak seluruh tradisi mereka dibatalkan, tradisi yang balk tetap dipertahankan, sebagian tradisi itu diperbaiki dan diluruskan, dan sebagiannya lagi dibatalkan karena tidak sesuai. Dalam pembatalan tradisi yang tidak sesuai maupun dalam penetapan aturan yang baru tidak dilakukan secara sekaligus, melainkan secara bertahap. Demikian halnya dalam penetapan hukum kewarisan.
Pada periode Makkah, syari'at Islam belum mengatur tentang pewarisan. Oleh karena itu sebab-sebab pewarisan karena tiga hal di atas tetap berjalan, belum ada perubahan. Pada periode Makkah umat Islam jumlahnya masih sedikit dan dalam keadaan lemah. Sampai akhirnya Allah memerintahkan Nabi dan umat Islam hijrah dari Makah ke Madinah.
Orang-orang Muhajirin yang datang ke Madinah dalam keadaan lemah, baik secara mental, fisik maupun materi. Untuk itu orang-orang Ansar banyak memberikan bantuan kepada Muhajirin, mulai dari tempat tinggal sampai kepada persoalan pekerjaan. Bahkan orang-orang Ansar lebih mengutamakan saudaranya Muhajirin daripada dirinya dan keluarganya (baca surat al-Hasyr ayat 9). Untuk memperkokoh persaudaraan Muhajirin dan Ansar, maka Rasulullah mempersaudarakan secara khusus antara orang-orang Ansar dan Muhajirin. Selanjutnya untuk mendukung suksesnya perintah hijrah, maka persoalan waris mewaris pun pada periode Hijrah ini dikaitkan dengan hijrah itu sendiri. Oleh karenanya sebab-sebab mewarisi karena tiga hal di atas sedikit mengalami perubahan yaitu dibatasi dengan dua hal, yaitu:
l. Hijrah dari Makkah ke Madinah  (الهجرة من مكة إلى المدينة)
2. Persaudaraan yang diikat oleh Rasulullah antara Muhajirin dan Ansar
(المؤاخاة بين المهاجرين والانصار)
Yang dimaksud dengan "hijrah dari Makkah ke Madinah" sebagai sebab mewarisi ialah apabila orang Muhajirin ada yang meninggal dunia dalam perjalanan hijrah atau pada waktu di Madinah, maka yang berhak mewarisinya hanyalah kerabatnya atau anak angkatnya atau orang yang mengikat sumpah setia tetapi yang sama-sama hijrah, sedangkan kerabatnya yang belum mau hijrah dan masih tinggal di Makkah tidak berhak mendapat warisan, sekalipun sudah beriman. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam al­-Qur' an surat al-Anfal ayat 72 (silahkan baca dan tulis ayat tersebut)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Mujahid, dan Qatadah bahwa ... مالكم من وّلايتهم makna wilayah dalam ayat di atas adalah pewarisan.
Adapun yang dimaksud dengan "persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar yang diikat oleh Nabi" sebagai sebab mendapat warisan ialah apabila orang Muhajirin meninggal di Madinah dan tidak ada seorang pun kerabatnya yang ikut hijrah, maka yang berhak mewarisinya ialah orang Ansar yang telah dipersaudarakan secara khusus oleh Nabi. Demikian halnya apabila ada orang Ansar yang meninggal dan tidak ada seorang pun kerabatnya, maka yang berhak mewarisinya ialah Muhajirin yang telah dipersaudarakan secara khusus oleh Nabi (Abd Rahim al-Kisyka, 1969: 15)
Setelah Makah dapat dikuasai oleh kaum muslimin, maka hijrah dari Makkah ke Madinah tidak lagi sebagai kewajiban. Nabi bersabda : لاهجرة بعد الفتح (متفق عليه)
Oleh karena itu pewarisan karena hijrah pun dibatalkan. Demikian juga pewarisan karena adanya ikatan khusus persaudaraan Muhajirin dan Ansar juga dibatalkan dengan turunnya surat al-Ahzab ayat 6 dan al-Anfal ayat 75 (Silahkan baca dan tulis kedua ayat tsb.)
Setelah keimanan orang-orang Islam semakin kuat maka yang dibatalkan bukan hanya pewarisan karena hijrah dan persaudaraan antara Muhajirin dan Ansar saja, beberapa tradisi yang lain yang tidak sesuai juga dibatalkan. Kebiasaan mengangkat anak yang merubah nasab anak dari orang tua kandung kepada orang tua angkat dibatalkan dengan turunya surat al-Ahzab ayat 40, 4 dan 5 (Silahkan baca dan tulis kedua ayat tsb.)
Pewarisan anak angkat sebagai bagian dari pengangkatan anak dengan sendirinya juga batal.
Pewarisan karena sumpah setia dibatalkan dengan turunnya surat al-Anfal ayat 75. Demikian menurut pendapatnya jumhur. Akan tetapi menurut Hanafiyah, pewarisan karena sumpah setia itu tidak dibatalkan, karena al-Qur'an sendiri memperbolehkan, sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa' ayat 33:   والذين عقدت أيمانكم فأتوهم نصيبهم
Oleh karena itu sumpah setia sebagai sebab mewarisi sampai sekarang tetap berlaku, hanya saja menurut Hanafiyah penerimaan mereka diakhirkan yaitu kalau sudah tidak ada seorang pun ahli warisnya karena hubungan kerabat, perkawinan, dan memerdekakan budak.
Setelah itu ayat-ayat yang turun semakin mengisaratkan akan terjadinya perubahan dalam hal pewarisan. Sebagai proses ke arah pensyari'atan hukum kewarisan, Allah mengawalinya dengan perintah membuat wasiat. Bagi orang yang merasa akan meninggal dunia, hendaknya ia membuat wasiat berkaitan dengan harta peninggalannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam surat al-Baqarah ayat 180:
كتب عليكم إذا حضر احكم الموت إن ترك خيرا الوصيّةُ للوالدين والاقربون بالمعروف حقّا على المتّقين
Pada fase ini Allah baru memerintahkan untuk membuat wasiat tetapi belum menentukan secara rinci berapa besarnya bagian wasiat untuk orang tua dan kerabat tersebut. Hanya saja garis perubahan siapa yang berhak atas harta peninggalan seseorang melalui wasiat tersebut sudah nampak. Dalam ayat di atas yang berhak mendapat wasiat itu tidak hanya laki-laki yang sudah dewasa saja, akan tetapi perempuan pun berhak mendapatkannya. Kata al-walidani mencakup ayah dan ibu, kata al-aqrabun juga mencakup kerabat laki-laki dan perempuan. Perubahan ini semakin nampak dengan turunnya surat an-Nisa' ayat 7 (Silahkan baca dan tulis ayat tsb.)


C. Sebab-sebab Pewarisan Menurut Islam
Pasca turunnya perintah membuat wasiat bagi seseorang yang akan meninggal dunia, setelah keimanan umat Islam siap menerima perubahan, barulah hukum kewarisan disyari'atkan yaitu dengan turunnya ayat-ayat yang secara eksplisit mengatur tentang pembagian warisan, mengatur tentang ahli waris dan bagiannya, yaitu turunnya ayat: 11, 12, dan 176 surat an-Nisa'. Dalam pada itu Rasulullah lebih lanjut mengatur yang tidak disebut dalam al-Qur'an dan persolan-persolan lain yang berkaitan dengan pewarisan.
Dari ayat-ayat al-Qur'an dan hadis Nabi tentang kewarisan, dapat diketahui bahwa pada akhirnya menurut syari'at Islam sebab-sebab pewarisan itu ada empat (4), yaitu:
1. Karena hubungan nasab atau kekerabatan             (النسب والقرابة)atau karena hubungan darah  (الرحيم)
2. Karena perkawinan (الزوجيّة)
3. Karena memerdekakan budak (الولاء)
4. Karena hubungan agama/sama-sama beragama Islam (جهات الاسلام)  
Dari sebab-sebab pewarisan di atas ada yang meneruskan tradisi Arab jahiliyah, karena hal itu sesuai dengan nalar yang sehat, yaitu sebab hubungan nasab atau hubungan darah. Hanya saja yang semula bengkok karena membatasi kepada keluarga yang berjenis kelamin laki-laki dan sudah dewasa, oleh Islam diluruskan menjadi semua kerabat, laki­-laki atau perempuan, dewasa atau pun belum sebagaimana yang disebutkan dalam surat an­-Nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176. Ada juga sebab pewarisan yang baru, yaitu karena hubungan perkawinan dan hubungan memerdekakan budak, serta hubungan seagama atau sama-sama muslim. Adapun tradisi jahiliyah yang dibatalkan sebagaimana telah dikemukakan yaitu sebab memperoleh warisan karena sebagai anak angkat, sedangkan ikatan sumpah setia, apakah dibatalkan atau tidak, diperselisihkan oleh para ulama.
Sebab mewarisi karena hubungan nasab atau hubungan darah, menurut Islam meliputi unsur keturunan, unsur leluhur, dan unsur saudara. Dasar hukumnya yaitu surat an-Nisa' ayat 7, 11, 12, dan 176.
Pernikahan sebagai sebab mewarisi, artinya antara suami isteri berhak saling mewarisi. Dasar hukumnya ialah surat an-Nisa' ayat 12. Berhaknya suami-isteri saling mewarisi karena hubungan perkawinan, disyaratkan dua hal: (1). Perkawinannya termasuk perkawinan yang sahih, yang memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya sahnya perkawinan, (2). Perkawinan tersebut masih tegak ketika salah seorang suami isteri meninggal dunia, baik secara hakiki atau secara hukmi. Secara hakiki artinya belum terjadi perceraian ketika suami-isteri itu meninggal. Adapun secara hukmi maksudnya bahwa ketika salah seorang suami isteri itu meninggal dalam masa iddah talak raj'i, karena secara hukum, perkawinan yang diputus dengan talak raj'i selama masa iddah belum putus sama sekali.
Memerdekakan budak sebagai sebab memperoleh warisan ialah bahwa orang yang memerdekakan budak berhak mewarisi dari budak yang telah dimerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakannya meninggaI dan ia tidak mempunyai ahli waris baik karena hubungan nasab atau pun karena perkawinan, tetapi tidak sebaliknya, orang yang dimerdekakan tidak berhk mewarisi dari orang yang memerdekakannya. Dasar hukumnya hadis Nabi:  الولاء لمن اعتق (رواه البخارى ومسلم عن عائشة)
"Hak wala' itu bagi orang yang telah memerdekakan"
الولاء لحمة كلحمة النسب لايباع ولا يوهب (رواه ابن هبان والحاكم)
"Wala itu suatu kekerabatan seperti halnya kekerabatan nasab, yang tidak bisa diperjual belikan dan tidak boleh dihibahkan" .
Seperti telah disinggung di atas bahwa menurut Hanafiyah, janji setia itu merupakan salah sebab menerima warisan, karena tidak dibatalkan, sekalipun penerimaannya diakhirkan, yaitu ketika tidak ada seorangpun ahli waris karena hubungan nasab, perkawinan maupun wala'. Oleh Hanafiyah janji setia itu dimasukan kepada sebab mewarisi karena wala', maka Hanafiyah membagi wala' ini kepada dua, yaitu wala'ul 'ataqah ولاء العتاقة)) (karena memerdekakan budak dan wala'ul muwalah ولاء الموالاة) ) yaitu wala' karena sumpah setia.
Adapun hubungan sesama muslim sebagai sebab mewarisi yaitu ketika seseorang yang beragama Islam meninggal dunia dan ia tidak mempunyai ahli waris seorang pun karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, atau pun karena hubungan wala' maka hartanya diwarisi oleh umat Islam, yang pada masa Nabi saw realisasinya dimasukkan kepada Baitul Mal untuk dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Dasar hukumnya bahwa sesama muslim berhak saling mewarisi ialah hadis Nabi:
من ترك مالا فلورثته وانا وارث من لاوارث له (رواه احمد, ابو داود والنسائى)
"Barangsiapa meninggalkan harta peninggalan maka bagi ahli warisnya dan saya adalah ahli waris bagi yang tidak mempunyai ahli waris"
Kata-kata Nabi mengatakan "ana" dalam hadis di atas, bukan dalam posisinya sebagai pribadi, tetapi dalam posisinya sebagai pemimpin umat.


III. UNSUR-UNSUR PEWARISAN

Untuk terlaksananya pewarisan yaitu beralihnya harta orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup diperlukan adanya tiga -unsur pewarisan, yaitu :
1. Pewaris (مورّث) yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pewaris disyaratkan dia harus sudah meninggal dunia (موت المورّث) baik secara hakiki maupun hukmi. Mati hakiki yaitu berpisahnya nyawa dari raga, sedangkan mati secara hukmi yaitu seseorang dinyatakan mati berdasarkan keputusan pengadilan, sedangkan orangnya ada kemungkinan sudah mati atau mungkin masih hidup, seperti dalam kasus orang yang mafqud.
2. Ahli waris وارث)), yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya pewaris karena ia dengan pewaris ada hubungan kekerabatan atau ikatan perkawinan.  Ahli waris disyaratkan harus dalam keadaan hidup  (حياة الوارث)meskipun hanya sesaat ketika pewarisnya meninggal dunla, balk hidup secara hakiki maupun secara hukmi
3. Harta warisan  (موروث, تركة)yaitu apa-apa yang ditinggalkan pewaris, yang dalam al-Qur'an disebut dengan  مَا تَرَك. Harta warisan مَا تَرَك  ini bisa berujud (1) benda  (اموال) baik benda tetap maupun benda bergerak, (2). Hak-hak (حقوق) yang mengandung makna benda, seperti piutang, diyat, dll. Adapun hak-hak kepribadian, seperti status, jabatan, hak menceraikan isteri, meli'an isteri, dll. tidak dapat diwariskan.
Apabila salah satu rukun di atas dengan syaratnya tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi pewarisan, seperti ada yang mempunyai harta kekayaan cukup banyak, tetapi dia belum meninggal dunia, maka hartanya belum bisa diwarisi, atau dia sudah meninggal dunia, tetapi tidak mempunyai ahli waris seorang pun, maka pada dasarnya tidak terjadi juga pewarisan.

IV. PENGHALANG UNTUK MEWARISI  ( موانع الارث)
Sekalipun sudah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pewarisan, akan tetapi adakalanya seseorang ahli waris tidak mendapat warisan. Hal ini ada dua kemungkinan, perlama, karena ada ahli waris lain yang lebih utama, sebagai contoh, ahli warisnya: anak laki-laki dan saudari sekandung. Dalam kasus ini saudari sekandung tidak mendapat warisan karena ada waris yang lebih utama yaitu anak laki­-laki, seandainya saja anak laki-laki tidak ada, saudari akan mendapat bagian. Ahli waris yang tidak mendapat warisan karena ada ahli waris yang lain, disebut mahjub  (محجوب) dan penyebabnya disebut al-hajbu (الحجب) .Kcdua, karena ada penghalang untuk menerima warisan, seperti ahli waris berbeda agama dengan pewaris, ahli waris membunuh pewarisnya. Ahli waris yang tidak mendapat warisan karena pada dirinya ada penghalang menerima warisan disebut mamnu' (ممنوع) atau  mahrum  (محروم)dan penghalangnya disebut hirman (حرمان). Selanjutnya akan  dibicarakan mengenai penghalang menerima warisan.
Penghalang pewarisan yaitu "suatu sifat yang menyebabkan orang  yang bersifat dengan sifat tersebut itu tidak dapat menerima pusaka, padahal cukup sebab-sebabnya dan cukup pula syarat-syaratnya (Hasbi, Fiqhul Mawaris, hlm. 51). Dengan ungkapan lain, penghalang kewarisan ialah "suatu sifat  atau tindakan  yang menyebabkan ahli waris yang bersifat dengan sifat tersebut atau melakukan tindakan tersebut tidak dapat menerima warisan sekalipun memenuhi sebab-sebab dan syarat-syarat mewarisi"
Menurut hukum kewarisan Islam, penghalang menerima warisan ada tiga, yaitu: perbudakan, berbeda agama, dan pembunuhan.
1. Perbudakan (الرّقّ) yaitu bahwa budak tidak berhak menerima warisan dari pewa­risnya. Demikian juga budak tidak bisa diwarisi oleh keluarganya. Budak tidak menerima warisan karena ia dipandang tidak cakap, tidak dapat mengurusi harta, karena dia sendiri dinilai sebagai harta bagi tuannya. Seandainya dia diberi warisan, maka yang akan menerima warisan tersebut bukan dia tetapi tuannya, karena dia sendiri milik tuannya. Ketidak mampuan budak mengurusi harta, disebutkan dalam firman Allah:
ضرب الله مثلاً عبدا مملوكا لا يقدر على شيئ (النحل: 75)
Budak juga tidak dapat diwarisi karena dia melarat, tidak memiliki apa-apa, dia sendiri kepunyaan tuannya.

2. Berbeda agama إختلاف الدين)  ) yang dimaksud yaitu bahwa bahwa agama pewaris berbeda dengan agamanya ahli waris. Dalam hal ini  salah satunya beragama Islam, sedang pihak lainnya tidak beragama Islam. Ahli warts yang tidak beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang beragama Islam dan sebaliknya, ahli waris yang beragama Islam tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang tidak beragama Islam. Larangan pewarisan antara yang beragama Islam dengan yang tidak beragama Islam ini diatur dalam hadis Nabi:
1- لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رواه البخارى)
2- لاَ يَتَوَارَثُ أَهْلُ مِلَّتَيْنِ شَتَّى (رواه ابو داود)
Semua agama di luar Islam dianggap satu, tidak dibedakan antara ahli kitab dengan non ahli kitab. Oleh kaarena ahli aris yang beragama Kristen, Yahudi,   Hindu, Budha tidak bisa mewarisi dari orang Islam, orang Islam dan sebaliknya. Dalam pada itu Muaz, Mu'awiyah, al-Hasan, Ibnul Hanafiyah, Masruq berpendapat bahwa orang Islam berhak mewarisi dari orang kafir, tetapi tidak sebaliknya. Mereka mendasarkan pendapatnya kepada hadis Nabi:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلا يُعْلَى عليه (رواه الدارقطنى والبيهقى)
Di antara ketinggian Islam itu bahwa orang Islam berhak menerima warisan dari non muslim, tetapi tidak sebaliknya.
Kapan perbedaan agama itu diperhitungkan? Menurut jumhur ulama adalah sejak kematian pewaris. Apabila pada waktu meninggalnya pewaris ada di antara ahli warisnya yang tidak bergama Islam dan sebelum harta warisan dibagi dia masuk Islam, tetap saja tidak berhak mendapat warisan. Jumhur ulama beralasan karena penentuan waktu berpindahnya harta warisan kepada ahli waris adalah ketika pewaris meninggal dunia. Sementara menurut Imam Ahmad dan Syi'ah penentuan berbeda agama itu diperhitungkan bukan pada waktu kematian pewaris tetapi pada waktu harta warisan akan dibagi. Oleh karena itu apabila pada waktu pewaris meninggal dunia ada ahli waris yang berbeda agama kemudian sebelum harta warisan dibagi-bagi dia masuk Islam, maka dia berhak mendapat warisan, karena kriteria perbedaan agama sudah tidak ada lagi. Syi'ah beralasan karena sebelum harta warisan betul-betul dibagi harta tersebut belum menjadi hak para ahli waris.

3. Pembunuhan (القتل) , yang dimaksud yaitu ahli waris yang membunuh pewarisnya ia tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewaris yang dibunuhnya, tetapi tidak sebaliknya. Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang dibunuh adalah sabda Nabi saw.
1- لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ الْمَقْتُولِ شَيْئًا (رواه الترمذى)
2- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْقَاتِلُ لاَ يَرِثُ (رواه ابن ماجه)
Selain berdasarkan sabda Nabi di atas juga didasarkan kepada qaidah fiqh yang berbunyi:
مَنْ اِسْتَعْجَلاَ شَيْـئًا قَبْلَ اَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
"Barangsiapa yang menyegarakan sesuatu sebelum waktunya, dihukum dengan dilarang (tidak diberikan) apa yang ingin disegerakannya"  
            Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si pewaris dengan maksud untuk segera mendapat warisannya. Akan tetapi justru hukum melarang apa yang ingin disegerakannya yaitu dengan tidak diberikan hak mendapat warisan kepadanya.
Sekalipun pembunuhan disepakati sebagai penghalang menerima warisan, akan tetapi apakah semua jeni's pembunuhan berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, ataukah hanya pebunuhan tertentu saja? Dalam hal ini para fuqaha berbeda pendapat.

a. Menurut fuqaha Hanafiyah
Fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan adalah pembunuhan yang bersanksi qisas atau kafarah yang kesemuanya ada empat macam, yaitu: pembunuhan sengaja (yang diancam dengan hukuman qisas), pernbunuhan semi/mirip sengaja, pernbunuhan karena salah, dan pernbunuhan yang dianggap salah (ketiganya dengan sanksi hukuman kafarah).
 1. Pembunuhan sengaja (القتل العمد)            yaitu pelaku sengaja membunuh dengan menggunakan alat yang mematikan, seperti senjata apai, senjata tajam, atau benda­ lain yang umumnya mematikan. Pembunuhan sengaja dihukum dengan hukuman qisas, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 178 juncto surat an-Nisa ayat 93:
يايّها الذين امنوا كتب عليكم القصاص فى القتلى ... (البقرة: )178
ومن يقتل مؤمنا متعمّدا فجزآءه جهنّم خالجا فيها ... (النساء: 93)

2. Pembunuhan semi sengaja   (القتل شبه العمد)yaitu pembunuhan dengan menggu­nakan alat yang umumnya tidak mematikan, seperti  ranting kecil, tetapi terjadi juga kematian.
3. Pembunuhan karena silap/salah           (القتل الخطأ) baik salah dalam perbuatan, seperti orang  yang menebang pohon tetapi kapaknya lepas dan mengenai orang sampai mati, atau salah dalam maksud, seperti orang menembak suatu sasaran yang dikira binatang buruan dan kena secara tepat, akan tetapi ternyata bukan binatang melainkan orang.
4. Pembunuhan yang dianggap silap (القتل الجارى مجرى الخطأ)  seperti orang tidur di tempat yang tinggi kemudian jatuh menimpa orang di bawahnya sampai mati.
Pembunuhan nomor 2, 3, dan 4 di atas adalah membunuh dengan tidak sengaja, oleh karenanya dikenakan sanksi kafarah, yaitu membebaskan budak atau kalau tidak dapat dilakukan maka berpuasa dua bulan berturut-turut, seperti diatur dalam firman Allah surat an-Nisa' ayat 92.
Keempat macam pembunuhan di atas semuanya berakibat si pelaku tidak dapat menerima warisan dari pewaris yang menjadi korban. Adapun pembunuhan yang tidak berkibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, menurut Hanafiyah ialah:
1) Pembunuhan tidak langsung (القتل بالتسبب) seperti seseorang menggali lobang untuk perangkap binatang buas, ayahnya yang tidak mengetahui ada lobang, lewat di situ dan terperosok ke dalam lobang sampai mati. Dalam contoh ini penyebab kematian yang langsung adalah terperosok ke dalam lubang;
2) Pembunuhan karena hak (القتل بحق) seperti orang yang menjalankan hukuman had, eksekutor hukuman mati. Pembunuhan di sini dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh agama maupun aturan pemerintah;
3) Pembunuhan karena uzur  (القتل بعذر)seperti orang yang membunuh untuk membela diri.
4) Pembunuhan oleh orang yang belum dewasa atau akalnya tidak sehat/gila
(القتل من غير المكلف)

b. Menurut fuqaha Malikiyah
Menurut fuqaha Malikiyah pembunuhan yang berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan digerakan oleh rasa permusuhan, dilakukan secara langsung atau tidak langsung
(القتل العمد العدوان, سواء أكان بالمباشرة أم بالتسبب). Jadi yang dinilai oleh ulama Malikiyah adalah ada atau tidak adanya niat membunuh. Apabila berniat membunuh, maka pembunuhan itu dikategorikan pembunuhan sengaja, mengenai caranya tidaklah menjadi persoalan, bisa dilakukan secara langsung, seperti dibacok, ditembak, dipukul, atau dilakukan secara tidak langsung, seperti menyuruh orang lain untuk membunuhnya, memberikan saksi palsu, sehingga karena kesaksian palsunya itu seseorang dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu apabila unsur niat ini tidak ada maka tidak termasuk pembunuhan sengaja dan tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti pembunuhan karena salah (القتل الخطأ). Demikian juga apabila pembunuhan itu bukan karena permusuhan seperti pembunuhan karena hak, atau karena uzur (seperti membela diri), pelakunya belum dewasa atau gila,  tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan.

c. Menurut fuqaha Syafi'iyah
Fuqaha Syafi'iyah berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan berakibat terhalangnya pelaku dari merima warisan, apakah itu pembunuhan sengaja atau karena salah, pembunuhan langsung atau tidak langsung, pembunuhan yang dilakukan oleh orang dewasa ataupun oleh anak-anak, atau orang gila, pembunuhan kaarena hak atau bukan. Termasuk juga terkena terhalang dari menerima warisan adalah: orang yang memberikan kesaksian yang karena persaksiannya seseorang dihukum mati, hakim yang memutuskannya, jaksa yang menuntutnya dan algojo yang mengeksekusinya.

d. Menurut fuqaha Hanbaliah
Menurut fuqaha Hanbaliah, pembunuhan yang mengakibatkan terhalangnya pelaku menerima warisan dari pewaris yang dibunuhnya adalah pembunuhan bukan kaaarena hak, yang menyebabkan qisas atau diyat atau kafarah, seperti pembunuhan sengaja atau semi sengaja, pembunuhan karena silaf, pembunuhan langsung atau tidak langsung, pelakunya sudah dewasa atau belum, pelakunya berakal sehat atau tidak.Adapun pembunuhan yang dilakukan karena hak yang dibenarkan oleh agama maka tidak berakibat terhalangnya pelaku dari menerima warisan, seperti menjalankan qisas, atau pembunuhan karena membela diri.
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy …, VIII: 254-266, Abd. Rahim al-Kisyka, al-Miras …, hlm. 46 – 67)
Menurut penelitian as-Syaikh Muhammad `Abdur Rahim al-Kisyka bahwa pendapat yang rajih dan terpilih adalah pendapatnya ulama Malikiyah dan yang sejalan dengan pendapatnya Malikiah.


VI. AHLI WARIS

Ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al-hadis tidaklah hanya satu macam dan sederajat, tetapi ada beberapa macam dan berbeda derajatnya.
Dilihat dari jenis kelaminnya ahli waris dibedakan kepada ahli waris laki-laki (الوارثون) dan ahli waris perempuan (الوارثات).

Ahli waris laki-laki (الوارثون)
1.         Anak laki-laki (ابن); 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dst ke bawah (ابن الابن وإن نزل) ; 3. Ayah  (اب); 4. Kakek/ayahnya ayah dst ke atas (جد/اب الاب وانه علا); 5. Saudara laki-laki sekandung (أخ الشقيق); 6. Saudara lk-lk seayah (أخ لأب); 7. Saudara laki-laki seibu (أخ لأم); 8. Anak lk-lk dari saudara sekandung (إبن الأخ الشقيق); 9. Anak laki-laki dari saudara seayah (إبن الأخ لأب) ; 10. Saudara lk-lk nya ayah yang sekandung/Paman sekandung (عم الشقيق); 11. Saudara lk-lk nya ayah yang seayah/Paman seayah (عم لأب); 12. Anak lk-lk dari paman sekandung الشقيق) (إبن العم;  13. Anak laki-laki dari paman ayah seayah (إبن العم لأب);           14. Suami (الزوج)

Ahli waris Perempuan  (الوارثات)
1.         Anak Perempuan (بنت); 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki  dst ke bawah
(بنت الابن وإن نزلت) ; 3. Ibu  (ام); 4. Nenek dari ibu atau ayah ayah dst ke atas (nenek sahihah)  (جدة الصحيحة/ام الام/ ام الاب وإن علت); 5. Sdri prp sekandung (أخت الشقيقة);   6. Saudari perempuan seayah (أخت لأب); 7. Saudari  perempuan seibu (أخت لأم); 8. Isteri (الزوجة)

Selain dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya, terdapat pengelompokkan lain yang lebih prinsip. Oleh karena itu untuk mengetahui siapa di antara ahli waris yang berhak menerima harta peninggalan ketika mereka lebih dari satu orang, maka perlu diketahui lebih dahulu pengelom-pokkan ahli waris.
Terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam mengelompokkan ahli waris dan ini terkait dengan pemahaman mereka terhadap nas-nas pewarisan. Paling tidak ada tiga pendapat dalam mengelompokkan ahli waris, yaitu: menurut ulama Sunni, menurut ulama Syi'i, dan menurut Hazairin.
A. Menurut ulama Sunni

Ulama Sunni dalam memahami ayat al-Qur'an dan hadis tentang kewarisan, telah melahirkan ajaran kewarisan sunni. Pengelompokkan ahli waris yang sangat prinsip dalam ajaran kewarisan sunni adalah pengelompokkan ahli waris kepada: zawul furud/ashabul furud, `asabah, dan zawul arham.

1. Ahli waris zawul furud ((ذو الفروض  atau ashabul furud  أصحاب الفروض)), yaitu ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis. Para ahli waris kelompok ini sudah mempunyai bagian yang baku. Dalam al­-Qur'an dan al-hadis ada enam macam bagian yang sudah ditentukan atau furudul muqaddarah (فروض المقدّرة) bagi para ahli waris,yaitu: 2/3, 1/3, 1/2, 1/4, 1/6,  dan 1/8. Adapun ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan ada 12 orang, terdiri dari 8 orang ahli waris perempuan dan 4 orang ahli waris laki-laki. Mereka. itu ialah: anak perempuan (bintun), cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah (bintul ibni wa in safala); ibu (ummun); bapak (abun), nenek (jaddah); kakek (jaddun); saudari perempuan sekandung (ukhtusy-syaqiqah); saudari perempuan sebapak (ukhtu li ab); saudari perempuan seibu (ukhtu Ii um); saudara laki-laki seibu (akhun Ii um); suami (jauz), dan isteri {jauzah}. Mereka ini harus didahulukan dalam menerima warisan dari ahli waris yang lain selama tidak terhijab.
Bagian bagi para ahi waris zawul furud/ashabut furud itu sebagai berikut:

a. Ahli waris yang mendapat 2/3 bagian  (الثلثان)ada empat orang, yaitu:
1). Dua orang atau lebih anak perempuan dan tidak bersama anak laki-laki
2). Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki dan tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Dua orang atau lebih saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Dua orang atau lebih saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak.

b. Ah1i waris yang mendapat l/3 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Ibu apabila tidak ada ahli waris keturunan (anak atau cucu)
2). Dua orang atau lebih saudara/saudari seibu, baik laki-laki semua atau perempuan semua atau laki-Iaki dan perempuan.

c. Ahli waris yang mendapat I/3 bagian ada lima orang, yaitu:
1).  Seorang anak perempuan dan tidak bersama anak laki-laki
2). Seorang cucu perempuan dari anak Iaki-laki dan tidak bersama   cucu laki­-laki
3). Seorang saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4). Seorang saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak
5). Suami apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)

d. Ahli waris yang mendapat 1/4 bagian ada dua orang, yaitu:
1). Suami apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
2). Isteri apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)

e. Ahli waris yang mendapat 1/6 bagian ada enam orang, yaitu:
1). Cucu perempuan apabila mewarisi dengan seorang anak perempuan dan tidak bersama cucu laki-laki
2). Ibu apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
3). Bapak apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
4). Kakek apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) dan tidak ada bapak
5). Saudari perempuan sebapak apabila mewarisi dengan seorang saudari sekan­dung dan tidak bersama saudara laki-laki sebapak
6). Seorang saudara atau saudari seibu

f.  Ahli waris yang mendapat 1/8 bagian hanya seorang yaitu isteri apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu).

2.    Ahli waris `asabah, yaitu ahli waris yang bagiannya belum ditentukan, mereka ini menerima sisa setelah diambil bagiannya ashabul furud Iebih dahulu, atau mengambil semua harta peninggalan apabila tidak ada ahli waris selainnya, atau ada ahli waris yang lain tetapi mahjub.

Dasar hukum ahli waris `asabah ialah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ

Selanjutnya ulama sunni membagi ahli waris `asabah kepada tiga macam, yaitu:
a. `Asabah binafsi (عصبة بالنفس)  yaitu ahli waris menjadi `asabah karena dirinya sendiri. Mereka ini semuanya laki-laki yaitu semua kerabat pewaris yang antara dirinya dengan pewaris tidak dihubungkan oleh perempuan. Mereka ini ialah: anak laki-laki (ibnun), cucu laki-laki dari anak Iaki-laki dan seterusnya ke bawah (ibnul ibni wa in nazala), bapak (abun), kakek (jaddun), saudara laki-laki sekandung (akhun syaqiq), saudara laki-laki sebapak (akhun li ab), anak laki­-laki dari sudara laki-iaki sekandung (ibnu akh syaqiq), anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (ibn akh li ab), paman sekandung (`ammun syaqiq), paman sebapak (`ammun li ab), anak laki-laki paman sekandung (ibn `amm syaqiq), anak laki-laki paman sebapak (ibn `amm li ab).
b. `Asabah bil gair (عصبة مع الغير) yaitu ahli waris perempuan (yang semula ashabul furud) menjadi `asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang menjadi `asabah. Antara yang ditarik menjadi `asabah dengan yang menarik menjadi `asabah (mu'asib) adalah sederajat. Mereka ini ialah:
1). anak perempuan bersama anak laki-laki
2). Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3). Saudari perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4). Saudari perempuan sebapak bersama saudara laki-laki sebapak.
Selain harus sederajat, ciri yang lain dari `asabah bil gaer adalah bagian yang laki-laki dua kali lipat dari yang perempuan atau dua berbanding satu (lizzakari mislu haddil unsayain) Dasar hukum dari `asabah bil gaer adalah firman Allah:
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين (النساء: 11)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa apabila anak laki-laki mewarisi bersama anak perempuan, maka bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Karena anak laki-laki menerima bagian sisa maka hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan apabila bersama anak laki-laki juga menerima sisa (`asabah).
Baca juga ayat 176 surat an-Nisa sebagai dasar hukum `asabah bagi saudari ketika mewarisi bersama saudara.

c. `Asabah ma'al gaer (عصبة مع الغير)  yaitu ahli waris perempuan yang dijadikan `asabah oleh orang lain, ahli waris yang menjadikannya sebagai `asabah, bukan `asabah tetapi ahli waris perempuan juga (zawul furud). Ahli waris `asabah jenis ini terbatas hanya saudari sekandung atau saudari sebapak yang mewarisi bersama anak perempuan atau cucu perempuan, yang menjadi `asabah ialah saudari sekandung atau sebapak dan yang menjadikan ia sebagai `asabah ialah anak perempuan atau cucu perempuan. Dalam hal ini anak peremuan atau cucu perempuan menerima bagiannya sebagai ashabul furud sedangkan saudari menerima sisanya. Dasar hukum dari `asabah ma'al gaer ialah hadis dari Ibnu Mas'ud yang menjelaskan pembagian harta warisan yang ahli warisnya itu anak perempuan, cucu perempuan dan saudari perempuan:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي قَيْسٍ عَنِ الْهُزَيْلِ بْنِ شُرَحْبِيلٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي مُوسَى وَسُلَيْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ فَسَأَلَهُمَا عَنْ ابْنَةٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ لِأَبٍ فَقَالَا لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَإِنَّهُ سَيُتَابِعُنَا قَالَ فَأَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ فَسَأَلَهُ وَأَخْبَرَهُ بِمَا قَالَا فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُهْتَدِينَ سَأَقْضِي بِمَا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلِابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ
Dalam hadis di atas disebutkan bahwa bagi satu anak perempuan mendapat setengah, bagi cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam untuk menyempurnakan bagian dua pertiga, dan sisanya untuk saudari perempuan. Oleh karena saudari diberikan bagian sisa, berarti saudari ketika mewarisi dengan anak perempuan atau cucu perempuan berstatus sebagai 'asabah.

 3. Ahli waris zawul arham (ذو الارخام)  yaitu karib kerabat pewaris atau orang yang mempunyai hubungan nasab dengan pewaris yang tidak terrnasuk ashabul furud atau pun `asabah. Di kalangan ulama sunni sendiri diperselisihkan apakah zawul arham berhak mewarisi atau tidak, bagi yang berpendapat bisa mewarisi tetapi mereka sepakat bahwa zawul arham baru menerima warisan setelah tidak ada seorang pun ahli waris dari ashabul furud atau `asabah, selain suami atau isteri (zawul arham bisa mewarisi dengan suami atau isteri).
Adapun ahli waris zawul arham antara lain:
- Keturunan dari anak perempuan
- Keturunan dari cucu perempuan pancar laki-laki
- Ayahnya ibu (kakek dari pihak ibu)
- Keturunan dari semua saudari
- Keturunan dari saudara seibu
- Keturunan yang perempuan dari saudara sekandung dan sebapak
- Paman seibu
- Keturunan yang perempuan dari paman
- Bibi (saudari perempuannya ayah)
- Semua saudara/saudari ibu (khal dan khalah)

B. Menurut ulama Syi'ah
Ulama Syi'ah membagi ahli waris kepada dua kelompok, yaitu Zawul Fara'id atau Zawul Furud dan Zawul Qarabat. Syi'ah menolak adanya ahli waris `asabah yang dikemukakan oleh ulama sunni, dengan alasan karena hadis yang rnenjadi landasannya da'if.
Pengertian ahli waris Zawul Fara'id menurut Syi'ah, sama seperti yang dikemukakan sunni, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu. Adapun ahli waris Zawul Qarabat adalah ahli waris selain zawul fara'id dengan tidak membedakan dari garis laki-laki atau perempuan. Selanjutnya Syi'ah membagi ahli waris baik dari zawul furud maupun zawul qarabat dalam tiga martabat atau garis keutamaan, yaitu:

Martabat pertama    : ibu, bapak, dan anak-anak terus ke bawah
Martabat kedua       : saudara laki-laki dan saudari perempuan terus ke bawah (keturunannya),  kakek dan nenek baik dari garis ibu atau pun dari garis ayah terus ke atas (orang tuanya kakek dan nenek)
Martabat ketiga       : paman dan bibi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu serta anak-anak mereka.
Setiap ahli waris dalam martabat pertama, siapa pun ia dapat menutup semua ahli waris martabat kedua dan ketiga, demikian juga ahli waris martabat kedua dapat menutup semua ahli waris martabat ketiga. Dengan demikian ahli waris martabat kedua baru dapat mewarisi apabila sudah tidak ada ahli waris martabat pertama, dan ahli waris martabat ketiga baru dapat mewarisi apabila ahli waris mertabat pertama dan kedua tidak ada. Dalam setip martabat, ahli aris yang lebih dekat kepada pearis baik laki-laki ataupun perempuan dapat menutup/menghijab ahli waris yang lebih jauh. Sebagai contoh: Ahli warisnya: ibu, anak perempuan dan cucu laki-laki dari anak laki-laki. Mereka ini semuanya ahli waris martabat pertama, tetapi yang berhak mendapat warisan hanya ibu dan anak perempuan, sedangkan cucu laki-laki mahjub oleh anak perempuan, karena anak lebih dekat dari pada cucu. Demikian juga  dalam martabat kedua, selagi ada saudara/saudari, maka anaknya saudara/saudari mahjub oleh saudara/saudari.

C. Menurut Hazairin
Hazairin membagi ahli waris ke dalam tiga kelompok, yaitu Zawul Fara'id, Zawul Qarabat,         dan Mawali.
Mengenai ahli waris zawul fara'id, tidak berbeda dengan pendapatnya Sunni maupun Syi'i, yaitu ahli waris yang mempunyai bagian tertentu dan dalam keadaan tertentu.
Ahli waris zawul qarabat, yaitu ahli waris yang tidak termasuk zawul furud, atau ahli waris yang mendapat bagian yang tidak tertentu jumlahnya, atau memperoleh bagian sisa.
Ahli waris mawali ialah ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan, karena orang yang digantikan itu telah meninggal lebih dahulu sebelum pewaris meninggal. Adapun yang menjadi mawali yaitu: keturunan anak pewaris (cucu dan seterusnya ke bawah); keturunan saudara pewaris, keturunan paman pewaris, keturunan orang yang mengadakan perjanjian mewaris.
Mawali dalam konsep Hazairin sama dengan ahli waris pengganti dalam hukum perdata Barat (BW) dan hukum adat.
Dari tiga kelompok ahli waris di atas, Hazairin lebih lanjut membagi para ahli waris berdasar kelompok keutamaannya ke dalam empat (4) kelompok. Selama kelompok keutamaan pertama ada maka kelompok keutamaan kedua, ketiga, dan keempat tidak berhak mendapat warisan. Dengan demikian kelampok keutamaan kedua baru berhak mendapat warisan apabila kelampok keutamaan pertama sudah tidak ada, demikian seterusnya. Empat kelompok keutamaan tersebut yaitu:
Keutamaan pertama:
1. Anak-anak: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-furud atau sebagai zawu al-­qarabat, beserta mawali bagi mendiang anak laki-laki dan perempuan.
2.  Orang tua (ayah dan ibu) sebagai zawu al-faraid
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid.
Keutamaan kedua:
1.  Saudara: laki-laki dan perempuan, sebagai zawu al-faraid maupun sebagai zawu al-qarabat, beserta mawali bagi mendiang saudara/saudari
2. Ibu sebagai zawu al-faraid
3. Ayah sebagai zawu al-qarabat
4. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan ketiga:
1. Ibu sebagai zawu al-faraid
2. Ayah sebagai zawu al-qarabat
3. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid

Keutamaan keempat:
1. Janda atau duda sebagai zawu al-faraid
2. Mawali untuk ibu
3. Mawali untuk ayah


Cara Menghitung

0leh karena bagian para ahli waris itu berupa angka pecahan maka untuk menghitung berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan, ulama mawaris  membuat cara penghitungannya dengan memakai sistim Asal Masalah (اصل المسألة) atau KPT yaitu dengan mencari dahulu angka yang terkecil yang dapat dibagi habis oleh semua pecahan yang merupakan bagian para ahli waris. Sebagai contoh apabila ahli warisnya: seorang anak perempuan yang bagiannya 1/2, ibu bagiannya 1/6, isteri bagiannya 1/8, dan saudara sekandung yang bagiannya `asabah, maka Asal Masalahnya adalah 24, karena angka 24 adalah angka yang terkecil yang dapat dibagi habis oleh 1/2, 1/6 dan 1/8. Setelah diketahui berapa asal masalahnya selanjutnya dicari berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari asal masalah, dengan cara mengkalikan pecahan yang merupakan bagian ahli waris kepada asal masalah. Setelah itu kemudian dihitung berapa penerimaan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan dengan cara mengkalikan bagian ahli waris dari asal masalah kepada jumlah harta peninggalan kemudian dibagi oleh asaI masalah. Atau bisa juga dicari dahulu nilai 1 bagian dari harta peninggalan, dengan cara harta peninggalan dibagi oleh asal masalah, maka ketemulah nilai 1 bagian.





Contoh cara menghitung

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 720.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 24 = 12
12 x $720.000 : 24= $360.000
2. Ibu
1/6
1/6 x 24 =   4
  4 x $720.000 : 24=  $120.000
3. Isteri
1/8
1/8 x 24 =   3
  3 x $720.000 : 24=  $  90.000
4. Seorang sdr. skdg
'asabah
24 – 19  =   5 +
  5 x $720.000 : 24=  $150.000 +


                   24
                                  $720.000

Penyelesaian di atas menurut Sunni

Perhitungan di atas bisa juga diselesaikan dengan cara mencari dahulu nilai 1 bagian, maka penyelesaiannnya sebagai berikut :


Ahli Waris      
Bagiannya
Dari Asal Masalah 24 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 720.000 penerimaannya


Nilai 1 bagian = $720.000 : 24 = $ 30.000
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 24 = 12
12 x $30.000 =  $360.000
2. Ibu
1/6
1/6 x 24 =   4
  4 x $30.000 =  $120.000
3. Isteri
1/8
1/8 x 24 =   3
  3 x $30.000 =  $  90.000
4.Seorang sdr. skdg
'asabah
24 – 19  =   5 +
  5 x $20.000 =  $150.000 +


                   24
                         $720.000


Contoh penyelesaian menurut Sunni, Syi'I, dan Hazairin.
Ahli warisnya: Seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, paman sekandung. Harta peninggalannya senilai Rp. 60.000.000,-

Menurut Sunni:

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 720.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 6 = 3
3 x Rp. 60.000.000 : 6= 30.000.000
2. Seorang cucu prp dari anak laki-laki
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 60.000.000 : 6= 10.000.000
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 60.000.000 : 6= 10.000.000
4. Seorang Paman sekandung
'asabah
6 – 5   =   1 +
1 x Rp. 60.000.000 : 6= 10.000.000 +


                6
                                Rp. 60.000.000

Menurut Syi'ah

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 720.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
1/2
1/2 x 6 = 3
3 x Rp. 60.000.000 : 4= 45.000.000
2. Seorang cucu prp dari anak laki-laki
Mahjub
-
-
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 60.000.000 : 4= 15.000.000 +
4. Seorang Paman sekandung
Mahjub
-



                4
                                Rp. 60.000.000
Perhitungan di atas disebut radd, mengembalikan sisa kepada ahli waris yang berhak menerima radd. Oleh karena anak prp dn ibu berhak menerima radd, maka asal masalah semula 6 diturunkan menjadi 4.

Menurut Hazairin

Ahli Waris      
Bagian-nya
Dari Asal Masalah 6 penerimaannya
Dari Harta Peninggalan
 $ 720.000 penerimaannya
1. Seorang Anak prp
Zawul qarabah
(menda-pat sisa)
1 bagian dari sisa
1 x Rp. 50.000.000 : 3= 16.666.667
2. Seorang cucu prp dari anak laki-laki
2 bagian dari sisa
2 x Rp. 50.000.000 : 3= 33.333.333
3. Ibu
1/6
1/6 x 6 = 1
1 x Rp. 60.000.000 : 6= 10.000.000
4. Seorang Paman sekandung
mahjub
-



               
                                Rp. 60.000.000

Penjelasan:
-        Cucu perempuan dari anak laki-laki sebagai mawali dari anak laki-laki (ayahnya), ia mendapat bagian ahli aris yang digantikannya (anak laki-laki). Dengan demikian anak perempuan dan anak laki-laki sebagai zawul qarabah menerima sisa setekah diambilbagiannya ibu 1 bagian (Rp. 10.000.000), kemudian diabagi antara anak laki-laki dan anak perempuan dengan pembagian  untuk 1 anak laki-laki 2 bagian, dan untuk 1 anak perempuan 1 bagian.
-        Ibu  sebagai ahli waris dari kelompok keutamaan pertama sebagai zawul furud mendapat 1/6 bagian
-        Paman mahjub karena ia dari kelompok keutamaan keempat sebagai mawali bagi ayah.



Beberapa istilah yang perlu diketahui:
- Kasrun (كـثر) adalah bilangan pecahan, seperti 2/3, 1/3, 1/6, 1/8 dll.
- Bastun (بسط) yaitu angka yang atas dalam satu bilangan pecahan, angka 2 dalam pecahan 2/3
- Maqam (مقام) yaitu angka yang bawah dalam satu bilangan pecahan, angka 3 dalam pecahan 2/3.


AHLI WARIS DAN BAGIANNYA

I.      Ahli Waris Sababiyah (Suami dan Isteri)
Kewarisan suami dari isterinya yang meninggal dan kewarisan isteri dari suaminya yang meninggal diatur dalam surat an-Nisa' ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ  فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ....
Berdasarkan ayat di atas  dapat diketahui bahwa kewarisan suami dan isteri sudah ditentukan bagiannya, oleh karenanya suami maupun isteri adalah ahli waris zawu al-furud/ashab al-furud. Dapat diketahui pula bahwa  suami maupun  isteri masing-masing mempunyai dua (2) macam bagian.

Bagian Suami:
1. an-Nisfu (1/2 bagian)  apabila pewaris/isterinya yang mati tidak mempunyai walad
2. ar-Rubu' (1/4 bagian) apabila pewaris/isterinya yang mati mempunyai walad

Bagian Isteri
1. ar-Rubu' (1/4 bag.)  apabila pewaris/suaminya yang mati tidak mempunyai walad
2. as-Sumun (1/8 bag.) apabila pewaris/suaminya yang mati mempunyai walad
Bagian isteri 1/4 atau 1/8 tersebut untuk satu orang isteri atau beberapa orang isteri.

Para ulama sepakat bahwa bagian suami maupun  isteri adalah seperti disebutkan di atas. Tetapi para ulama berda pendapat mengenai pengertian walad.
Menurut ulama sunni, walad adalah  keturunan pewaris yang  berstatus sebagai ahli  waris (far'un waris),  yaitu: pertama, anak pewaris (anak laki-laki atau anak perempuan), kedua, keturunan selanjutnya dari anak tetapi hanya keturunan dari anak laki-lakinya atau cucu dari anak laki-lakinya pewaris (ibn-ibnin atau bint ibnin), atau buyut dari cucu laki-laki dari anak laki-lakinya pewaris (ibnu ibni ibnin, bintu ibni-ibnin) dst ke bawah, asal ke atas sampai kepada pewaris selalu dihubungkan oleh laki-laki. Dengan demikian pengertian walad itu tidak mencakup cucu dari anak perempuan atau buyut dari cucu perempuan, karena mereka ini sebagai far'un gaeru waris/keturunan  yang tidak termasuk ahli waris, karena statusnya sebagai zawu al-arham.
Menurut ulama Syi'ah, kata walad itu adalah keturunan pewris secara mutlak, baik anak atau cucu dst ke bawah, dengan tidak dibedakan apakah cucu tersebut dari anak laki-laki atau dari anak perempuan (Hazairin dalam hal ini sependapat dengan Syi'ah).
Perbedaan dalam mengartikan walad akan membawa konsekwensi kepada besarnya penerimaan suami atau isteri. Menurut Sunni kalau suami atau isteri mewarisi dengan cucu atau buyut pewaris yang berstatus sebagai far'un gaeru waris/zawu al-arham maka suami mendapat 1/2 bagian dan isteri mendapat 1/4 bagian. Sedangkan menurut selain Sunni, suami atau isteri mendapat bagian yang terkecil, karena ia mewarisi dengan walad atau keturunan pewaris. Jadi suami mendapat 1/4 bagian dan isteri mendapat 1/8 bagian.
Suami atau pun isteri tidak pernah terhijab hirman, artinya mewarisi dengan siapapun akan selalu mendapat bagian, hanya saja  seperti dijelaskan di atas keduanya terhijab nuqsan oleh keturunan pewaris. Dalam pada itu suami dan isteri tidak dapat menghijab siapapun.

Contoh 1
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Anak perempuan
1/2 + Radd
1/2 + Radd
1/2 + Radd
Suami
1/4
 1/4 + Radd
 1/4 + Radd
Contoh 2
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Anak laki-laki
'asabah
Qarabah
Qarabah
Isteri
1/8
1/8
1/8
Keterangan:
Dalam dua contoh di atas tidak ada perbedaan pendapat mengenai bagian suami dan bagian isteri, karena suami maupun isteri mewarisi bersama dengan anak pewaris, sehingga kepada suami atau isteri diberikan bagian yang terkecil.

Contoh 3
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu prp. dari anak lk-lk (bint ibnin)
1/2 + Radd
1/2 + Radd
1/2 + Radd
Suami
1/4
1/4 + Radd
1/4 + Radd

Contoh 4
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu lk-lk dari anak lk-lk (ibn ibnin)
'asabah
Qarabah
Qarabah
Isteri
1/8
1/8
1/8

Keterangan:
Dalam contoh 3 dan 4 di atas juga tidak ada perbedaan pendapat mengenai bagian suami dan bagian isteri, karena menurut Sunni cucu di atas adalah termasuk far'un waris, sehingga menghijab nuqsan  suami dari 1/2 menjadi 1/4 dan menghijab nuqsan isteri dari 1/4 menjadi 1/8.

Contoh 5
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu lk-lk dari anak prp (ibn bintin)
Mahjub/zawul arham
Menggantikan anak prp =1/2 + Radd
Menggantikan anak prp =1/2 + Radd
Ibu
1/3
1/6 + Radd
1/6 + Radd
Suami
1/2
       1/4
       1/4 + Radd
Dalam contoh 5 di atas, menurut Sunni, suami mendapat 1/2 bagian, demikian juga ibu mendapat 1/3 bagian, karena cucu laki-laki dari anak perempuan sebagai zawu al-arham dan tidak bisa menghijab nuqsan suami maupun ibu. Dengan kata lain  pewaris dipandang tidak meninggalkan keturunan. Sementara menurut Syi'ah dan Hazairin, kepada suami diberikan 1/4 bagian karena pewaris meninggalkan keturunan.


II.      Ahli Waris Nasabiah
A.  Anak-anak/keturunan Pewaris/جهة البنوة/فروع الميت
Kewarisan anak-anak atau keturunan pewaris diatur dalam surat an-Nisa' ayat 11

يُوصِيكُمُ الله فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ اْلأُ نْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ...
Ayat di atas mengatur kewarisan anak-anak pewaris, yaitu anak laki-laki bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan saja tidak bersama dengan anak laki-laki.
Menurut Sunni, dasar hukum kewarisan anak laki-laki selain berdasarkan ayat 11 surat an-Nisa' juga didasarkan kepada sabda nabi saw.
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخارى عن ابن عباس)
1. Anak laki-laki (ابن)
a. Anak laki-laki adalah ahli waris 'asabah. Sebagai ahli waris 'asabah anak laki-laki menerima sisa setelah diambil bagiannya ahli waris yang lain. Apabila tidak ada ahli waris yang lain (atau ada ahli  waris lain tetapi mahjub oleh anak laki-laki) maka anak laki-laki mengambil semua harta warisan, kalau anak laki-laki lebih dari seorang dibagi rata di antara mereka.
b. Apabila anak laki-laki bersama anak perempuan, maka anak perempuan ditarik oleh anak laki-laki untuk mewarisi secara 'asabah bi al-gaer dengan perbandingan penerimaan, bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan (lizzakari mislu haddil unsayain).

2. Anak perempuan (بنت)
a. Anak perempuan apabila bersama dengan anak laki-laki, mewarisi secara 'asabah bi al-gaer, bagian satu anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan (lizzakari mislu haddil unsayain).
b. Apabila anak perempuan tidak bersama dengan anak laki:
1). Dua orang anak perempuan atau lebih mendapat 2/3 bagian, kemudian dibagi rata di antara mereka
2). Seorang anak perempuan mendapat 1/2 bagian.

Bagian anak-anak pewaris seperti dijelaskan di atas disepakati oleh semua ulama, hanya istilahnya saja yang berbeda. Menurut Syi'ah dan Hazairin, anak laki-laki sebagai ahli waris qarabah.
Dalam pada itu para ulama berbeda pendapat mengenai siapa saja ahli waris yang dapat mewarisi dengan anak-anak pewaris dan siapa pula yang terhijab oleh anak-anak pewaris.

Menurut Sunni:
Anak laki-laki menghijab: cucu, buyut dst ke bawah, saudara/saudari dan anak-anaknya, paman/bibi dan anak-anaknya. Adapun ahli waris yang tidak terhijab ialah: anak perempuan, ayah, ibu, kakek, nenek, dan suami atau isteri
Anak perempuan menghijab: saudara/saudari seibu. Apabila anak perempuan itu dua orang atau lebih dapat menghijab cucu perempuan (kecuali kalau ada cucu laki-laki).
Anak laki-laki dan anak perempuan tidak pernah terhijab oleh siapapun.

Menurut Syi'ah
Anak laki-laki maupun anak perempuan menghijab: cucu, kakek, nenek, saudara dan keturunannya, paman/bibi dan keturunannya.
Anak laki-laki dan anak perempuan tidak pernah terhijab oleh siapapun.

Menurut Hazairin
Anak laki-laki maupun anak perempuan menghijab: kakek, nenek, saudara dan keturunannya, paman/bibi dan keturunannya.
Anak laki-laki dan anak perempuan tidak pernah terhijab oleh siapapun.

Tabel Ahli Waris yang Ter-hijab Oleh Anak Laki-laki dan Anak Perempuan

Mazhab
Ahli Waris yang Terhijab Oleh Anak Prp
Ahli Waris yg Terhijab Oleh Anak Laki-2
Sunni
sdra/sdri seibu
cucu prp*
-
-
cucu
Sdra/sdri
paman dan bibi
-
Syi'ah
cucu
kakek  dan nenek
sdra/sdri
paman dan bibi
cucu
kakek dan nenek
sdra/sdri
paman dan bibi
Hazairin
kakek dan nenek
Sdra/sdri
paman dan bibi
-
kakek dan nenek
sdra/sdri
paman dan bibi
-

*) Menurut Sunni dua (2) orang anak perempuan dapat menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki kecuali apabila apabila ada cucu laki-laki

Contoh 1
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu prp. dari anak prp (bint bintin)
Mahjub/zawu al-arham
Mahjub oleh anak perempuan
Menggantikan tempat anak prp = 2/3 bersama anak prp yang lain + Radd
Suami
1/4
1/4
1/4 + Radd
2 orang anak prp.
2/3
2/3 + Radd
2/3 bersama anak prp (ibunya cucu) + Radd

Keterangan:
-  Menurut Sunni, cucu prp. dari anak perempuan adalah zawu al-arham, maka dengan sendirinya mahjub  
- Di kalangan Syi'ah apakah suami mendapat radd atau tidak, ada dua pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan
- Menurut Hazairin cucu perempuan dari anak perempuan menggantikan ibunya yaitu anak perempuan. Oleh karena ada dua anak perempuan yang lain, berarti ada 3 anak perempuan, bagian tiga anak perempuan 2/3, lalu dibagi rata di antara 3 anak perempuan. Bagian untuk ibunya cucu perempuan diambil oleh cucu perempuan

Contoh 2
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Nenek dari ibu
1/6
Mahjub oleh anak laki-laki
Mahjub oleh anak laki-laki
3 anak laki-laki
'asabah
qarabah
qarabah

3. Cucu laki-laki/ ابن ابن
Menurut Sunni sebagaimana dijelaskan di atas bahwa cucu laki-laki yang berstatus sebagai ahli waris adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnu-ibnin) atau buyut laki-laki-laki dari cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibnu-ibni-ibnin). Cucu laki-laki atau buyut laki-laki ini sebagai ahli waris 'asabah. Hanya saja cucu laki-laki baru tampil, apabila tidak ada anak laki-laki dan buyut laki-laki baru tampil apabila tidak ada cucu laki-laki.
Dasar hukum dari cucu laki-laki (ibn-ibnin) adalah surat an-Nisa' ayat 11 dengan pemahaman bahwa kata walad  selain berarti anak, juga berarti cucu dari anak laki-laki. Di samping itu cucu laki-laki juga termasuk ahli waris aula rajulin zakarin sebagaimana dalam hadis:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخارى عن ابن عباس)
Bagiannya:
a.      Cucu laki-laki atau buyut laki-laki sebagai 'asabah mendapat semua harta warisan apabila tidak ada ahli waris yang lain (ada ahli waris yang lain tetapi mahjub oleh cucu/buyut). Apabila ahli waris yang lain tidak mahjub, cucu atau buyut menerima sisa, apabila cucu/buyut lebih dari seorang, mereka membagi sama.
b.      Apabila cucu laki-laki bersama dengan cucu perempuan dari anak laki-laki (bintu-ibnin), atau buyut laki-laki bersama dengan buyut perempuan, mereka mewarisi secara 'asabah bi al-gaer, dengan perbandingan 2 : 1

4. Cucu Perempuan dari Anak Laki-laki /بنت ابن
Menurut Sunni, cucu perempuan dari anak laki-laki (bintu-ibnin) atau buyut perempuan dari cucu laki-laki-laki dari anak laki-laki (bintu-ibni-ibnin) sebagai ahli waris zawu al- furud, bagiannya seperti bagian anak perempuan:
a.      Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau buyut perempuan dengan buyut laki-laki, mereka sebagai 'asabah bi al-gaer, dengan perbandingan 2 : 1
b.      Apabila cucu perempuan tidak bersama dengan cucu laki-laki/atau buyut perempuan tidak berama dengan buyut laki-laki:
1)      Dua orang cucu perempuan atau lebih = 2/3 bagian (demikian juga dua orang buyut perempuan atau lebih = 2/3 bagian), lalu dibagi rata di antara mereka
2)      Seorang cucu perempuan = 1/2 bagian (demikian juga seorang buyut perempuan 1/2 bagian).
3)      Seorang atau beberapa orang cucu perempuan mendapat 1/6 apabila mewarisi dengan seorang anak perempuan, kecuali apabila ada cucu laki-laki maka cucu perempuan ditarik mewarisi secara 'asabah bi al-gaer.
Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki. Sementara cucu laki-laki dapat menghijab: buyut laki-laki dst ke bawah, saudara/saudari dan keturunannya, paman dan bibi dengan keturunannya.

Menurut Syi'ah
Menurut Syi'ah, cucu laki-laki atau cucu perempuan dalam mewarisi diberi bagian orang tuanya, kalau cucu atau buyut itu dari anak perempuannya pewaris, ia diberi bagian sebesar bagian anak perempuan. Apabila cucu itu dari anak laki-lakinya pewaris, ia diberi bagian sebesar bagian anak laki-laki. Hanya saja cucu baru tampil mewarisi apabila tidak ada anak (baik anak laki-laki maupun anak perempuan), karena cucu terhijab oleh anak dan buyut terhijab oleh cucu. Sementara kalau ada cucu, baik laki-laki maupun perempuan ahli waris yang terhijab ialah: buyut dst ke bawah,  kakek, nenek, saudara/saudari dan keturunannya, paman/bibi dan keturunannya.

Menurut Hazairin
Cucu, dst ke bawah adalah ahli waris pengganti, ia akan menggantikan posisi orang tuanya dan mendapat warisan sebesar bagian orang tuanya tersebut. Demikian halnya dengan buyut dst ke bawah, ia dinaikan setingkat demi setingkat sampai pada   tempat anak.
Cucu tidak pernah terhijab oleh siapapun, sementara kalau ada cucu ahli aris yang terhijab ialah: kakek, nenek, saudara/saudari dan keturunannya, paman/bibi dan keturunannya.

Hijab dan Mahjub
Untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang terhijab oleh cucu laki-laki atau oleh cucu perempuan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini

Tabel Ahli Waris yang Ter-hijab Oleh Cucu Laki-laki dan Cucu Perempuan
Mazhab
Ahli Waris yang Terhijab
oleh cucu laki-laki dari anak laki-laki
Ahli Waris yg Terhijab
oleh cucu perempuan dari anak laki-laki
Sunni
buyut
sdra/sdri
paman dan bibi
-
Sdra/sdri seibu
Buyut prp*)
-
-
Syi'ah
buyut
kakek  dan nenek
Sdra/sdri
Paman dan bibi
buyut
kakek dan nenek
sdra/sdri
paman dan bibi
Hazairin
kakek dan nenek
Sdra/sdri
paman dan bibi
-
kakek dan nenek
sdra/sdri
paman dan bibi
-
*) Menurut Sunni dua (2) orang cucu perempuan atau lebih dapat menghijab buyut perempuan kecuali apabila apabila ada buyut laki-laki
Contoh 1
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu prp. dari anak prp (bint bintin)
Mahjub/zawu al-arham
Mahjub oleh anak perempuan
Menggantikan tempat ibu-nya (anak prp) = 2/3 ber-sama anak prp + Radd
Suami
1/4
1/4
1/4 + Radd
2 orang anak prp.
2/3
2/3 + Radd
2/3 bersama cucu + Radd
Contoh 2
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu prp. dari anak laki-2 (bint ibnin)
'asb bi al-gaer (1)
Mahjub oleh anak perempuan
Menggantikan tempat ayahnya (anak lk-lk)= qarabah
Cucu lk-lk dari anak lk-lk (ibn-ibnin)
'asb bi al-gaer (2)
Mahjub oleh anak perempuan
Menggantikan tempat ayahnya (anak lk-lk) = qarabah
Suami
1/4
1/4
1/4
1 orang anak prp.
1/2
1/2 + Radd
Qarabah dengan anak lk-lk

Contoh 3
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
1 anak prp
1/2
1/2 + radd
Qarabah dengan anak lk-lk (1)
Ibu
1/6
1/6 + Radd
1/6
Ayah
1/6 + 'asb
1/6 = Radd
1/6
2 cucu prp dari anak lk-lk
1/6
Mahjub oleh anak prp
Qarabah dengan anak prp (2)

Contoh 4
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu laki-laki
Mahjub oleh anak laki-laki
Mahjub oleh anak laki-laki
Menggantikan ayahnya = Qarabah dengan anak lk-lk (1)
Ibu
1/6
1/6
1/6
Kakek
1/6
Mahjub oleh anak laki-laki dan cucu
Mahjub oleh anak laki-laki dan cucu
Anak laki-laki
'asabah
qarabah
Qarabah dengan ayahnya cucu laki-laki (1)


B. Orang Tua Pewaris/جهة الابوة/أصول الميت
Kewarisan orang tua pewaris atau leluhur pewaris diatur dalam surat an- Nisa' ayat 11:

....  وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
Ayat di atas mengatur kewarisan ayah dan ibu ketika bersama dengan anak/keturunan  pewaris, maupun ketika tidak bersama dengan keturunan pewaris.

1.Ayah  (أب)
Menurut Sunni, bagian ayah ada tiga (3) macam:
a.      1/6 apabila bersama anak laki-laki/keturunan pewaris yang laki-laki. (ayah sebagai zawu al-furud, anak laki-laki sebagai 'asabah).
b.      1/6 dan 'asabah, apabila bersama anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki (kalau ada sisa setelah dibagikan kepada ashabul furud, termasuk kepada ayah, maka sisanya diambil oleh ayah sebagai 'asabah)
c.       'asabah, apabila tidak bersama dengan anak/keturunan pewaris.
Untuk butir b dan c menurut Sunni selain didasarkan kepada ayat 11 suat an-Nisa' juga karena ayah termasuk aula rajulin zakarin, didasarkan kepada hadis Nabi:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخارى عن ابن عباس)
Menurut Syi'ah dan Hazairin, bagian ayah itu hanya dua (2) macam, yaitu :

a.      1/6 yaitu ketika ayah mewarisi dengan keturunan pewaris, baik laki-laki atau perempuan.
b.      Qarabah, ketika tidak bersama dengan keturunan.

2. Ibu  (أم)
Menurut Sunni bagian ibu ada tiga (3) macam, yaitu:
a.      1/6 apabila bersama dengan  keturunan pewaris, atau bersama dua (2) orang saudara/saudari atau lebih (menurut Syi'ah saudara yang dapat menghijab nuqsan ibu dari 1/3 menjadi 1/6 ialah: minimal 2 orang saudara laki-laki atau 1 saudara laki-laki dan 2 orang saudari perempuan atau 4 orang sdri perempuan)
b.      1/3, apabila tidak bersama dengan keturunan pewaris atau tidak bersama dengan dua (2) orang saudara/saudari atau lebih
c.       1/3 sisa  (الثلث الباقى), yaitu  ketika  mewarisi dengan ayah dan salah seorang isteri atau suami. Ibu menerima 1/3 sisa setelah diambil bagiannya suami atau isteri. Pendapat ini berasal dari Umar bin Khattab,  dengan pemahaman bahwa ketika pewaris tidak mempunyai keturunan, ibu mendapat 1/3 dan ayah sebagai 'asabah mendapat sisanya, yaitu 2/3, sehingga ketika tidak ada keturunan bisa dijadikan qaidah bahwa bagian ayah dan ibu 2 : 1. Apabila ahli warisnya terdiri dari suami atau isteri, ibu, dan ayah, qaidah 2 : 1 ini  hanya dapat dipertahankan dengan cara kepada ibu diberikan 1/3 sisa bukan 1/3 utuh (kasus ini dikenal lebih lanjut dikenal dengan al-Garawain atau Umariyatain).

Ayah dan ibu tidak pernah terhijab. 

Menurut Syi'ah dan Hazairin, bagian ibu itu hanya dua macam yaitu:
a.      1/6 ketika mewarisi dengan keturunan pewris atau ketika bersama dengan 2 orang sudara atau lebih
b.      1/3 ketika tidak bersama keturunan atau tidak bersama dengan 2 orang saudara.

Hajib dan Mahjub

Untuk mengetahui siapa saja ahli waris yang terhijab oleh ayah dan oleh ibu menurut Sunni, Syi'ah, dan Hazairin, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
Tabel Ahli Waris yang Ter-hijab Oleh Ayah dan Ibu

Mazhab
Ahli Waris yang Terhijab oleh Ayah
Ahli Waris yang Terhijab oleh Ibu
Sunni
kakek  dan nenek dari ayah
sdra/sdri

Paman dan
bibi

Nenek (dari pihak ibu dan  ayah)
-
-
Syi'ah
Semua kakek  dan nenek
Sdra/sdri

Paman dan bibi

kakek  dan nenek
Sdra/sdri

Paman dan bibi

Hazairin
Semua kakek  dan nenek
Paman dan bibi

-
kakek  dan nenek
paman dan bibi


Contoh 1
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Cucu lk-lk. dari anak lk-lk (ibn- ibnin)
'asb
Mahjub oleh anak perempuan
Menggantikan anak lk-lk = qarabah dg anak perempuan
1 anak perempuan
1/2
       1/2 + Radd
Qarabah dg anak laki-laki
Ibu
1/6
1/6 + Radd
1/6
Ayah
1/6
1/6 + Radd
1/6

Contoh 2
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
2 anak perempuan
2/3
2/3 + Radd
2/3 + Radd
Isteri
1/8
1/8
1/8
Ayah
1/6 + 'asabah
1/6 + Radd
1/6 + Radd

Contoh 3
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
Nenek dari ibu (ummul-um)
1/6
Mahjub oleh ayah
Mahjub oleh ayah
Isteri
1/4
1/4
1/4
Ayah
'asabah
qarabah
qarabah     

Contoh 4
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah
Menurut Hazairin
1 cucu lk-lk dari anak prp (ibn-bintin)
Mahjub/zawu al-arham
Menggantikan anak prp= 1/2 + Radd
Menggantikan anak prp= 1/2 + Radd
Ibu
1/3
1/6 + Radd
1/6 + Radd
Ayah
'asabah
1/6 + Radd
1/6 + Radd

Contoh 5
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah dan Hazairin
Isteri
1/4
1/4 x 12      = 3
3 x 6 ha: 12= 1,5 ha
1/4
1/4 x 12 = 3
3x6 ha:12= 1,5
Ibu
1/3 sisa
1/3 x (12-3)= 3
3 x 6 ha: 12= 1,5 ha
1/3
1/3 x 12 = 4
4x6 ha:12= 2
Ayah
'asabah
12 – 6         = 6
6 x 6 ha: 12= 1,5 ha
 qrb
12 – 7    =  5
5x6 ha:12= 2,5

Contoh 6
Ahli waris
Bagian/Fardnya
Menurut Sunni
Menurut Syi'ah dan Hazairin
Suami
1/2
1/2 x 6      = 3
3 x 6 ha: 6= 3 ha
1/2
1/2 x 6= 3
3x6 ha: 6= 3 ha
Ibu
1/3 sisa
1/3 x (6-3)= 1
1x 6 ha: 6 = 1 ha
1/3
1/3 x 6= 2
2x6 ha: 6= 2 ha
Ayah
'asabah
6 – 4         = 2
2x 6 ha: 6 = 2 ha
 qrb
6 – 5   = 1
1x6 ha: 6= 1 ha

Keterangan: Contoh 5 dan 6 di atas adalah masalah Garawain, menurut Sunni kepada ibu diberikan 1/3 sisa bukan 1/3 penuh, hal ini agar ayah sebagai 'asabah mendapat dua kali lipat dari ibu. Sedangkan menurut Syi'ah dan Hazairin kepada ibu diberikan 1/3 utuh, ayah sebagai qarabah mendapat sisa, sekalipun penerimaan ayah tidak  dua kali lipatnya ibu. Sisa itu adakalanya bear atau kecil, bahkan mungkin tidak ada lagi. Tidak boleh direkasaya agar ayah mendapat dua kali lipat dari ibu, karena bertentangan dengan ketentuan nas.

3 Kakek (الجد)
Dalam kewarisan Sunni, kakek itu ada dua macam: kakek sahih (الجد الصحيح) dan  kakek gaer sahih (الجد غير الصحيح) atau disebut juga kakek fasid. Kakek sahih berstatus sebagai zawu al-furud atau 'asabah, sedangkan kakek fasid berstatus sebagai zawu al-arham. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kakek sebagai ahli waris dalam pandangan Sunni ialah kakek sahih
Kakek sahih yaitu kakek yang dalam hubungan nasabnya dengan si mati (pewaris) dihubungkan oleh laki-laki, betapapun sudah jauhnya ke atas dari pewaris asal penghubungnya laki-laki tanpa diselingi perempuan, maka ia statusnya sebagai kakek sahih, seperti أب أب أب الاب, أب أب الاب,  أب الاب        Menurut asy-Syaikh Muhammad Abd. Rahim al-Kisyka, kakek sahih yaitu:
هو الذى يمكن نسته الى الميت بدون أن تدخل ينه وبين الميت أنثى كأبى الاب
Adapun kakek gaer sahih yaitu:                                                                                     
 هو الذى دخلت فى نسبته الى الميت أنثى كأبى الام, أبى أم الاب        
Dasar hukum kakek sahih ialah surat an-Nisa' ayat 11 yang merupakan dasar hukum ayah, dengan pemahaman bahwa kata ab/أب, selain bermakna ayah juga bermakna ayahnya ayah dst ke atas, karena dalam ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis banyak disebutkan ab, tetapi yang dimaksud adalah ayahnya ayah, seperti dalam surat 38 surat Yusuf:
واتبعت ملّة أبائ إبراهيم وإسحاق ويعقوب 
Dalam ayat di atas Nabi Yusuf menyebut Ishaq dan Ibrahim sebagai bapaknya, padahal Ishaq itu kakeknya, sedangkan Ibrahim kakek buyutnya.
Selain itu berdasarkan sabda Nabi saw.:
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (رواه البخارى عن ابن عباس)
Kakek adalah termasuk ahli waris laki-laki yang aula sehingga kakek juga sebagai ahli waris 'asabah
Menurut Sunni, kakek dapat menduduki status ayah dan menerima bagian seperti bagiannya ayah kalau ayah sudah tidak ada. Dengan demikian bagian kakek seperti bagiannya ayah, yaitu ada tiga (3) macam:
a. 1/6 apabila bersama anak laki-laki/keturunan pewaris yang laki-laki. (kakek sebagai zawu al-furud, anak laki-laki sebagai 'asabah).
b. 1/6 dan 'asabah, apabila bersama anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki (kalau ada sisa setelah dibagikan kepada ashabul furud, termasuk kepada kakek, maka sisanya diambil oleh kakek sebagai 'asabah)
c. 'asabah, apabila tidak bersama dengan anak/keturunan pewaris.
Dalam pada itu di kalangan ulama Sunni teradapat perbedaan apabila kakek mewarisi dengan saudara/saudari. Menurut sahabat Abu Bakar, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hanifah, dll. bahwa kakek sama persis dengan ayah baik dalam menerima bagian maupun dalam menghijab saudara/saudari. Oleh karena ayah dapat mengijab semua saudara/saudarai maka kakek juga dapat mengijab semua saudara/saudari.
Menurut sahabat Ali bin Abi Talib, Zaid bin Sabit, Ibnu Mas'ud, Malikiah, Syafi'iyah, Hanbaliah dll.  Bahwa kakek hanya dapat menghijab saudara/saudari seibu, sebagaimana ayah menghijab mereka, tetapi tidak menghijab saudara/saudari sekandung dan seayah, karena statusnya dipandang setara dengan saudara-suadara tersebut. Oleh karena itu apabila kakek mearisi dengan saudara/ saudari sekandung atau seayah, mereka mewarisi secara bersama-sama (muqasamah). Bagaimana caranya muqasamah tersebut? Ada tiga (3) pendapat di kalangan ulama Sunni, yaitu tariqah/metodenya Ali bin  Abi Talib, Zaid bin Sabit, dan Ibnu Mas'ud. Sebagai contoh, menurut Zaid bin Sabit, apabila kakek hanya mewarisi degan saudara/saudari, kepada kakek diberikan yang lebih menguntungkan antara muqasamah atau sepertiga (1/3). Apabila muqasamah, kakek digolongkan sama dengan saudara dan apabila dengan saudari  2 :1.
Contoh: ahli warisnya, kakek, 1 saudari sekandung, 2 saudara sekandung, dan 2 saudara seayah. Dalam hal ini kepada kakek diberikan 1/3, karena apabila muqasamah kakek hanya mendapat 2/7, (kakek 2/7, 2 saudara sekandung 4/7, 1 saudari sekandung 1/7) sedangkan saudara seayah mahjub oleh saudara sekandung.
Apabila ahli warisnya hanya kakek dan 1 sudara sekandung, maka muqasamah lebih menguntungkan. Harta dibagi 2 bagian, kakek 1 bagian dan 1saudara 1 bagian.

 Menurut Sunni, kakek hanya terhijab oleh ayah. Sementara kakek dapat menghijab: ibu dan ayahnya kakek, semua sudara/saudari (menurut satu pendapat, pendapat lain, kakek hanya menghijab saudara/saudari seibu), dan paman serta bibi.

4. Nenek (الجدة) 
Seperti halnya kakek, dalam kewarisan Sunni, nenekpun ada dua macam, yaitu nenek sahihah (الجدة الصحيحة) yang statusnya sebagai zawu al-furud dan nenek   gaerus sahihah atau nenek fasidah (الجدة غير الصحيحة) yang stausnya sebagai zawu al-arham. Dengan demikian yang dimaksaud dengan nenek dalam pandangan Sunni adalah nenek sahihah.
Nenek sahihah yaitu:
a.      Nenek yang dalam silsilah kekerabatannya kepada pewaris selalu dihubungkan oleh perempuan, tanpa diselingi laki-laki, contoh ibunya ibu (أم الام) atau ibu dari ibunya pewaris (أم أم الام)
b.      Nenek yang dalam silsilah kekerabatannya kepada pewaris dihubungkan oleh kakek sahih, seperti ibunya ayah pewaris (ام الاب), atau ibu dari ayahnya ayah pewaris (ام اب الاب).
Dengan demikian apabila nenek dalam hubungan kekerabatannya dengan si mati diselingi oleh kakek gaer sahih maka nenek tersebut termasuk nenek gaerus sahihah, seperti:  أم اب الام
Dasar hukum kewarisan nenek menurut Sunni ialah hadis nabi  riwayat Abu Dawud dari Buraidah:
عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ لِلْجَدَّةِ السُّدُسَ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهَا أُمٌّ
Berdasarkan hadis di atas maka bagian nenek itu 1/6. Bagian 1/6 ini bagi seorang nenek atau beberapa orang nenek asalkan mereka sederajat (al-mutahadziyat). Apabila nenek tersebut lebih dari seorang dan sederajat maka 1/6 dibagi rata di antara mereka, seperti ummul-um dengan ummul-ab, maka bagian mereka 1/6 dibagi dua (2), masing-masing mendapat 1/12. 

Menurut Sunni, nenek dapat menghijab nenek yang peringkatnya lebih jauh baik dari baik dari jalur ibu maupun ayah. Sementara nenek terhijab oleh: ibu, nenek yang lebih dekat kepada pewaris.


Menurut Syi'ah
Syi'ah tidak membedakan  kakek dari pihak ayah atau ibu, tidak membagi kepada kakek sahih dan gaer sahih, semua kakek sama derajatnya. Demikian halnya dengan nenek. Tidak beda antara nenek dari ibu dengan nenek dari ayah. Menurut Syi'ah,  kakek dan nenek  itu sebagai ahli waris pengganti dari ayah atau dari ibu, kalau kakek itu ayahnya ibu ia menggantikan posisi ibu dan diberi bagian sebesar bagiannya ibu. Kalau nenek dari ibu bersama dengan kakek dari ibu, mereka berdua menggantikan ibu dan mendapat bagiannya ibu, lalu dibagi sama rata (karena dari jalur ibu).  Demikian halnya kalau kakek itu ayahnya ayah bersama dengan nenek, ibunya ayah, mereka berdua akan menggantikan posisi ayah dan diberi bagian sebesar bagiannya ayah, lalu dibagi dengan ketentuan 2 : 1. Hanya saja kakek maupun nenek baru tampil setelah tidak ada anak-anak pewaris, tidak ada ayah dan ibu.  Apabila anak, ayah atau ibu pewaris masih ada maka kakek maupun nenek terhijab. Sebagai ahli waris keutamaan kedua, kakek  dan nenek dapat mewarisi bersama dengan saudara/saudari.
Apabila kakek dan nenek dari pihak ayah (abu-ab dan ummu-ab) mewarisi bersama dengan kakek dan nenek dari pihak ibu (abu-um dan ummu-um), maka kakek dan nenek dari pihak ayah mengambil bagian 2/3 (keduanya menggantikan ayah) lalu dibagi antara kakek dan nenek dengan ketentuan 2 : 1,  sedangkan kakek dan nenek dari pihak ibu mendapat 1/3 (keduanya menggantikan ibu) lalu dibagi sama rata. Demikian juga apabila nenek dari ayah (ummul-ab) mewarisi dengan kakek dari ibu (abul-um), maka ummul-ab mendapat 2/3 dan abul-um mendapat 1/3.
Seperti disebutkan di atas bahwa kakek dan nenek dapat mewarisi dengan saudara/saudari dari jalur manapun (saudara/saudari sekandung, seayah atau seibu), karena mereka semua sama-sama ahli waris peringkat kedua. Oleh karena itu apabila kakek atau nenek atau mereka berdua mewarisi bersama dengan saudara/saudari dan jalurnya sama, seperti mereka sama-sama dari jalur ayah, maka kakek seperti saudara dan nenek seperti saudari lalu dibagi di antara mereka dengan ketentuan 2 : 1. Contohnya: ayahnya ayah (abbul-ab), ibunya ayah (ummul-ab), 2 orang saudara sekandung dan 3 orang saudari sekandung, mereka mengambil semua harta dan dibagi 10 bagian: kakek (abbul-ab) 2 bagian, 2 saudara 4 bagian, nenek 1 bagian, dan 3 saudari 3 bagian.
Apabila kakek dan nenek mewarisi dengan saudara/saudari dan mereka semua dari jalur ibu, mereka mendapat semua harta warisan dan dibagi sama rata. Contoh: ayahnya ibu (abbul-um), ibunya ibu (ummul-um) 2 saudara seibu, dan 1 saudari seibu, harta dibagi menjadi 5 bagian,  masing-masing mendapat 1 bagian, dengan tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Jadi kakek 1 bagian, nenek 1 bagian, 2 saudara seibu 2 bagian, dan 1 saudari seibu 1 bagian.
Apabila kekek, nenek mewarisi dengan saudara/saudari tetapi jalurnya berbeda, seperti kakek dan nenek dari jalur ayah, sedangkan saudara/saudari dari jalur ibu, maka saudara atau saudari seibu kalau seorang mendapat 1/6 kalau beberapa orang mendapat 1/3, sisanya diambil oleh kakek atau oleh nenek atau oleh kakek dan nenek dengan ketentuan 2 : 1. Apabila kakek atau nenek dari jalur ibu sedangkan saudara atau saudari dari jalur ayah, maka kakek atau nenek atau keduanya mengambil 1/3 (bagiannya ibu) dan sisanya diambil oleh saudara atau saudari atau bersama-sama dengan ketentuan 2 : 1.
Kakek dan nenek juga  dapat mewarisi bersama dengan anak-anaknya saudara/saudari. Apabila saudara/saudari meningal lebih dahulu dapat digantikan oleh anak-anaknya untuk mewarisi dengan kakek dan nenek.
Menurut Syi'ah, kakek dan nenek terhijab oleh anak-anak pewaris dan keturunannya, ayah, dan ibu. Kakek dan Nenek dapat menghijab paman dan bibi.

Menurut Hazairin
Hazairin juga tidak membedakan kakek dan nenek. Tidak ada kriteria kakek sahih dan gaer sahih, nenek sahihah dan nenek gaer sahihah. Semua kakek dari pihak ibu atau ayah sama dan sederajat. Demikian halnya dengan nenek, nenek dari pihak ibu sama dengan nenek dari ayah. Menurut Hazairin, kakek dan nenek  adalah ahli waris pengganti yang menggantikan posisi ayah atau ibu. Apabila kakek atau nenek  itu ayahnya ayah atau ibunya ayah ia diberi bagian sebesar bagiannya ayah. Apabila kakek itu ayahnya ibu, atau nenek itu ibunya ibu ia akan menggantikan posisi ibu  dan mengambil bagiannya ibu. Nenek akan menggantikan posisi ayah atu ibunya pewaris. Hanya saja kakek atau nenek baru tampil setelah tidak ada keturunan pewaris, ayah, ibu, dan saudara-saudari. Sementara kakek maupun  nenek tidak menghijab ahli waris yang lain.  kecuali kakek dan ne

C. Saudara/Saudari/ جهة الاخوة
Sunni membagi para ahli waris dari kerabat menyamping kepada:
1.    Saudara/Saudari sekandung
2.    Saudara/Saudari seayah
3.    Saudara/Saudari seibu
Menurut Sunni, kewarisan saudara/saudari sekandung dan atau seayah diatur dalam surat an-Nisa' ayat 176:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(176)
Saudara/saudari yang dimaksud dalam surat an-Nisa' ayat 176 di atas adalah saudara/saudari sekandung dan seayah.
Selanjutnya menurut Sunni ketentuan bagi saudara/saudari sebagai berikut:
1.      Saudari sekandung  (الاخت الشقيقة)
Menurut ulama Sunni bagian saudari sekandung selain diatur dalam surat an-Nisa' ayat 176 di atas juga didasarkan kepada hadis:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو قَيْسٍ سَمِعْتُ هُزَيْلَ بْنَ شُرَحْبِيلَ قَالَ سُئِلَ أَبُو مُوسَى عَنْ بِنْتٍ وَابْنَةِ ابْنٍ وَأُخْتٍ فَقَالَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ وَأْتِ ابْنَ مَسْعُودٍ فَسَيُتَابِعُنِي فَسُئِلَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأُخْبِرَ بِقَوْلِ أَبِي مُوسَى فَقَالَ لَقَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُهْتَدِينَ أَقْضِي فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ ابْنٍ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ فَأَتَيْنَا أَبَا مُوسَى فَأَخْبَرْنَاهُ بِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ لَا تَسْأَلُونِي مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ (رواه البخارى)
Dengan demikian bagian saudari sekandung itu ada 4 macam, yaitu:
a.  النصف (1/2 bagian) apabila saudari hanya seorang dan tidak bersama dengan saudara laki-laki (وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ)
b. الثلثان (2/3 bagian) untuk 2 orang saudari atau lebih dan tidak bersama dengan saudara laki-laki sekandung فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ )    )
c.       'Asabah bi al-gaer, apabila mewarisi dengan saudara sekandung, dengan ketentuan 2: 1 ( وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ )
d. 'Asabah ma'a al-gaer, apabila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dan tidak bersama dengan saudara sekandung. Ketentuan yang keempat ini didasarkan kepada hadis riwayat al-Bukhari di atas.
     
Saudari sekandung terhijab oleh: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, dan menurut satu pendapat oleh kakek. Saudari sekandung apabila hanya seorang tidak menghijab siapapun, tetapi apabila 2 orang tau lebih dapat menghijab saudari seayah (kecuali apabila ada saudara seayah)
2. Saudari Seayah (الاخت لاب)
ٍٍSaudari seayah apabila tidak bersama dengan saudara dan saudari sekandung bagiannya seperti saudari sekandung. Saudari seayah mempunyai 5 macam bagian, yaitu:
a.  النصف (1/2 bagian) apabila saudari hanya seorang dan tidak bersama dengan saudara seayah  (وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ)
b. الثلثان (2/3 bagian) untuk 2 orang saudari atau lebih dan tidak bersama dengan saudara laki-laki seayah فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ ) )
d.      'Asabah bi al-gaer, apabila mewarisi dengan saudara seayah, dengan pembagian 2: 1 ( وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ )
d. 'Asabah ma'a al-gaer, apabila bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dan tidak bersama dengan saudara seayah.
e. 1/6, apabila mewarisi dengan "seorang saudari sekandung" dan tidak bersama dengan saudara seayah.

Saudari seayah terhijab oleh: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, dan menurut satu pendapat oleh kakek, 2 orang saudari sekandung (kecuali apabila ada saudara seayah). Saudari seayah tidak dapat menghijab siapapun.

3. Saudara sekandung (الاخ الشقيق)
Saudara sekandung adalah ahli waris 'asabah dan dapat menarik saudari sekandung untuk mewarisi secara 'asabah bil-gaer dengan perbandingan bagian 2 : 1
Saudara sekandung dalam mewarisi terhijab oleh: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, dan menurut satu pendapat oleh kakek
Saudara sekandung dapat menghijab: saudara seayah, anak-anak dari saudara, paman dan bibi.

4. Saudara seayah (الاخ لأب)
Saudara seayah adalah ahli waris 'asabah dan dapat menarik saudari seayah untuk mewarisi secara 'asabah bil-gaer dengan perbandingan bagian 2 : 1. Saudara seayah baru tampil mewarisi apabila tidak ada saudara sekandung.
Saudara seayah dalam mewarisi terhijab oleh: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, dan menurut satu pendapat oleh kakek, dan oleh saudara sekandung
Saudara seayah dapat menghijab: saudara anak-anak dari saudara, paman dan bibi.

5. Saudara/saudari  seibu (اولاد الأم).
Kewarisan saudara/saudari seibu diatur dalam surat an-Nisa' ayat 12:

... وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (12)
Saudara/saudari seibu adalah ahli waris zawul furud, bagiannya:
a.      1/6, bagi seorang saudara seibu atau seorang saudari seibu.
b.      1/3, bagi dua orang atau lebih saudara/saudari seibu, perempuan semua, atau laki-laki semua, atau laki-laki dan perempuan, lalu dibagi rata di antara mereka dengan tidak membedalan laki-laki dan perempuan.
Saudara/saudari seibu tidak terhijab oleh saudara/saudari sekandung maupun seayah, bahkan bisa mewarisi bersama dengan mereka. Oleh karena itu ada kemungkinan saudara sekandung atau saudara dan saudari sekandung yang posisinya sebagai 'asabah, tidak mendapat bagian karena harta sudah diambil oleh para ashab-al furud, di antaranya oleh saudara/saudari seibu. Sehingga terkesan sudara/saudari seibu lebih utama diabndikan dengan saudara sekandung, padahal sekalipun ayah mereka berbeda, tetapi ibunya sama. Seperti kasus di bawah ini:
Ahli warisnya:
Suami                          : 1/2; 1/2 x 6 = 3
Nenek                          : 1/6; 1/6 x 6 = 1
3 orang saudara seibu            : 1/3; 1/3 x 6 = 2
Saudara sekandung     : 'asb; - (habis)
Pada awalnya Umar ibn Khattab tidak memberi bagian kepada saudara sekandung, karena harta sudah habis, termasuk diambil kepada saudara/saudari seibu, tetapi kemudian pendapatnya itu diprotes oleh saudara sekandung yang merasa dirugikan, dengan mengatakan sekalipun ayah mereka berbeda tapi ibu mereka sama. Kemudian Umar merubah pandangannya dengan cara menggabungkan saudara sekandung atau  saudara dan saudari sekandung bersama dengan saudara/saudari seibu dalam bagian 1/3. Artinya semua saudara berserikat dalam 1/3 lalu dibagi sama dengan tidak dibedakan kepada laki-laki dan perempuan. Penyelesaiannya menjadi:
Suami                          : 1/2; 1/2 x 6  = 3; 3 x 300 juta : 6 = 150 juta
Nenek                          : 1/6; 1/6 x 6  = 1; 1 x 300 juta : 6 =   50 juta
3 orang saudara seibu            : ]
                  ]1/3; 1/3 x 6 = 2 ; 2 x 300 juta: 6 = 100 juta
Saudara sekandung     : ]
Saudara sekandung berserikat dengan  saudara seibu dalam 1/3 bagian yang bagiannya 100 juta, kemudian dibagi 4, masing-masing mendapat 25 juta, dengan tidak dibedakan laki-laki dan perempuan.
Kasus ini di kalangan ulama fara'id terkenal dengan nama "Umariyah" atau "Musyarrakah". Akan tetapi tidak semua sependapat dengan Umar. Bagi yang tidak sependapat dengan Umar, dalam kasus di atas, saudara sekandung tidak mendapat bagian karena harta sudah habis diambil oleh para ashab al-furud dan tidak ada lagi sisa bagi 'asabah, dalam hal ini saudara sekandung.
6. Anak laki-laki dari Saudara laki-laki Sekandung/Sebapak
Menurut ulama Sunni,  di antara keturunan dari saudara/saudari statusnya  tidak sama. Semua anak-anak dari saudari sekandung atau seayah, laki-laki atau perempuan, semua anak dari saudara/saudari seibu, anak perempuannya dari saudara sekadung dan seayah, statusnya sebagai "zawu al-arham". Mereka tidak berhak mendapat warisan selama ada ahli waris zawu al-furud atau 'asabah. Adapun anak laki-laki dari saudara sekandung/seayah sebagai 'asabah.
Anak laki-laki dari saudara sekandung baru tampil/ mendapat warisan setelah tidak ada saudara sekandung dan saudara seayah. Anak laki-laki dari saudara seayah baru tampil mewarisi setelah tidak ada saudara sekandung, saudara seayah, dan anak laki-laki dari saudara sekandung. Mereka sendiri dapat menghijab semua paman dan bibi.

Menurut Syi'ah
Para ulama Syi'ah juga membedakan saudara kepada sekandung, seayah dan seibu. Saudari sekandung, saudari seayah, dan semua saudara/saudari seibu sebagai zawu al-furud, sedangkan saudara laki-laki sekandung dan seayah sebagai qarabah. Saudara/saudari sekandung, seayah, dan seibu, sebagai ahli waris keutamaan kedua bersama-sama dengan kakek dan nenek baru tampil setelah tidak ada anak-anak/keturunan pewris, ayah dan ibu pewaris.

1.      Saudari sekandung.
a.      1/2 apabila seorang dan tidak bersama dengan saudara sekandung dan atau  kakek dari pihak ayah
b.      2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan saudara sekandung dan atau kakek dari pihak ayah
c.       Qarabah apabila bersama dengan saudara sekandung dan atau kakek dari pihak ayah, dengan ketentuan 2 : 1

2.      Saudara sekandung adalah ahli waris qarabah dan bila bersama dengan saudari sekandung mewarisi bersama dengan ketentuan 2 : 1

Apabila ada saudara atau saudari sekandung ahli waris yang terhijab: saudara dan saudari seayah, anak-anak dari saudara/saudari, paman dan bibi.

3.      Saudari seayah.
Bagian saudari seayah, seperti bagian saudari sekandung, yaitu :
a.      1/2 apabila seorang dan tidak bersama dengan saudara seaayah dan atau  kakek dari pihak ayah
b.      2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan saudara seayah  dan atau kakek dari pihak ayah
c.       Qarabah apabila bersama dengan saudara seayah dan atau kakek dari pihak ayah, dengan ketentuan 2 : 1

4. Saudara seayah adalah ahli waris qarabah dan bila bersama dengan saudari seayah  mewarisi bersama dengan ketentuan 2 : 1

Saudara/saudari seayah baru berhak mewarisi setelah tidak ada anak-anak/keturunan pewaris, ayah, ibu, dan saudara/saudari seayah.

5. Saudara/saudari seibu
Saudara/saudari seibu sebagai ahli waris zawu al-furud dengan tidak dibedakan antara yang laki-laki dengan yang perempuan. Bagian mereka adalah:
a.      1/6 apabila seorang, baik saudara laki-laki seibu atau saudari perempuan seibu
b.      1/3 apabila lebih dari seorang, lalu dibagi rata di antara mereka dengan tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Saudara/saudari seibu dapat menghijab anak-anak dari saudara/saudari dan paman beserta bibi.
Contoh:
1 saudara seibu                                       : 1/6
2 saudari sekandung               : 2/3 + R
Syi'ah tidak memberikan radd kepada saudara yang hanya dari satu jelur ketika bersama saudara yang berasal dari dua jalur (ayah dan ibu)

3 saudari seibu                                    : 1/3
Kakek dari ayah                      :] (2)
                                                 ] qarabah
2 saudari seayah                     :] (2)
2 anak prp dari saudari sekandung: mahjub oleh saudari seayah dan saudari seibu.
Ketika saudara/saudari mewarisi dengan kakek atau nenek lihat lagi dalam pembicaraan kakek/nenek di atas.

6. Anak-anak dari saudara/saudari
 Anak-anak dari saudara/saudari sekandung, seayah atau seibu menggantikan orang tua mereka, apabila saudara/saudari sudah meninggal lebih dahulu. Demikian halnya anak-anak dari saudara dapat mewarisi bersama dengan kakek/nenek Anak-anak dari saudara/saudari baru tampil setelah tidak ada seorang pun saudara/saudari. Sementara itu anak-anak dari saudara/saudari dapat menghijab: anak-anak saudara/saudari yang peringkatnya lebih jauh, paman, dan bibi.


Menurut Hazairin
Mengenai kewarisan saudara/saudari, pendapat Hazairin berbeda dengan Sunni maupun Syi'ah. Menurut Hazairin saudara/saudari adalah ahli waris keutamaan kedua bersama dengan ayah, ibu, dan salah seorang suami/isteri. Hal ini dikarenakan Hazairin mengartikan "kalalah" itu orang yang mati punah ke bawah, yaitu tidak mempunyai anak/keturunan, baik laki-laki atau perempuan, tetapi mungkin mempunyai ayah atau ibu.
Menurut Hazairin  perbedaan penerimaan saudara/saudari yang diatur dalam surat an-Nisa' ayat 12 dan 176 bukan karena perbedaan kekerabatannya (sekandung, seayah atau seibu), melainkan apakah saudara/saudari mewarisi dengan ayah atau tidak.

1.      Surat an-Nisa' ayat 12 mengatur kewarisan saudara/saudari ketika bersama dengan ayah, yaitu seorang saudara/saudari mendapat 1/6 dan apabila beberapa orang mendapat 1/3 lalu dibagi secara rata, sedangkan ayah sebagai qarabah.
2.      Surat an-Nisa' ayat 176 mengatur kewarisan saudara/saudari ketika tidak bersama ayah, yaitu seorang saudari perempuan mendapat 1/2, dua orang atau lebih saudari perempuan mendapat 2/3 lalu dibagi secara rata, dan apabila saudari perempuan dengan saudara laki-laki mewarisi secara qarabah dengan ketentuan 2 : 1
3.      Anak dari saudara/saudari menggantikan saudara/saudari dan tidak terhijab oleh ayah maupun sadara/saudari.

Contoh:
Ayah                                        : qarabah
Ibu                                           : 1/3
1 saudara sekandung             : 1/6 (kalau saudara atau saudari dalam contoh ini dua orang atau
 lebih mendapat 1/3)
Ibu                                           : 1/6
2 orang sdra seibu                  : ]
4 orang sdri seayah                : ] qarabah
1 anak laki-laki dari sdra skdg            : ]

Catatan: anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung menggantikan ayahnya (saudara sekandung). Oleh karena itu dalam hal ini harus dihitung ada 2 saudari seibu, 4 saudari seayah, dan 1 saudara sekandung, sehingga mereka mearisi secara qarabah yang laki-laki mendapat 2 bagian. Harta setelah diambil ibu 1/6 lalu dibagi menjadi 8 bagian, 6 bagian untuk 6 saudari dan 2 bagian untuk sudara kemudian diberikan kepada anak dari saudara.
            Saudara/saudari atau anak-anak dari saudara/saudari dapat menghijab: kakek, nenek, dan paman serta bibi.

D. Paman/جهة العمومة
Menurut Sunni, kerabat pewaris dari kelompok paman dan bibi yang bersatatus sebagai  ahli waris, hanyalah saudara laki-lakinya ayah yang sekandung dan seayah (paman sekandung dan  paman seayah) dan anak laki-laki mereka (anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, dst ke bawah asal dia laki-laki dan ke atas sampai kepada paman selalu dihubungkan oleh laki-laki). Sedangkan yang lainnya adalah zawu al-arham. Oleh karena itu yang termasuk zawu al-arham dari kelompok ini ialah:
1.      Saudara laki-lakinya ayah yang seibu (paman seibu),
2.      Semua saudara laki-lakinya ibu
3.      Semua saudara perempuannya ibu
4.      Anak perempuan dari paman sekandung dan seayah
5.      Semua anak dari paman seibu
6.      Semua anak dari nomor 2 dan 3
Paman sekandung baru tampil menjadi 'asabah setelah tidak ada: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, kakek, saudara sekandung, saudara seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. Sementara paman sekandung dapat menghijab: paman seayah dan anak laki-laki dari paman sekandung dan seayah.
Paman seayah baru tampil menjadi 'asabah setelah tidak ada: anak laki-laki, cucu laki-laki dst ke bawah, ayah, kakek, saudara sekandung, saudara seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan paman sekandung. Sementara paman seayah dapat menghijab: anak laki-laki dari paman sekandung dan seayah. Begitu seterusnya anak-anak dari paman.

Menurut Syi'ah dan Hazairin
Menurut Syi'ah dan Hazairin, paman dan bibi semuanya sederajat mereka sebagai ahli waris pengganti dari ayah dan ibu. Paman dan bibi dari ayah sebagai pengganti ayah, sedangkan paman dan bibi dari ibu sebagai pengganti ibu. Mereka baru tampil setelah tidak ada: anak-anak/keturunan pewaris, orang tua pewaris, saudara/saudari pewaris, kakek dan nenek.
Paman dan bibi apabila meninggal lebih dahulu dapat digantikan oleh anak-anaknya. Hanya saja menurut Syi'ah anak-anak dari paman dan bibi terhijab oleh paman dan atau bibi. Sedangkan menurut Hazairin, paman dan bibi tidak bisa menghijab anak-anak dari paman dan bibi, karena mereka akan menggantikan orang tuanya.    

0 komentar:

Posting Komentar